Hanya membutuhkan kurang dari satu jam untuk Sheilla dirias dan berganti pakaian. Kebaya yang seharusnya dipakai Bella, kini telah melekat di tubuhnya. Namun begitu, Sheilla masih duduk diam di depan cermin. Memandangi pantulan dirinya yang disulap MUA. Selama itu pula, pikirannya bercabang. Apa keputusannya benar? Di mana Jefri yang dia nanti-nantikan? Pemuda itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya. Jangankan datang, chat-nya bahkan tak kunjung dibaca.
Sheilla gelisah. Degup jantungnya dua kali lebih cepat dari keadaan normal. Ini tidak baik, pikirnya.
Semua orang sudah menunggu.
Sheilla melirik jam yang menempel pada dinding. Benda berbentuk lingkaran itu menunjukkan pada angka sembilan. Tamu undangan pasti telah datang lebih banyak dari yang Sheilla lihat sebelum drama calon pengantin menghilang. Atau justru mereka sudah bubar, sebab mengira pernikahan gagal?
“Sudah waktunya acara inti, Kak. Mari saya antar ke depan,” ucap asisten penata rias yang tadi—saat Sheilla didandani—tak henti-henti memuji. “Kakak-nya cantik, lho. Coba senyum sedikit. Calon pengantin, kok, cemberut,” godanya.
Sheilla berdiri sambil menyunggingkan seulas senyum. Diiringi helaan napas berat, langkah pertama dia ambil. Matanya terpejam beberapa saat sampai suara asisten penata rias kembali menginterupsi.
“Nervous, ya, Kak? Itu mah biasa, nanti juga hilang nervous-nya kalo sudah sah.”
“I-iya. Mbak-nya bisa aja,” ucap Sheilla pelan.
“Shei.” Seseorang memanggil, Sheilla pun lantas menoleh. Ada Alma di ambang pintu yang menyusulnya. “Ayo!”
“Tapi, Tan … keluarganya Kak Naren gimana? Beneran gak masalah kalo Shei gantiin Kak Bella?” tanya Sheilla.
“Tante gak mungkin minta kamu gantikan kakakmu itu kalau bukan karena mereka sudah setuju.”
Pernyataan Alma mungkin ada benarnya, tapi jujur, Sheilla mengharapkan sebaliknya. Satu saja dari keluarga Narendra menentang ini, maka sudah dipastikan dia akan bebas. Sheilla menghela napas kasar. Ponsel digenggamnya erat-erat berharap ada keajaiban lain yang terjadi di detik akhir.
“Oh, iya. Mana sini hape kamu. Mau nikah, kok, masih bawa-bawa hape. Biar tante yang pegang, ya.” Pinta Alma.
“Tapi, Tan ….” Inikah keajaiban di detik akhir itu? Rasanya Sheilla ingin sekali menjerit.
Benda pipih sudah berpindah tangan. Sheilla memberikannya walaupun dengan hati yang berat. Dia kemudian menyeret kakinya hingga ke tempat akad akan dilangsungkan. Dapat gadis itu lihat Naren sudah duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya, ada Wira dan di sisi kanan ada dua orang saksi.
Narendra tak menunjukkan ekpresi sedih pun gembira. Pemuda yang akan menikahi Sheilla itu datar saja seolah sedang tidak terjadi apa-apa. Dia segera mengangguk ketika penghulu menanyainya.
Tak berselang lama dan seolah Sheilla terhipnotis, kata ‘sah’ menggema begitu saja. Narendra lancar sekali menyebutkan namanya. Padahal yang seharusnya dia nikahi itu Bella. Beberapa hari terakhir tentu nama itu yang di hafalnya. Namun, cepat sekali lidah Narendra beradaptasi dengan nama ... Sheilla.
Acara pernikahan yang dilangsungkan di kediaman Wira telah membawa gadis bernama Sheilla Anandita berstatuskan istri. Gadis itu menyeka sudut mata bersamaan dengan teriakan seseorang menggaungkan namanya.
"Sheilla!"
Sheilla berdiri kaku. Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya lolos juga. “Jefri,”—kekasihnya itu—terlambat. Kini, Sheilla sudah sah menjadi istri orang lain.
***
"Belom cape nangisnya? Mau sampe kapan?" Suara Nerendra menginterupsi. Sheilla tidak menyahut.
"Saya harus mandi, bisa tolong bantu?" lanjut Narendra. Pemuda itu sudah menanggalkan kemeja putih yang sejak pagi dia kenakan.
Sheilla melotot. Matanya yang merah akibat menangis terlalu lama, menatap Narendra dari pantulan cermin.
"Apa? Apa yang kamu lihat, hah?!" Narendra memutar kursi roda. Tubuhnya yang masih terlapisi singlet bisa terlihat jelas di cermin. "Ini kamarmu dan saya tidak tahu harus dengan cara apa untuk bisa membersihkan diri. Kamu istri saya sekarang. Jadi, tolong siapkan air mandi, handuk, sabun, dan pakaian ganti!"
"Ck!" Sheilla berdiri sambil menggebrak meja rias yang di atasnya terdapat beberapa benda kepunyaannya. Sisir, rangkaian skincare dan juga makeup. "Kalau bukan karena dia itu gak bisa jalan ... udah aku ... ih, kesel banget!" gerutu Sheilla. Kakinya dia seret ke bilik kamar mandi.
Begitu masuk ke dalam kamar mandi, Sheilla melongo mendapati tumpukkan sampah di sana. "Waduh, pake lupa lagi. Aku lagi haid, tadi pagi buru-buru. Untung Kak Naren belum ke kamar mandi." Dia lantas segera mencuci bekas pembalut dan memasukkannya ke dalam kantung plastik berwarna hitam.
Beberapa saat kemudian, bathtub sudah penuh terisi air. Sheilla keluar bilik mandi, mengambilkan sabun, sikat gigi, dan handuk baru untuk pemuda yang saat ini justru tengah sibuk dengan ponsel. Sheilla berhenti sejenak memperhatikan Narendra dari belakang. Suaminya itu sedang menelepon.
"Tepat sasaran. Semuanya sesuai rencana."
Kalimat itu terdengar samar sebab Narendra menyebutkannya dengan setengah berbisik.
Sheilla enggan membuang banyak waktu. Setelah Narendra, dirinya juga harus membersihkan diri. Gadis itu kembali ke kamar mandi. Meletakkan handuk, sabun, dan sikat gigi baru di samping bak. "Apa maksud ucapan Kak Naren, ya? Kalau gak salah dengar, tadi dia bilang tepat sasaran. Apa yang tepat sasaran? Rencana … rencana apa?" Sheilla bergumam.
Ketukan dari pintu kamar mandi yang tidak tertutup mengalihkan lamunan Sheilla. Dia berbalik dan mendapati Narendra sudah ada di belakangnya.
"Permisi, Nona Sheilla. Bisa saya mandi sekarang?"
Mendengar ucapa Narendra, Sheilla pun lantas mendengkus. "Ya. Tuh, sabun, sikat, handuk. Udah siap. Tinggal baju ganti aja, di mana Kakak simpan?"
Narendra tersenyum. Walaupun dalam keadaan marah, gadis di hadapannya tetap terlihat manis.
"Malah senyum. Sinting, ya, Kak? Ditinggal Kak Bella."
"Nggak juga. Kan, ada gantinya," sahut Narendra enteng.
"Ish ...."
"Heh, tunggu! Mau ke mana?"
Sheilla sudah akan meninggalkan Narendra di dalam bilik mandi. "Ambil baju ganti, kan?"
"Oh, iya. Di tas bajunya. Cuman ... gak tau ditaruh di mana," ucap Narendra.
Sheilla keluar hendak menanyakan tas yang di maksud Narendra pada om atau tantenya. Sebab, tas yang dimaksud tidak dia temukan di kamar. "Mau mandi aja ribet," gerutunya. Sheilla kembali setelah menemukan tas Narendra yang ternyata ada di kamar Bella. Sebelum drama terjadi tadi, asisten rumah meletakkan benda itu di sana.
Sheilla masih mengingat apa yang terekam di kepalanya. Penglihatannya tidaklah salah. Kamar Bella di hias sedemikian rupa layaknya kamar pengantin. Kain sprei putih dengan taburan kelopak mawar. Hal yang wajar, karena memang itulah yang seharusnya terjadi. Kenyataannya, yang ada sekarang hanya sebuah kesalahan. Lamunannya membawa gadis itu masuk ke dalam kamar mandi yang tidak terkunci. Sementara, Narendra sudah berada di bathtub tanpa sehelai melekat di tubuhnya.
Kontan saja Sheilla menjerit melihat pemandangan itu.
"Kak Naren!" Sheilla berbalik memunggungi. "Kenapa udah mulai mandi bukannya nunggu baju ganti. Nih!" Seraya mengulurkan pakaian Narendra.
"Kamu lama, Shei. Saya udah gerah. Taro aja di situ bajunya," jawab Narendra, malas.
"Kenapa pintunya gak di kunci?" Lagi, pertanyaan muncul dari mulut Sheilla. Sambil terpejam dia menyimpan baju Narendra di atas meja marmer, tepat di samping wastafel vessel tempat membasuh wajah, gosok gigi, atau sekadar mencuci tangan. Sangking gugupnya, di tambah Sheilla masih saja menutup mata padahal posisi dia membelakangi Narendra, beberapa benda di atas meja tersebut berjatuhan akibat tersenggol.
"Kalau dikunci, saya harus keluar lagi dari bak buat bukain pintu, dong," jawab Narendra.
"Ya ... tapi, kan, bisa nunggu aku anterin dulu baju ganti Kakak." Sheilla sibuk memunguti wadah berisi pasta gigi dan sikat yang biasa dia gunakan. Setelah semua rapi di tempatnya, Sheilla pun keluar dan menutup pintu rapat-rapat.
"Huh!" Sheilla mengusap d**a. Beberapa saat kemudian dia menyadari sesuatu yang ganjil. "Tapi, kok ... Kak Naren bisa masuk bathtub tanpa bantuan? Dia itu, kan …." Sheilla menoleh, menatap pintu bilik mandi dengan tatapan ngeri.
“Kak … Kak Naren butuh bantuan lagi, gak? Kalau nggak, aku mau mandi di kamar mandi lain.”
“Heum ….”
“Heum, apa, Kak? Serius, Kakak gak butuh bantuan. Bisa naik ke kursi roda sendiri?”
Hening. Tidak ada jawaban dari dalam sana. Sheilla tidak pergi mandi atau beranjak dari tempatnya. Berdiri dua langkah dari pintu kamar mandi. Hingga akhirnya, sepuluh menit kemudian, Sheilla memberanikan diri membuka pintu tersebut. Dan yang terjadi di dalam cukup membuat Sheilla terkejut.