Hanya Alat

1939 Words
Kami dalam perjalanan pulang. Papa, Mama dan Daril pulang duluan. Aku? Yeah! Ditinggal sama manusia kaku ini di sini. Ya, di luar gedung ini kami hanya duduk tanpa ada yang bicara. Sangat sepi.... sampai aku bisa mendengar suara gesekan tas yang kupakai, agak serem menurutku, kayaknya bulu kudukku berdiri semua. Orang ini bawaannya nyeremin! Lihat aja bibirnya terkatup gitu, hanya diam menatap jalanan selama beberapa menit, aha! Aku sedikit melirik bibirnya yang irit bicara itu, sepertinya dia bukan perokok, bibirnya terlihat berwarna agak merah, segar alami. Ehh... Aku memukul kepalaku sendiri. Bego! Ngapain lihat fisiknya? Orang so cool gitu gak seru, kayak gak ada manis-manisnya. "Kamu, maksud saya.. Anda, kenapa tidak menolak perjodohan ini?" Orang di depanku ini melirikku sekilas. Ya ampun! Apa aku sangat jelek ya, sampai menatapku pun dia gak mau lama-lama. "Saya hanya berusaha membahagiakan orang tua. Itu saja. Lagipula saat ini sudah terlambat membicarakan persetujuan atau penolakan. Semua sudah terjadi. Jalani saja. Hanya sebuah status kan?" Dia menjawab dengan sangat datar. Menyebalkan! Hah! Kalau saja orang ini gak tinggi dan besar, udah aku karungin dia! Aku jadi males buat jawab. Dia masuk ke dalam mobil. Busyet dah! Aku di tinggal gitu aja? Woii...! Aku gimana? Boro-boro dibukain pintu kayak di film romantis, ditawarin masuk mobil juga enggak. Aku tendang sekalian nih mobilnya! "Kamu mau masuk tidak? Saya buru-buru. Kalau tidak mau ikut, saya duluan." "Eeh... tunggu! Saya ikut!" Tanpa memikirkan gengsi yang segede gunung, aku masuk. Sebodo amatlah! Daripada aku bingung pulang sendiri, mending numpang aja sama si manusia es ini. Gratisan lagi, lumayan. Hening. Dia nyetir mobil dan menatap lurus ke depan. Aku ngomong apa ya? Suasananya bikin gak enak, asli! "Emm... tentang di cafe itu, saya... minta maaf." Dia masih diam. Denger gak sih apa yang aku omongin barusan? Aku menggigit bibirku. Udah susah payah buka obrolan, ehh... yang diajakin ngomong malah adem ayem sama setir, kurang asem tu orang! Akhirnya aku milih diam saja. Percuma, ngomong juga gak dijawab. Buang suara aja! Tapi, tunggu! Lho, ini kok bukan jalan pulang? Jangan-jangan aku diculik! Habislah aku malam ini! Tahu gini, mending tadi aku naik taksi online aja! Mobilnya berhenti. Aku melongok keluar. Di mana ini? Sebuah restoran? Apa manusia es ini masih lapar ya? Ah.. mungkin kebutuhan perutnya dua kali lipat dari perut manusia normal. Orang irit bicara tapi banyak makannya, hahaha. Semacam slogan iklan rokok di TV, talk less do more. "Keluarlah!" Aku mendongak melihat sosok jangkung itu sudah di depan mataku. Dia berdiri kokoh menghalangi pandanganku yang sedang menatap ke luar dari jendela mobil. Dan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku nurut. Dia berjalan kedalam restoran tanpa melihatku lagi. Aku terseret-seret mengejarnya di belakang. Salahkan kakinya yang terlalu panjang hingga membuatku kerepotan mengejar langkah lebarnya. Dia berhenti. Wow! Hampir saja aku menubruk punggung lebarnya. Tubuhku tertutup badannya yang tinggi dan besar. Aku cuma sebahu di ukuran tubuhnya. "Gilang? Seperti biasa, kau selalu tepat waktu."  Kudengar seseorang menyapanya. Wanita? Apa dia kekasih si patung liberty? Tapi, kenapa dia mengajakku kalau ingin menemui kekasihnya? Aha, aku ingat! Aku tidak diajak. Hanya ikut numpang pulang. Apa sebaiknya aku masuk lagi ke mobil ya? Takut ganggu! "Salvira, kenalkan ini Soraya." Ups. Si manusia es memanggil namaku. Kalau kata Tukul Arwana, ini emaijing! Aku bergeser. Nampaklah sosok makhluk super cantik di depan mataku. Wajahnya blasteran indo-jerman. Tubuhnya seperti biola. Tinggi dan memiliki lekukan yang indah. "H-hai.... saya Salvira. Senang bisa bertemu dengan Anda, Soraya." Aku mengulurkan tanganku padanya. Dan Soraya menyambutnya dengan senyuman yang sangat manis. Tangannya lembut. Dia sempurna. Dia wanita yang sanggup membuat semua laki-laki tergila-gila padanya. Ah, aku baru ingat sama manusia kutub di sebelahku. Aku meliriknya sekilas. Masih lempeng ni orang. "Aku Soraya. Kamu masih sekolah? Aku gak menyangka, Gilang bisa memilih anak kecil sepertimu." Apa dia bilang? Alamak! Aku dianggap anak kecil! Keterlaluan! Cantik sih, tapi mulutnya kok gak kayak mukanya sih? Sabar, Vir. Ngadepin yang kayak gini kudu banyak sabar. Biasanya yang model begini lebih ganas dari preman. Bayangin aja, dengan wajah surganya itu, dia bisa membuat semua lelaki nurut buat ngeroyok musuhnya. Ihhh... mengerikan! "Setidaknya anak kecil ini bersedia merubah statusnya denganku." Aku melotot kaget. Ini dua orang sedang perang dingin kayaknya! Dan aku dijadikan alat sama mereka! Benar-benar kurang ajar! Aku bersiap ingin membantah ucapan si manusia kutub. Tapi Soraya alias si gadis biola langsung menjawab. "Hebat! Kau menjadikan anak kecil tak berdosa ini untuk memenuhi keinginan orang tuamu?" Kulihat rahang pria itu mengeras. Apa dia tersinggung? Satu kesimpulan yang dapat kutarik adalah bahwa Soraya alias gadis biola orang yang penting bagi si patung liberty. "Raya, kita sudah membahas ini. Aku sudah berkali-kali memberimu penjelasan. Dan malam ini adalah puncaknya. Bukannya ini yang kau inginkan? Nikmatilah kebebasan yang kau banggakan itu!" "Wah-wah kau sudah bahagia dengan ikatan yang kau percayai itu? Persetan dengan ikatan! Bukannya selama ini kita bahagia dengan apa yang kita jalani tanpa ada ikatan yang mengekang???" "Raya... hentikan! Kita hidup bukan di negeri liberal! Kebebasan seperti yang kau mau tidak dibenarkan di sini! Ada norma, ada aturan dan ada hukum!" "Ya, ya. Aku sudah mendengar ceramahmu itu ratusan kali! Baiklah, jadi tujuanmu kemari hanya untuk menceramahiku?!" Dua orang itu bertengkar sengit. Apa mereka pikir aku hanya patung bisu di sini? Woi... Aku juga punya telinga, dan aku gak mau telingaku jadi sakit karena teriakan dua orang yang gak waras ini. Aku lihat si manusia es menghembuskan nafasnya dengan kasar. Bisa berekspresi juga tu orang. "Pertama, aku kemari bukan untuk ceramah karena aku bukan da'i ataupun pendeta. Kedua, aku sudah lelah terus seperti ini denganmu. Pertengkaran tanpa ujung." Soraya memutar bola matanya.  "So? What do you want?" Gilang menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Aku ingin kita berakhir. Sudahi semua kegilaan ini. Aku capek." "Apa? Aku tidak yakin kau tidak akan menemuiku lagi. Dan kau anak kecil! Bersiaplah, orang ini pasti punya sangkar yang sangat bagus untuk mengurungmu!" Aku terperangah kaget. Tiba-tiba saja jari lentiknya menunjuk di depan mataku. Apa katanya? Sarang? Memangnya aku burung? Memang sudah tidak waras ini orang! Gadis cantik malah dikata burung! Baru saja mulutku terbuka untuk bicara, tanganku malah ditarik paksa. "Ayo pulang!" Langkahku terseret-seret. Gilang menarikku dengan kasar. Dia lalu menyuruhku masuk ke dalam mobil. Aku manut aja. Dan yang terjadi adalah dia mengemudi dengan sangat kencang. Rasanya jantungku mau copot saja. Aku merapal semua doa-doa yang kutahu. Meminta perlindungan dari-Nya. Ada setan lagi ngamuk di sebelahku. Aku baru bernafas lega setelah mobil yang kami tumpangi berhenti di depan rumahku. Tanpa basa basi lagi, aku langsung turun. Hal yang kutunggu sejak tadi. Bisa kena serangan jantung kalau terus naik mobil kesurupan itu. Terdengar suara Mama menuju keluar rumah. "Baru pulang toh? Kalian kemana dulu?" Gilang tersenyum tipis. Kalau gak mau senyum ya jangan dipaksain, kan jadi aneh. "Maaf Tante, tadi kami mampir ke restoran dulu." "Wah, udah kencan rupanya? Baguslah, biar kalian lebih dekat dan saling mengenal. Pernikahan kalian kan dua bulan lagi." Aku memutar bola mataku dengan malas. Kencan dari hongkong! Yang ada aku jadi kambing congek pertengkarannya dengan si gadis biola! "Iya, Tante. Kalo gitu, saya pulang dulu." "Kok masih memanggil Tante? Kan sebentar lagi kamu jadi anak Mama, panggil Mama dong!" Mama ini apaan sih? Kok mau-maunya sih menganggap anak bau tengik ini sebagai anaknya juga. "Eh, iya Ma. Saya permisi dulu." Gilang membungkukkan badannya lalu masuk kembali ke mobil. "Ya sudah, hati-hati..." Aku langsung masuk ke kamar. Hari ini aku nobatkan sebagai hari tergila sepanjang sejarah. Niat ikut reuni keluarga eh malah berubah status kayak gini. Mana yang jadi calonnya bikin sumpek kayak gitu lagi. Aku merebahkan badanku yang terasa lelah. *** Pagi sekali Bi Inah sudah sibuk di dapur. Oh ya, hari ini terakhir aku di rumah. Rencananya besok aku kembali ke Jakarta. Dan si kaku katanya mau nganter aku jalan hari ini. Entahlah, aku tidak bersemangat. Membayangkan kejadian kemarin saja aku sudah malas. Apalagi ini, harus jalan berdua dengan orang itu. Wah, bisa pegal hati nanti. "Masak apa Bi? Wanginya enak." Aku mencomot sepotong gorengan tempe di meja makan. Bi Inah masih sibuk dengan masakannya. "Bibi bikin sayur lodeh, Non." "Oh ya? Wah, aku makan banyak kayaknya, Bi." Sayur lodeh. Mendengar namanya saja aku udah ngiler. Jenis sayur ini merupakan masakan favoritku. Bi Inah mulai menyajikan menu masakannya di meja. Dari pintu belakang terdengar suara Mama dan Papa yang bersenda gurau. Mereka memang selalu terlihat mesra meski usia mereka mulai memasuki setengah abad. Aku membayangkan bagaimana nanti suamiku saat tua. Bayangan wajah si kaku menari di otakku. Tanpa sadar kau mengibaskan tanganku malas. Mana mungkin orang itu bertahan denganku sampai tua. Lalu, bercerai? Ngeri juga! Aku gak mau jadi janda muda! "Kenapa, Vir? Kok cemberut gitu?" "Eh, Mama. Gak ada apa-apa, Ma." "Lho, kok kamu belum mandi? Bentar lagi Gilang jemput kamu, kan?" "Iya, ntar. Aku mau makan dulu." "Gak kerasa ya, Pa. Anak gadis kita udah dewasa sekarang." "Iya donk, Ma. Papa juga udah gak sabar pengen jadi wali nikah buat putri tercantik Papa." "Apaan sih Pa..." Tin-tin Suara klakson mobil di depan rumah menghentikan obrolan ringan kami. Semua menoleh ke luar. Tampaklah si patung liberty yang menyebalkan itu keluar dengan gayanya yang santai. Kalau saja dia punya sedikit saja sifat ramah, aku yakin akan mudah untuk jatuh cinta padanya. Ini mah boro-boro! "Pagi, Ma, Pa." "Eh, Gilang. Pagi sekali jemputnya. Mari masuk. Kamu udah sarapan belum? Kita sarapan sama-sama." "Iya, makasih, Ma." Orang kaku itu ikut duduk di sebelahku. Dasar tukang makan! Nyari gratisan kayaknya! "Duh, maaf ya Gilang. Vira malah belum mandi tuh!" Apaan sih Mama? Aku manyun. Mood makanku langsung berkurang. "Hai, Mas Gilang? Udah lama?" Daril keluar dari kamarnya dengan wajah segar. Udah mandi kayaknya tuh anak. "Baru saja." Singkat. Dan seperti biasa, menyebalkan! "Mari dimakan sarapannya. Seadanya ya, ini memang sengaja masak sayur lodeh sama gorengan tempe plus sambal dan ikan asin. Soalnya ini menu kesukaannya Vira sejak dia kuliah. Gak tahu dapet angin darimana tuh, jadi doyan yang beginian." Gilang hanya tersenyum mengangguk. Lalu selang beberapa menit kemudian, suasana jadi hening. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang bersahutan. *** Gilang membawaku ke sebuah danau. Sangat sejuk dan nyaman. Kami duduk di bangku pinggir danau itu. Dari tadi Gilang hanya diam. Aku sendiri bingung harus memulai percakapan darimana. Sejak perjalanan kemari, tidak ada yang bersuara. "Apa motifmu menerima perjodohan ini?" Suara Gilang menbuyarkan lamunanku. "Ya? Oh. Aku cuma menuruti keinginan orang tuaku. Aku tidak tega merusak wajah bahagia Mama dan Papa saat pertunangan kita." dalam hati aku berteriak 'kita? Lo kali, gue mah enggak!' Gilang mengangguk. "Kalau begitu, kita sama. Kita hanya menjadikan hubungan ini sebuah alat untuk membahagiakan orang tua." Dia lalu terdiam. Pun denganku. Ya, hanya alat. Bagiku, sudah cukup Mama dan Papa selalu mengabulkan semua yang aku mau. Mungkin saatnya aku membahagiakan mereka berdua meski dengan jalan seperti ini. Aku rela. "Apa kau mau menjalani semua ini denganku?"  Gilang menatapku. Aku gelagapan. Dia belum pernah menatapku sedekat ini. Matanya coklat pekat dan jernih. Aku segera menyadarkan otak kotorku dan melihat realita. "Ya, demi orangtua saya siap menjalani semuanya." "Baiklah. Kita jalani. Dan jangan ada tuntutan. Saya tidak suka. Kamu tetap jadi kamu. Begitupun dengan saya. Saya tidak akan berusaha lebih baik untukmu. Saya tetap akan menjadi diri saya sendiri." "Maaf, tapi Anda lebih tua dari Saya. Rasanya tidak enak kalau memanggil nama." "Terserah kamu mau memanggil apa." Apa?? Dasar es kutub! Baiklah. Aku yang putuskan. Biar dia sadar diri dia sudah tua, hahaha! "Om Gilang?" Kulihat dia sedikit melotot. Aku hanya mengangkat bahu. Bukannya dia menyerahkan semuanya padaku? Lalu dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku pura-pura cuek. Yah, setidaknya meski pernikahan kami nanti hanya demi orang tua, aku mungkin bisa menganggap dia sebagai 'Om baru' untukku. Nambah Om gak buruk kan? Hehehe. Selamat berjuang Vira!!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD