Sebuah Rencana?

1470 Words
Aku menatap horor ke arah pria datar itu. Andre lalu berdiri menghampiri kami. "Maaf, Pak. Jika Anda terganggu. Mungkin teman saya ini hanya bercanda. Dan lagi, bisa jadi itu bukan ditujukan pada Anda." Pria itu memicing. Menatap Andre seolah berkata jangan-ikut-campur. Aku menelan ludah dengan susah payah. Sementara yang lain hanya diam. Mungkin kaget. Karena biasanya kami memang sering bercanda seperti ini. Tapi jarang terjadi bahan gosip yang menjadi korban menangkap basah mulut kami yang suka usil. Aku menatap pria itu dengan takut. Mampus!! "Jangan asal bicara apalagi di tempat umum seperti ini. Bercanda memang boleh, tapi jangan kelewatan." "Ma-maaf Pak..." "Kerjakan tugasmu dan jangan banyak bermain-main. Mungkin saat kalian tertawa cekikikan seperti tadi, disaat yang sama orang tua kalian sedang banting tulang membiayai kalian!" "Sekali lagi kami minta maaf, Pak. Jika Anda terganggu." Pria itu tidak menjawab. Hanya pergi begitu saja, meninggalkan aku yang bengong. Dan selepas kepergiannya yang bikin adrenalinku naik turun, semua menatapku. Oke, di sini bukan aku saja kan yang tadi ikut usil? "Kenapa semua menatapku seperti itu? Srlooott...." Aku menenangkan diri dengan menyedot habis sisa minuman teh botolku. *** Dan di sinilah aku. Duduk dalam ruangan ber-ac bersama Raila. Hari ini aku jadi wawancara ke sebuah perusahaan saham di Jakarta. Kami dipersilahkan menunggu pimpinan atau CEO yang akan kami wawancara. Rasanya campur aduk, deg-degan, was-was dan takut. Sebenarnya baru kali ini aku kebagian tugas beginian. Biasanya tugas ini dihandle sama laki-laki. Aku paling tidak mau tugas seperti ini. Selain nuansanya menegangkan, juga otakku gak sebersinar teman-teman di fakultas ini. Udah masuk fakultas ini juga udah alhamdulillah, rasanya seperti keajaiban memang. Aku yang gak ngerti masalah perhitungan saham, obligasi ataupun bursa efek malah lolos masuk kesini tanpa hambatan. Seorang wanita berstelan rapi dengan jas biru dongker berlengan panjang dan rok selutut menghampiri kami. Cantik. Ia tersenyum ramah pada kami. Dari nametagnya aku tahu nama wanita itu adalah Amelia. "Mohon maaf lama menunggu. Hari ini tadinya Pak Gilang dijadwalkan untuk wawancara dengan kalian. Tapi karena ada rapat mendadak pemegang saham, beliau sepertinya tidak bisa melakukan wawancara hari ini. Jadwalnya diundur besok pukul 14.00. Sekali lagi mohon maaf atas ketidaknyamanannya." Aku dan Raila saling menatap. Jadi sia-sia kami duduk lama di sini. Hasilnya ternyata nol besar. Raila yang lebih dulu menjawab. "Ah,ya. Tidak apa-apa. Kami mengerti beliau sungguh sangat sibuk. Kalau begitu kami akan kembali besok pukul 14.00. Terimakasih." Kami lalu berjabat tangan dan segera pamit undur diri. Di luar gedung yang amat tinggi ini aku dan Raila duduk lesu. Beginilah mengapa aku paling tidak mau tugas seperti ini. Lelah badan dan lelah pikiran. Asli! "Raila, udah gue prediksi pasti hasilnya bikin nyesek." Raila menatap lesu jalan yang di hadapan kami. "Iya juga sih, tadinya gue udah kepikiran yang muluk-muluk." "Maksud loe?" "Ya, semisal yang namanya Pak Gilang itu masih muda, ganteng kayak tokoh di novel-novel yang gue baca, trus ada adegan drama gue jatuh dia nangkep gue, kan seru. Lah ini?? Boro-boro, nyesek yang ada kita gak dapet hasil apa-apa." "Makanya neng, ngayal tuh jangan ketinggian, ntar jatoh kejedot baru tahu rasa!" "Kan loe sendiri yang-- wo-woow, Vir! Leo mesti lihat deh!!!" Tiba-tiba Raila heboh sendiri. Tangannya menunjuk ke arah mobil sport putih keluaran terbaru yang berhenti di depan gedung raksasa ini. "Napa sih? Heboh amat loe." Aku masih anteng sama smartphone-ku. Nyimak obrolan grup kampus, walaupun aku cuma silent reader, gak suka komen atau apapun itu. Aku menoleh ke arah tangan Raila menunjuk. Alamak! Mati aku! Dia kan pria yang di cafe itu? O ya, kejadian di cafe itu sungguh memalukan. Waduh aku ngumpet di mana ini?? Aku tidak tahu Raila bicara apalagi, yang pasti aku harus lari sejauh mungkin. Aku baru berhenti dengan nafas tersengal di pinggir jalan. Sepertinya aku harus nyari toilet. Lari dalam keadaan panik membuatku ingin ke toilet sesegera mungkin. Aku masuk komplek perumahan. Dan menemukan mesjid kecil. Hah! Lega rasanya. Setelah mengeluarkan hajatku, aku selonjoran di mesjid. Aku paling suka istirahat di mesjid. Meski di luar sana sangat terik, tapi mesjid selalu memberikan kesejukan bagiku. Smartphone-ku bergetar.  Raila : Vira, loe di mana? Tega amir loe ninggalin gue ama pangeran seorang diri Aku : Gue di mesjid. Kan biar momen lo jatoh di tangkep pangerannya lebih syahdu, gak ada gue deket loe Raila : boro-boro, Vir. Si pangeran malah nanyain loe! Kan kampret tuh! Ha?? Apa pria itu masih belum memaafkan aku ya? Ayolah, itu hanya gurauan, kenapa mesti diperpanjang sih? Salahkan aja nih mulut yang suka bercecer kemana-mana kalo lagi ngumpul. Dan keputusanku semakin mantap untuk pulang dan enggan kembali ke perusahaan itu baik hari ini, besok dan seterusnya. Masa bodo dengan tugas! *** Hah, akhirnya aku sampai di kost. Aku membuka laptopku. Daripada bengong gak karuan mending buka laptop. Ngerjain tugas? Urusan nanti! Aku masih penasaran dengan kelanjutan drama korea yang belum selesai ku tonton. "SALVIRA NASUTION !!!" Aku menyemburkan kacang goreng yang sedang ku kunyah. Saat suara menggelegar itu datang dari luar. Di susul dengan langkah kaki yang dihentakkan. Wah, si Raila ngamuk kayaknya. "Apa sih neng? Teriak-teriak mulu, gak baik tahu anak perawan maen teriak aja." Raila mendelik padaku. Wajahnya merah padam. Lalu merebut paksa toples kacang gorengku dan melahapnya bagai kesetanan. Nah, lho? Kenapa lagi dia? Aku menyodorkan minum padanya, dan hanya sekejap saja air itu langsung tandas. "Lho nyadar gak sih apa yang loe lakuin?" Aku menatapnya bingung.  "Apa? Oh aku langsung pergi. Tadi karena aku kebelet, yah, kebelet, asli!" "Gue gak peduli ama urusan kebelet loe itu! Loe sadar gak sih, dompet gue kebawa di tas loe!" Aku menatapnya cengo. Oh? Mulutku hanya membentuk huruf O. Lalu beberapa detik kemudian aku baru sadar sesuatu. Jadi... dia kemari dengan.. "Loe... jalan kaki???" "Menurut loe apa? Terbang? Gue gak punya karpet aladin!" "Bwhahaha...." "Diem loe ijah!!" "Ahahaha... sory La, gue gak nyadar kalo dompet loe ada di tas gue." "Bener-bener loe! Gue hampir mati tahu, lain kali kalo mau ngerjain, tuh ama si Syaila biar tahu rasa." Aku