Chapter 3 - Sentuhan Pertama

1400 Words
Elena sedang sibuk mencari-cari lowongan kerja melalui layar digital ponselnya saat tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya. Dengan langkah malas, Elena langsung beranjak menuju pintu rumahnya lalu membukanya dengan sebuah senyum ramah di wajah cantiknya, “Mau cari siapa ..”     Senyum ramah di wajah cantik Elena berangsur-angsur luntur begitu dirinya melihat siapa gerangan yang sedang berdiri di depan rumahnya. Ya, Alberto Romano. Lelaki tampan asal Italia itu nampak begitu gagah dan menarik di balik balutan kaus putih polos, celana jeans hitam yang terlihat robek di bagian lututnya, serta kaca mata hitam gaya merek Prada. Berbeda dengan saat pertama kali bertemu, entah mengapa, kali ini Alberto tampil begitu casual. Dahi mulus Elena langsung mengerut. “Mau apa lagi kamu ke sini?” tanyanya sinis. Bukannya merasa marah, Alberto malah tersenyum ramah. “Aku bawakan makanan untukmu dan orangtuamu,” ucapnya seraya menunjukkan pada Elena sebuah goodie bag besar berwarna coklat muda. Dan berbeda dengan saat pertama kali bertemu waktu itu, entah mengapa, hari ini laki-laki tampan bertubuh tinggi semampai itu nampak begitu ramah. Entah ke mana perginya seorang Alberto Romano yang galak nan disegani banyak orang. Elena langsung membuang muka. “Pulang sana, aku tak sudi makan makanan pemberianmu,” ucapnya dingin. Alberto terdiam sejenak memandangi seluruh penjuru rumah Elena. “Orangtuamu sedang tidak ada di rumah?” tanyanya penasaran. “Tidak, mereka sedang sibuk kerja,” jawab Elena sinis. “Kamu tahu kan kalau ada seorang lintah darat yang memaksa orangtuaku untuk segera melunasi seluruh hutang-hutangnya?” ucapnya sarkas seraya tersenyum kecut. Alberto tersenyum miring. ‘Sial,’ benaknya. Elena lanjut bicara, “Pulang sana, lagipula aku sedang tidak lapar.” Alberto menaikkan bahunya, “Ya sudah kalau itu maumu. Aku akan makan sendiri saja kalau begitu.” Bukannya buru-buru angkat kaki dari rumah Elena, Alberto malah beranjak masuk ke dalam rumah Elena lalu duduk dengan santai di ruang tamunya. “Mau apa kamu duduk di situ?” tanya Elena yang merasa semakin geram dengan sikap Alberto yang nampak begitu semena-mena. Alberto tersenyum manis, “Tentu saja aku mau makan. Memangnya mau apa lagi, hm?” Setelahnya, Alberto beranjak mengeluarkan tiga buah boks makanan dari dalam goodie bag besar warna coklat mudanya. Wangi makanan yang begitu menggugah selera langsung menyebar hingga ke seluruh penjuru ruangan seketika Alberto membuka salah satu boks berisi makanan pemberiannya. Elena langsung menelan ludahnya dengan kasar seketika dirinya mencium aroma harum ayam bakar, makanan kesukaannya. ‘Sial, ayam bakarnya harum sekali,’ benaknya. Tanpa sadar, perut Elena seketika berbunyi kala dirinya terus-terusan menatapi makanan pemberian Alberto. Alberto langsung tersenyum lebar begitu dirinya mendengar bagaimana kerasnya bunyi perut Elena, yang menandakan bahwa dirinya sedang merasa amat keroncongan. “Bibirmu mungkin bisa berbohong, tapi sayangnya perutmu itu tidak bisa berbohong, Elena sayang,” ucap Alberto ramah. Wajah cantik Elena langsung merona padam. ‘Sial, sial, sial,’ benaknya geram. “Duduk sini, makanlah bersamaku,” ucap Alberto seraya tersenyum dan menepuk kursi kosong di samping tempatnya duduk. Dengan langkah perlahan dan wajah yang terlihat masih memerah, akhirnya Elena menerima ajakan makan bersama dengan Alberto. Elena tak bisa menyembunyikan betapa lahapnya dirinya menyantap makanan pemberian Alberto, yang entah mengapa terasa begitu enak sekali. Kalau boleh dibilang, salah satu ayam bakar terenak yang pernah Elena santap sepanjang hidupnya. Alberto tersenyum manis, “Kamu sangat suka ayam bakar, ya?” Elena mengangguk perlahan. “Iya .. ini .. ini memang makanan favoritku ..,” ucapnya takut-takut. Senyum di wajah Alberto melebar, “Tidak salah aku meminta anak buahku membelikannya untukmu. Ternyata ini memang makanan kesukaanmu.” Elena terdiam sejenak sebelum kembali bicara. Raut wajahnya yang tadi terlihat datar seketika berubah menjadi raut wajah curiga. Melihat Elena yang tiba-tiba terdiam dan menatapinya dengan raut wajah curiga, Alberto langsung paham betul apa yang ada dalam benak perempuan cantik yang sedang duduk di sampingnya itu. “Tenang saja, kamu tak usah khawatir. Aku sama sekali tak mencampurkan obat tidur apalagi racun ke dalam makanan ini,” ucapnya serius. Elena langsung terkejut. ‘Sial, apa jangan-jangan laki-laki ini bisa membaca pikiranku, ya?’ benaknya. Setelahnya, Elena lanjut memakan makanan pemberian Alberto. Sangkinan terlalu lahap memakan makanannya, tanpa sengaja, Elena menjatuhkan makanan yang masih panas ke atas paha mulusnya, yang saat itu hanya ditutupi sebuah celana pendek warna hitam. “Aduh, panas ..,” bisiknya. Dengan sigap, Alberto langsung mengambil sebuah tissue lalu membersihkan makanan itu dari atas paha Elena. Diam-diam, Alberto juga mengusap perlahan paha mulus Elena, merasakan betapa halusnya kulit perempuan cantik dambaan hatinya itu. Dan entah mengapa, usapan jari-jari tangan Alberto malah sukses membuat sekujur tubuh Elena bergetar. Ya, padahal seharusnya Elena langsung menampar pipi mulus Alberto seketika laki-laki tampan itu menyentuh daerah pribadi tubuhnya. Tapi anehnya, Elena malah membiarkan Alberto menyentuhnya begitu saja. Oh, perasaan apakah ini? Alberto menatap Elena bingung seketika dirinya melihat tubuh mungil Elena yang nampak sedikit bergetar. “Kamu kenapa?” tanyanya penasaran. Elena langsung menggeleng dan membuang muka, “Tidak apa-apa.” Alberto langsung menyeringai puas. Jauh dalam lubuk hatinya, Alberto paham betul kalau sentuhannya sudah berhasil membuat Elena sedikit bergairah. ‘Aku yakin tak perlu menunggu lebih lama lagi, kamu pasti akan segera bertekuk lutut padaku, Elena,’ benaknya. ***** Layaknya kobaran api, sentuhan jari-jari tangan Alberto rupanya berhasil membuat sekujur tubuh Elena terasa panas seketika. Dengan perlahan, Elena bergerak menjauhi Alberto. Dirinya merasa begitu asing dengan semua perasaan ini. Padahal Elena baru saja merasakan sentuhan jari-jari tangan seorang Alberto Romano, belum merasakan bagaimana rasanya saat tubuh mungilnya berada di bawah dekapan hangat tubuh Alberto. Oh, perasaan apakah ini? Mengapa Elena tak bisa merasakannya sebelumnya—bahkan oleh Nathan, kekasih hatinya sendiri? Melihat Elena yang bergerak kian menjauh, lelaki tampan asal Italia itu malah merasa semakin tertantang untuk bergerak semakin mendekati Elena. Raut wajah tampannya nampak begitu serius, seolah-olah Elena-lah yang akan segera menjadi santapan malamnya tak lama lagi. Dahi mulus Elena langsung mengerut, “Ka .. kamu mau apa?” “Shh .. diam,” bisik Alberto. “Kamu cantik sekali, Elena .. Kamu perempuan tercantik yang pernah aku temui sepanjang hidupku ..,” lanjutnya seraya menyisir perlahan rambut panjang Elena dengan jari-jari tangannya yang lembut. Alberto bergerak semakin dekat, mencoba sebisa mungkin untuk menghapus jarak yang tadinya masih memisahkan dirinya dengan Elena. Entah apa yang tiba-tiba menghinggapi diri Elena, namun dirinya nampak sama sekali tak menolak sentuhan jari-jari tangan Alberto. Bahkan sudah seharusnya tangan kanan Elena mendarat di pipi mulus Alberto begitu lelaki asing asal Italia itu menyentuh paha mulusnya tadi, namun anehnya, Elena tak melakukan itu semua. Untuk beberapa saat, keduanya hanya saling tatap. Hanyut, terbuai dalam indahnya raut wajah masing-masing. Semakin larut, hingga tanpa sadar Elena memperbolehkan Alberto mencium bibirnya dan menyentuh kedua lengannya sedemikian rupa .. Dan untuk pertama kalinya, akhirnya Alberto bisa mencium bibir perempuan yang begitu dipuja-pujanya selama ini. Sebuah rasa puas seketika memenuhi benak Alberto. ‘Kamu akan segera jadi milikku, Elena,’ benaknya. Oh, Alberto Romano sungguh tak menyangka ternyata seperti ini rasanya mencium bibir Elena. Seperti ini rasanya melumat bibir perempuan cantik yang warnanya sedikit kemerah-merahan itu. Seperti ini rasanya menyentuh kulit Elena, yang halus bak kain sutra itu. Rasa-rasanya Alberto sudah tak sabar ingin segera merasakan bagaimana rasanya membenamkan miliknya masuk—begitu jauh ke dalam milik Elena .. Oh, hanya dengan membayangkannya saja sudah berhasil membawa Alberto terbang ke awang-awang. Alberto dan Elena nampak begitu larut dalam buaian ciuman bibir masing-masing, sampai-sampai keduanya tak sadar kalau sedaritadi ada seorang laki-laki muda yang sedang berdiri di ambang pintu rumah Elena. Berdiri tegap, terus memperhatikan keduanya dari kejauhan dengan raut wajahnya yang nampak begitu tertegun nan tak percaya. “Elena?” panggil laki-laki itu—Nathan Gautier, kekasih hati Elena. Reflek, Elena langsung mendorong tubuh Alberto ke belakang dan bergerak menjauhinya. “Na .. Nathan? Sejak kapan kamu berdiri di situ?” tanyanya dengan raut wajah yang nampak begitu tertegun dan tak percaya, persis sebagaimana Nathan menatapi dirinya. Nathan tak menjawab. Hanya terdiam membatu seraya terus menatapi wajah Alberto dan Elena bergantian. Napasnya tercekat. Jantungnya berdegup kian kencang. Wajahnya nampak sedikit memerah, terus menahan emosi yang sebentar lagi akan segera meledak bak lava gunung berapi. “B*ngsat,” bisik Nathan seraya mengepalkan kedua tangannya erat-erat, siap memukul wajah tampan Alberto kapanpun dia mau. Alberto menatap balik wajah tampan Nathan, tanpa ada rasa takut sedikit pun, seraya tersenyum miring. ‘Bukan hal yang sulit bagiku untuk menyingkirkanmu, Nathan. Elena hanya milikku, camkan itu,’ benaknya puas. ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD