Duduk berlama-lama di kantin adalah hal yang paling menyenangkan, apalagi sambil ngumpul sama teman. Tapi tidak untuk kali ini, aku duduk di kantin dan dikerumuni teman-temanku. Mereka seolah sedang bersiap menjatuhkan putusan hukuman pada narapidana.
"Vira, elo kemana aja sih? Gue kira lo beneran wawancara ke perusahan itu, eh... tahunya malah diganti sama si Arif. Dodol!"
Pertanyaan Yuni aku jawab dengan cengiran. Ya gak mungkin kan aku jawab kalo aku habis dipaksa merubah status jombloku jadi tunangannya si manusia kutub? Gak lucu kali!
"Ya gue kemarin disuruh nyokap pulang dulu, Yun. Jadi sorry... banget gue gak bantuin kalian."
Aku memasang mata kucingku. Berharap mereka berhenti menginterogasi seperti ini. Gak nyaman tahu!
"Yakin lo gak ada apa-apa?"
Mata Bobi kini yang memicing penuh curiga. Apaan sih mereka ini?
"Kenapa sih, Bob? Lo juga kalo disuruh pulang ama ortu ya pasti pulanglah, kan urusan keluarga nomor satu."
"Iya juga sih, eh jangan-jangan lo abis dikawinin ya ama nyokap lo?"
"Hus! Lo kalo ngomong gak pernah disaring ya?"
Andre ikut nyolot. Iya nih si Bobi bikin pengen nimpuk bawaannya.
"Lha, emang kenapa? Anak perawan disuruh pulang ke rumah buat urusan penting. Ya, kalo gak ada yang meninggal ato sakit, paling disuruh kawin."
"Ya bahasanya gak kawin juga kali, Bob. Perikemanusiaan dikitlah..., nikah kek, biar adem dengernya."
"Bodo amat! Emang nikah juga tujuan akhirnya kawin kan?"
"Udeh, diem lo! Eh, tapi beneran lo kemarin nikah Vir?"
Lha, si Andre yang so bijak kok malah ikut-ikutan sih?
"Apaan sih, Ndre? Gue belom nikah ih."
Arif yang dari tadi hanya cuek kini mulai ikut menyimak. Dia menatapku penuh minat.
"Emang kemarin ada acara apa, Vir?"
"Biasalah, Rif. Acara reuni keluarga."
Arif manggut-manggut.
"Ya ampun....!! Vira? Lo pulang juga rupanya? Eh gak menyangka ya, lo yang biasanya rajin banget kok tega sih ninggalin tugas negara gitu?"
Suara genit Syaila melengking memekakkan telinga. Ih, ilfeel aku lihatnya!
"Ya gak ada niat buat ninggalin lah. Gue pulang tuh disuruh nyokap. Ya gimana pun gue tuh anak baik, gak suka ngelawan, disuruh pulang ya pulang."
Mulut Syaila udah siap-siap terbuka. Namun matanya tertuju pada jari tanganku. Oh s**t! Aku lupa mencopot cincin sialan ini!
"Wo-wow! Tunggu-tunggu! Lo pulang habis ngapain, Vir?"
"Gu-gue disuruh nyokap."
"Itu apa? Cantik banget! Sumpah! Ini cincin tunangan terindah yang gue lihat selama gue pake kepala ini!"
Mati aku!
Bisa ketahuan nih!
"Elo udah tunangan, Vir?"
Mata Arif menatap penuh curiga.
Aku menggigit bibir. Gimana ini?
Aku berharap seseorang dapat menolongku dari sini. Aku belum siap mengumumkan kalo aku sudah tunangan. Meski pada akhirnya mereka pasti akan tahu.
Dari kejauhan aku lihat Raila berjalan ke arahku. Matanya memberi isyarat seolah bertanya apa yang terjadi. Sepertinya malaikat penolongku sudah datang. Aku memberi isyarat 'tolong selamatkan aku dari interogasi menyebalkan ini'.
"Eh, Vira! Lo kemana aja? Gue cariin dari tadi juga! Lo belum ke kost? Anterin gue yuk? Gue ketinggalan laptop, please... Ya?"
Aku langsung bangkit berdiri.
"Oh iya, dari rumah gue langsung kemari. Jadi belum sempat ke kost. Gue juga mau ke kost. Gue duluan ya, Guys!"
"Eh, Vir! Lo hutang cerita ma kita-kita."
Yuni protes. Hahaha, tahu aja dia kalo aku mau kabur. Sebodo ah, yang penting aku selamat untuk waktu sekarang.
"Ya, ntar kapan-kapan gue cerita."
Aku langsung menggandeng malaikat penolongku alias si Raila dan pergi meninggalkan kantin.
Sepanjang jalan tidak ada yang bicara. Jangan salah, setelah ini aku yakin, Raila akan mewawancaraiku lebih gila dari yang dilakukan teman-temanku di kantin.
***
Dan benar saja, pas kami sudah sampai di dalam. Raila langsung berkacak pinggang.
"Cerita!"
Aku memutar bola mataku. Pasti deh. Kenapa semua curiga banget ya?
"Cerita apa La?"
"Oke. Pertama, kenapa lo tadi pagi pulang gak ke kost tapi kayak ngumpet-ngumpet ke belakang kampus? Emang gue gak lihat lo dianterin cowok dengan mobil super keren? Terus itu cincin apaan?"
Sakmate!
Jadi mereka lihat aku dianterin si patung liberty tadi pagi? Oh pantesan mereka mencecarku dengan pertanyaan yang yah... membuatku tak tahan!
Oke, fine. Daripada si Raila ngamuk gak jelas, akhirnya mengalirlah cerita dari mulut mungilku ini. Raila menanggapinya dengan antusias. Mulutnya terbuka dan matanya hampir mau loncat keluar.
"What? Jadi lo kawin eh sorry tunangan ama cowok kaku yang nyamperin lo di cafe itu!?"
Aku mengangguk pasrah.
"Gila, gak ini benar-benar gila! Lo ke makan omongan lo sendiri, Vir. Terus kenapa lo gak nolak?"
"Ya gue mana berani, La. Pas gue lihat wajah nyokap ama bokap gue udah sumringah gitu. Apa yang terjadi coba, kalo gue nolak? Gue gak bisa ngebayangin wajah kecewa orang tua gue, La."
"Ya, sudah. Hadapan aja ya, Vir. Gue yakin si kaku itu pasti suka sama lo."
Aku mengangkat bahu. Tidak semuanya aku ceritakan sama Raila. Termasuk kesepakatan kami tentang perjodohan ini hanya alat untuk membahagiakan orang tua.
"Terus kapan lo nikahnya?"
"Dua bulan lagi-"
"BUSYET! CEPET AMAT IJAH??"
"Ih, lo kebiasaan deh, teriak mulu! Bisa rusak telinga gue!"
"Ya, kan gue kaget. Oh my God! Keterlaluan sih, lo belum saling kenal langsung dijodohin dan nikah gitu aja?"
"Ya, gimana lagi, La. Bokap bilang si patung liberty udah lumutan usianya. Jadi orang tuanya minta dipercepat."
"Ya... kasian amat si lo? Eh tapi gak apa-apa, si kaku itu eh siapa namanya?"
"Gilang."
"Ya, si Gilang itu meski udah tua, tapi cakep lo, Vir. Di atas rata-rata gitu."
"Cakep sih cakep, tapi kalo orangnya kayak es kutub gitu cakepnya langsung lenyap!"
"Hati-hati Non! Cinta mati baru tahu rasa ntar."
"Apa? Gue? Suka ama dia? Big No !!! Rasanya perlu diterapi dulu deh tuh orang kalo mau bikin gue jatuh cinta padanya."
"Gue embat ya? Seger gitu mukanya, lumayan lah tiap hari lihat yayang suami yang kinclong gue mau!"
"Ambil aja sono!"
"Lha, dia maunya sama lo."
"Tahu ah, surem!"
Aku membanting tubuhku ke kasur. Lelah rasanya. Ya, lelah hati lelah pikiran. Aku hanya berharap semoga jalan ini yang terbaik.
***
Tidak terasa, dua bulan telah berlalu. Selama itu, aku dan Gilang tidak banyak berkomunikasi. Hanya sebatas antar dan jemput. Itu saja. Tidak ada yang istimewa. Apalagi melakukan hal yang membuat kami saling mengenal lebih jauh. Persis seperti perjanjian awal kami, tidak ada tuntutan dan tidak boleh memaksa kedua pihak untuk merubah kebiasaan masing-masing.
Sampai hari ini tiba. Hari di mana aku akan melepas masa lajangku. Hari yang seharusnya menjadi kebahagiaan seumur hidup bagiku. Aku sedih? Jangan dibahas lagi. Sedih, marah, dan kecewa. Tapi sedikitpun aku tidak boleh menampakkan semua yang kurasakan. Aku harus tetap tersenyum. Buat kebahagiaan Mama sama Papa apapun aku rela, keren kan aku ini?
Aku melihat diriku di cermin. Hmm... kalo boleh narsis dikit, aku cantik juga ya pake baju pengantin kayak gini.
Pesta pernikahanku ini digelar di sebuah gedung. Banyak undangan yang hadir. Beberapa teman kampusku juga di undang. Yah, termasuk si genit Syaila juga tidak ketinggalan. Meski dia sangat menyebalkan tapi dia tetap temanku.
"Eh, putri Mama udah siap rupanya. Vira, sebelum Mama dan Papa menyerahkan kamu pada suamimu, Mama mau kamu mendengarkan nasihat Mama, Nak."
Mama merangkul bahuku. Matanya berkaca-kaca. Aku mati-matian menahan airmataku.
"Sayang, kamu adalah putri Mama. Maaf jika semua ini terasa membebanimu, tapi Mama terlalu khawatir padamu. Jadi Mama pikir Mama harus menyerahkanmu pada orang yang tepat. Seseorang yang akan menjagamu dan membimbingmu kelak."
"Enggak, Ma. Vira gak merasa terbebani, kok. Vira percaya sama Mama dan Papa. Apa yang Mama sama Papa pilihkan pasti buat kebaikan Vira juga."
"Mama sangat.... Sayang sama kamu."
"Vira juga, Ma."
"Vira, saat kamu berubah status menjadi seorang istri, maka lepaslah tanggungjawab Mama dan Papa atasmu. Digantikan oleh suamimu. Jadi saat kamu jadi istri maka yang harus kamu taati adalah suamimu."
Aku mendengar nasihat Mama dengan seksama. Menyerap ke relung hatiku. Ya, meski aku masih suka urakan dan pecicilan, aku masih nurut sama apa yang Mama nasihatkan padaku.
"Vira, ingat hal yang harus kamu lakukan nanti, pertama pelihara hidung suamimu dari bau yang tidak nyaman dari dirimu. Manjakan selalu kedua matanya dengan senyuman. Taatilah setiap apa yang dia perintahkan padamu."
"Iya, Ma."
Mama lalu memelukku sangat erat dan mencium puncak kepalaku.
"Ayo sayang, akadnya sudah mau dimulai."
Mama menggiringku menuju ke pelaminan. Ikrar ijab kabul yang sangat sakral itu berlangsung khidmat. Kilatan kamera menghujani kami berdua. Selesai akad, aku mencium punggung tangan suamiku. Aku sudah bertekad, seberat apapun hari yang akan kujalani nanti, aku akan jalankan peranku sebagai istri. Ya, jalankan saja perannya. Masalah dia suka atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting kewajibanku sebagai istri sudah aku laksanakan.
***
Aku masuk ke kamarku, ah bukan. Maksudku kamar kami. Ya, kamarku dan kamar si manusia kutub yang beberapa jam yang lalu resmi menjadi suamiku.
Berdiri berjam-jam sambil tersenyum menyalami ratusan tamu undangan membuatku cukup kelelahan. Aku berganti pakaian. Hah! Nyamannya... Aku berguling kesana kemari di kasur yang cukup luas ini. Mumpung si es batu belum datang.
Aku tidak tahu dia kemana. Dia hanya bilang setelah acara di gedung selesai dan kami kembali ke rumah, dia menemui teman-temannya dulu. Bodo amatlah! Mau ketemu temen kek, mau ketemu musuh kek, aku gak peduli. Yang kupikirkan sekarang adalah tidur sepuasnya.
Sebab, setelah acara di gedung usai, dua hari kemudian kami harus bersiap lagi buat acara ngunduh mantu di keluarga besar Gilang. Dan aku bisa mengerti mengapa keluarga Gilang ingin mengadakan pesta lagi.
Gilang itu anak sulung dari 3 bersaudara. Semuanya laki-laki. Adiknya yang kedua namanya Evan, dia udah nikah tapi pernikahannya kandas hanya bertahan 2 tahun. Menurut kabar miring, istri Evan yang senang main keluar dan hobi menghabiskan uang membuat Evan tak tahan dan menceraikannya. Lalu, adiknya yang ketiga alias si bungsu, namanya Adit. Nah, si Adit ini rupanya yang membuat Papanya Gilang mendesak anak sulungnya itu untuk segera menikah. Betapa tidak, Adit yang notabene baru lulus kuliah itu sudah menggandeng calon istrinya secara terang-terangan ke hadapan keluarga besar mereka. Salahkan si manusia kutub yang dinginnya minta ampun hingga dia hampir saja dua kali dilangkahi menikah oleh adiknya.
Dan dari cerita si Gilang alias patung liberty, Gilang sudah berkali-kali membawa beberapa wanita pada Papanya. Namun tidak ada satupun yang mendapat restu. Dan hanya satu orang yang direstui yaitu si gadis biola alias Soraya.
Namun sayang, entah bego ataupun sok jual mahal, si gadis biola malah menolak Gilang untuk membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Aku tidak tahu kenapa, sebab Gilang tidak menceritakannya dengan detail.
Sekali lagi, bodo amatlah!
Papanya Gilang memberi opsi jika Gilang dan Soraya tidak bisa melanjutkan hubungan mereka, maka Papanya sendiri yang akan turun tangan menjodohkan Gilang dengan pilihannya. Yang entah ada angin darimana, Papanya Gilang dengan Papaku malah setuju menjodohkan kami.
Tap-tap-tap
Suara sepatu menghentikan lamunanku. Sepertinya si patung liberty pulang. Awalnya aku biasa saja. Tapi begitu aku ingat kalau ini adalah malam pertama kami sebagai suami isteri, aku merinding. Dan gelisah mulai menyerangku. Apa aku keluar saja ya? Lalu masuk lagi kalau sudah memastikan si manusia kaku tidur duluan.
Aku mengendap-endap menuju pintu kamar. Namun belum sampai tanganku memegang, gagang pintu bergerak perlahan. Aku menahan nafas. Dan yang kuputuskan adalah secepat kilat kembali ke atas kasur dan bergulung dengan selimut.
Aku pura-pura tidur pulas sambil sesekali mengintip si manusia kutub masuk kamar.
Kurasakan kasur bergoyang. Dari ujung mataku aku lihat dia duduk di tepi ranjang.
Alamak! Mati aku!
Apa dia tu-tunggu dia membuka bajunya!
Aku menelan salivaku dengan susah payah.
Glek.
Mungkinkah si patung liberty itu lupa dengan perjanjian konyol kami? Dasar bego! Ini bukan seperti di novel yang k****a, di mana dua orang dijodohkan itu tidak akan melakukan malam pertama. Ini nyata men! Bagaimana pun dia suamiku! Dan dia punya hak untuk.... what the hell! Aku bergidik.
Aku berusaha mengatur nafasku agar terlihat wajar. Dan sialnya keringat bodoh ini merembes di dahiku tanpa bisa kucegah.
Kurasa orang itu mandi. Lalu setelah itu apa? Oh God! Kenapa rasanya takut dan gugup!
Aku mengintip dengan ekor mataku. Dia memakai kaos oblong yang sangat pas di tubuhnya.
Seksi!
Huss!!
Pergi jauh pikiran kotor pengganggu!
Aku semakin gemetar tak karuan saat kurasa dia berbaring di sampingku.
"Tidurlah. Saya tahu kamu capek. Kamu jangan khawatir. Saya tidak akan menuntut hak saya sebelum kamu lulus kuliah.
Hamil saat kuliah cukup repot. Kamu akan kelelahan. Dan kontrasepsi juga bukan pilihan yang tepat. Mengingat kontrasepsi bisa merusak hormon tubuhmu."
Dan tanpa kuminta, segala sumpah serapah langsung berlomba di kepalaku. Dasar manusia kutub menyebalkan! Patung liberty nyasar! Es batu dari kolong jembatan! Apa dia pikir aku menginginkan 'itu'? Aku hanya takut. Itu saja.
Dan tentu saja semua sumpah serapah ini hanya sampai di hatiku saja. Mana berani aku mengatakannya langsung? Bisa-bisa aku langsung dilempar keluar!
Dengkuran halus di sampingku membuat semua omelan dalam hatiku berhenti. Hah? Secepat itu dia tertidur? Bagus! Dia tidur pulas sementara aku gelisah dan gugup sendirian! Ya Tuhan... andai aja aku punya kekuatan super, aku ingin mengangkat tubuh tinggi dan besar di sampingku ini, lalu melemparkannya ke luar.