menangkup kedua telapak tanganku di dada. "Sory... oke?" Raila menghela nafas. Sudah reda kayaknya. Baguslah! "Eh, tapi loe tahu gak? Pria tadi bener-bener nanyain loe!" "O yah? Ngapain? Mau nuntut gue? Gak lucu kali, masa gara-gara candaan gitu aja dia mau nuntut." Raila menggeleng. Wajahnya kembali antusias. "Bukan nuntut, tapi dia malah bilang ke gue katanya lain kali dia akan buktiin kalo dia yang bakal menyeret loe ke KUA." "Hahaha.. ngapain? Mau balas dendam dengan candaan lagi? Bilang ke orang itu, udah gak lucu!" "Eh, Vir! Gue serius. Dua rius malah." "Terus kenapa? Gue mesti bilang wow gitu?" "Yaelah loe.. maksud gue, dia tuh tahu nama loe. Dan dengan ekpresi datarnya dia bilang gini, bentar, ehm. 'Tolong sampaikan pesan saya pada Salvira Nasution. Bahwa suatu saat saya yang akan bawa dia ke KUA, jadi jaga diri dengan baik mulai sekarang'. Gila gak sih? Dia tahu nama loe!!" "O ya? Baguslah. Tunggu... dia.. DIA TAHU NAMA LENGKAP GUE???" Raila hampir terlonjak karena kagetnya. Sumpah! Aku juga kaget banget! Darimana orang kaku itu tahu namaku? Apa dia detektif? Atau sudah nyewa detektif buat menyelidiki seluk beluk tentangku? Apa aku akan diperkarakan? Ya Tuhan..! Aku tidak mau masuk penjara! Aku belum lulus kuliah! Aku yakin wajahku sekarang merah padam. Aku takut bahkan sangat takut. Raila melihatku dengan mata bengong. Mungkin dia masih kaget karena aku berteriak padanya. "Anjrit! Loe mau bikin jantung gue copot??" Smartphone-ku kembali berbunyi. Mama calling. "Ya, Ma?" "Assalamualaikum... apa kabar, Nak? Sehat?" Aku menetralkan dulu hatiku dari rasa takut dan khawatir yang baru saja menimpaku. Baiklah, tenang. Mama tidak boleh tahu. "Wa'alaikum salam. Alhamdulillah, sehat Ma. Gimana di rumah pada sehat semua?" "Sehat juga. Gimana kulihamu, lancar? Ayahmu seneng betul kamu masuk jurusan ini. Sampai-sampai dia banggain kamu ke semua temennya." "Oya? Hehe, lancar kok, Ma." "Vira, kamu bisa pulang dulu, gak? Kamu ada waktu?" Aku menatap kalender kecil yang tertempel di dinding. Memang belum banyak tugas. Kecuali tugas sialan yang gagal total itu. Bolos sekali mungkin gak apa-apa. "Bisa, Ma. Aku juga udah kangen sama rumah." "Alhamdulillah, jadi kamu bisa pulang dulu. Kapan tepatnya?" "Senin besok kayaknya." "Baguslah. Mama tunggu ya, Vira? Baik-baik di Jakarta. Jangan banyak maen. Kuliah yang rajin ya?" "Siap, Komandan!" Raila masih menunggu rupanya. Matanya yang bertanya. "Mama. Kayaknya gue mau pulang dulu. Eh, La. Kalau ada yang nanyain gue, bilang aja gue udah pindah." "Lho., kenapa gue mesti bohong? Emang loe mau pindah beneran?" "Ya, gaklah. Cuman... itu.. gue agak khawatir, kayaknya orang itu mau berurusan panjang ama gue." Raila manggut-manggut. "Menurut loe, orang itu tahu darimana tentang nama loe?" "Itu dia, La. Gue menduga mungkin orang itu mau nuntut gue, terus nyari tahu data gue dan akhirnya gue berakhir di balik jeruji, dihh... serem gue, La." "Semacam nyewa detektif, gitu? Mwahaha... kebanyakan nonton drama loe! Mana ada orang cuma gitu doang dilaporin!" "Lha, terus gimana caranya coba, dia tahu gue?" Raila mengangkat bahu. "Mungkin dia punya rencana lain?" "Sebuah rencana??"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD