Malam Pernikahan

1513 Words
“Lho, Kak Naren udah selesai, mandinya?” “Ya, seperti yang kamu lihat,” jawab Narendra. Dia sudah kembali duduk di kursi roda dengan pakaian lengkap saat Sheilla membuka pintu. Hal yang membuat gadis itu keheranan dan menatap curiga pada laki-laki yang berstatus suaminya tersebut. “Kenapa?” “Kakak, kok, bisa pake baju dan naik kursi roda sendiri?” Selidik Sheilla. “Oh, itu … yang lumpuh, kan, cuma kaki. Tangan dan anggota tubuh lain masih berfungsi dengan baik,” ucap Narendra sambil mengangkat sebelah alis. Sheilla menggaruk pelipis. “Anggota tubuh lain,” gumamnya. “Ya … yang lain. Mata, telinga, mulut, masih berfungsi. Kamu pikir apa, heum?” Narendra menahan senyum. “Saya masih bisa mendengar suara kamu dari dalam sini. Kamu bilang mau mandi, kan? Tunggu apa lagi, silakan. Saya sudah selesai.” Lagi-lagi Sheilla menggaruk tak gatal, kali ini di bagian tengkuk seraya menyunggingkan senyum kaku. Narendra memutar roda pada kursinya, keluar melewati gadis itu. “Jangan lupa kunci pintu! Atau saya bisa masuk kapan saja,” imbuh Narendra, sengaja dia menggoda Sheilla yang masih kebingungan. Selesai mandi, Sheilla keluar kamar. Meninggalkan Narendra yang tengah sibuk dengan ponselnya. Perut Sheilla mulai terasa lapar, dia berjalan menuju meja makan. Sudah ada Om dan tantenya di sana. “Sendirian, Shei. Naren mana?” tanya Alma pada keponakannya yang baru keluar kamar. “Ada, tuh. Di kamar.” “Gak kamu ajak ke sini, makan bareng.” Wira menambahkan. “Biarin aja, nanti juga nyusul, Om.” Sheilla sudah menarik kursi, duduk di tempat biasa dia saat makan bersama. Posisi Sheilla menyiku dari keberadaan Wira. “Shei, jangan gitu, ah. Naren, kan, gak bisa ….” Alma tidak melanjutkan kalimatnya. Sheilla yang hendak mengambil nasi, terhenti. Tangannya menggantung dengan sendok nasi masih digenggamannya. “Iya, lho, Tan. Kak Naren itu, kan, gak bisa jalan, ya. Tapi, kok, dia bisa gitu mandi sendiri sampe selesai.” “Ekhem … terus kamu berharapnya gimana, Sheilla? Kamu bantuin dia begitu?” Wira tertawa. “Ih, apa, sih, Om. Ya, gak juga,” cebik Sheilla. “Gini, lho, maksudnya. Secara logika, apa bisa orang lumpuh melakukan hal yang sulit tanpa bantuan sama sekali. Masuk dan keluar sendiri dari bathtub, terus pakai, pakaian lengkap sendiri. Gak masuk akal banget menurut, Shei.” Alma jadi ikut termangu. Menoleh ke arah Wira yang juga tengah melempar pandangan padanya. “Papi curiga juga?” Wira tak segera menjawab. Pria itu membenahi kacamatanya. “Jangan berpikir yang bukan-bukan! Mungkin saja Naren gak mau merepotkan kamu, Shei. Lagi pula, dia sudah duduk di kursi roda sejak dua pekan terakhir. Jadi mungkin sudah terbiasa.” ‘Om Wira benar. Bukan soal sudah terbiasanya. Tapi, Narendra tidak di sini, orang-orang di rumahnya tentu yang lebih tau tentang dia.’ Pikir Sheilla. Gadis itu masih belum sepenuhnya yakin kalau Narendra betul-betul tidak bisa berjalan. Namun, menjelaskan kecurigaannya pada yang lain juga percuma. Sheilla pun hanya mengangguk saja kemudian melanjutkan niatnya. Menyendok nasi dan lauk yang terhidang di meja makan. Baru hendak mengambil satu suapan, lagi-lagi aksinya harus terhenti saat mendengar suara Narendra. Sheilla menengok ke belakang. “Bagus, ya, istri, gak ngajak-ngajak suaminya makan,” ucap Narendra datar. “Ih, apa, sih, Kak? Kak Naren, tuh, tadi lagi sibuk sama hape. Aku pikir gak laper. Jadi, ya … aku tinggalin.” Malas menanggapi lebih panjang lagi, Sheilla melakukan suapan pertama dan mengabaikan titah dari Wira yang memintanya membantu Narendra. “Gak apa-apa, Om.” Narendra mengulas senyum. “Kamu lanjut makan aja, ya, Shei. Saya bisa sendiri.” “Lagian, siapa juga yang mau bantuin,” gumam Sheilla. “Yakin? Mau Om bantu?” tawar Wira. Namun, Narendra sudah menarik kursi—meja makan—dan berusaha bangkit dari posisinya. Narendra hampir berhasil, tetapi dia terjatuh tepat di samping Sheilla. Bukannya menolong, Sheilla malah terbengong. Semetara Alma yang menyaksikan kejadian itu meringis tanpa pergerakan. “Tuh, kan. Hati-hati.” Wira membantu Narendra untuk bisa duduk. “Kamu, sih, Shei. Sudah om bilang, bantu Naren.” “Berat lah, Om. Gak lihat badannya segede apa? Om juga kewalahan, kan?” Narendra mengisyaratkan tangannya agar Wira tidak terus menyalahkan Sheilla. “Om minta maaf, ya, Ren.” Narendra mengangguk. “Bukan hanya soal ini, tapi juga soal Bella. Anak itu gak tau diuntung. Bisa-bisanya pergi dari rumah di hari pernikahan. Kita lihat berapa lama dia bisa bertahan hidup di luar sana. Om sudah bekukan semua rekening dan kartu kreditnya.” “Apa, Pi? Papi, kok, gak bilang-bilang mami dulu. Bella kita mau hidup pakai apa kalau semuanya dibekukan,” protes Alma. “Salah dia sendiri berani mempermalukan keluarga.” *** Narendra tersenyum saat mengingat apa yang tadi terjadi di meja makan. Walaupun tak acuh, Sheilla mengambilkan makanan untuknya tanpa diminta. Bukan hanya itu yang membuat Narendra senang, tapi juga ucapan Wira tentang membekukan semua akses keuangan Bella. Narendra sudah kembali ke kamar. Dia menoleh ketika suara derit pintu terbuka dari luar. Sheilla datang setelah cukup lama meninggalkannya sendirian. “Habis dari mana?” “Nonton tv. Kenapa? Kak Naren belum tidur?” Sheilla menyimpan ponselnya di atas meja rias. “Heum … bantu saya, bisa?” Mendengar permintaan Narendra, Sheilla menoleh sambil mengernyit dahi. “Saya tau kamu heran. Soal tadi di kamar mandi saya gak minta bantuan, itu karena saya gak mau buat kamu malu di hari pertama. Jadi, bisa bantu saya sekarang?” Sheilla menghela napas pendek, lantas melangkah mendekati Narendra. Pria berstatus suaminya itu menyunggingkan senyum. Sheilla membantu Narendra berpindah dari kursi roda ke atas tempat tidur. “Shei, makasih, ya?” “Iya, Kak.” Sheilla menjawab datar. Dia membenahkan kaki Narendra untuk menyelimutinya. Namun, tatapannya tertuju pada area kaki suaminya itu yang sedikit lebam. “Kaki Kak Naren ….” “Gak apa-apa, Shei. Memar dikit.” “Dikit juga harus diobati, Kak.” Sheilla menarik tuas kunci pada nakas di samping Narendra. Dia ingat menyimpan kotak obat di sana. “Maaf, ya, Kak.” Dengan telaten Sheilla mengoleskan salep pada kaki Narendra. “Kenapa harus minta maaf?” Narendra kembali menyunggingkan seulas senyum yang dibalas kaku oleh Sheilla. Gadis itu lantas menunduk. “Karena … gak bantu Kak Naren tadi.” Dapat Narendra lihat betapa tulus Sheilla merawatnya, terlepas sikap dingin yang ditunjukkan gadis itu sejak resmi menjadi istrinya. “Gak apa-apa. Saya bisa mengerti.” Selesai mengobati lebam pada kaki Narendra, Sheilla mengambil bantal. Dia hendak tidur di bawah dengan menggelar matras. Namun, aksinya itu diprotes Narendra. “Saya gak akan ngapa-ngapain kamu. Kalau kamu tetep ngotot tidur di bawah biar saya aja,” ancamnya seraya menyibak selimut. “I-iya. Bukan masalah takut diapa-apain, Kak. Tapi, aneh aja kalo tiba-tiba ada orang lain yang tidur di ranjang, yang biasanya ditempati sendiri, kan?” “Orang lain?” Narendra menunjukkan mimik kecewa. “Saya suami kamu, lho.” “Apa yang mau diharapkan. Aku ini cuma figuran, kan, Kak? Karena yang seharusnya ada di samping Kak Naren saat ini bukan aku. Tapi heran, harusnya Kak Naren yang merasa keadaan ini salah. Entah hanya perasaanku saja atau memang benar, sepertinya Kakak sama sekali tidak terbebani dengan semua yang terjadi saat ini.” Narendra hanya tersenyum tipis menanggapi kalimat panjang Sheilla. Setelahnya, dia lebih dulu tertidur, meninggalkan Sheilla yang masih merasa tidak nyaman. *** "Mama kamu kenapa itu, Din?" Hasan menggerakkan dahi bertanya sekaligus memberi kode pada putri sulungnya. Dina menggendikkan bahu. Kakak kandung Narendra itu lantas menghampiri sang mama. Dina merangkul Jenar. "Mama ... baik-baik aja, kan?" tanyanya. "Dina tau, Mama masih syok sama kejadian tadi. Tapi ...." "Din, antar mama ke kamar, ya?" pinta Jenar. Ibu dua anak itu tersenyum simpul seraya mengusap punggung tangan putri sulungnya. "Mama gak mau makan dulu?" Jenar menggelengkan kepala. "Nanti mama sakit. Makan, ya? Sedikit. Dina suapin Mama." "Mama gak selera. Udah, mama mau ke kamar aja." Jenar yang tetap tidak mau makan, segera berdiri. Wanita paruh abad itu pergi menuju kamarnya ditemani Dina. "Mama, tuh, gak habis pikir sama adikmu, Din. Bisa-bisanya dia menikahi adiknya Bella tanpa pertimbangan lebih dulu. Gak pake nanya, apa mama setuju atau nggak," ucap Jenar begitu sampai di kamarnya. Dina menghela napas. Untuk sejenak dia pun berpikir hal yang sama dengan sang mama. Tapi, melihat Sheilla, Dina menilai gadis itu gadis yang cukup baik. "Mungkin, Naren juga sudah memikirkan ini. Dia mengenal Sheilla sebagai saudara Bella. Dia tau bagaimana gadis itu." "Ya, sekalipun dia lebih tau. Apa salahnya kalau mendiskusikan ini. Dia bisa menikah di lain waktu nanti." Jenar masih tidak terima. "Narendra pikir mamanya ini apa, coba? Mama, tuh, seperti tidak dianggap penting sama anak itu. Asal kamu tau, Dina, Naren sama Bella aja, kalau bukan karena gadis itu putri Wira sahabat papa kamu, mama mana setuju. Apalagi ini ...." "Iya, sih, Ma. Bella anaknya kayak gitu. Kalau ke sini juga ... ah, udah, lah. Jangan bahas mereka terus. Mama istirahat aja, jangan terlalu dipikirkan masalah Naren. Ini pilihan hidupnya. Dina gak mau kalau gara-gara ini, mama jadi sakit." Dina menggenggam tangan Jenar seraya tersenyum memohon. Setelahnya, Dina menyelimuti kaki sang mama dan meninggalkan wanita yang melahirkannya itu di kamar agar bisa beristirahat sambil menenangkan pikiran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD