Arkan langsung mengurung tubuh Nana setelah Nana masuk ke dalam kamar pribadinya.
"Tuan, apa yang anda lakukan?" Tanya Nana dengan paniknya, saat indra penciumannya kembali menghirup aroma Arkan yang sudah beberapa bulan lalu Nana rasakan.
"Aku tahu kamu sedang mencari cara untuk menghindari ku, kenapa? Kamu teringat akan tiga bulan yang lalu? Kamu masih ingat kejadian malam itu?" Tanya Arkan yang mengungkit tentang kejadian malam panas itu. Nana mulai mengeluarkan keringat dingin, takut, bahkan sangat takut pria dewasa di depannya itu akan menghina dirinya karena terlalu murahan. Arkan yang melihat Nana mulai mengeluarkan keringat dingin, langsung mengelapnya tanpa permisi terlebih dahulu, membuat sang empunya terlonjak kaget.
"Apa yang Tuan lakukan?" Tanya Nana dengan ekspresi kagetnya. Arkan menyeret pelan tubuh Nana duduk di tepi ranjang.
"Katakan, apa tujuanmu merelakan kehormatan kamu di tukar dengan uang sebanyak itu? Aku yakin kamu ada alasan tertentu menerima tawaranku dengan mudahnya, katakan?" Tanya Arkan datar. Inilah yang di takutkan Nana sejak tadi, Nana takut kejadian waktu lalu di ungkit kembali, dan akhirnya pria dewasa di depannya itu, yang sialnya sekarang malah jadi bosnya, akan menganggap dirinya perempuan murahan.
"Itu karena saya butuh uang?" Jawab Nana tegas
"Untuk?" Tanya Arkan yang merasa jawaban Nana sangat kurang memuaskan
"Ya untuk keperluan saya Tuan, untuk apalagi," jawab Nana yang mencoba untuk terlihat tenang, agar Arkan tidak melihat ketakutan di wajahnya.
"Aku tahu semua orang pasti ada keperluan nya, tapi, keperluan mereka pasti bermacam-macam, aku tahu, sebenarnya bukan itu jawabannya. Baiklah, jika kamu tidak ingin memberi tahu ku, maka aku akan mencari tahunya sendiri." Ujar Arkan tegas.
"Saya harap, anda bisa melupakan masalah itu Tuan, apapun alasanku, kita sama-sama di untung kan," ujar Nana dengan hati yang sedikit sakit, dan kecewa dengan kata-kata nya sendiri.
"Apa dengan cara menghina diri sendiri, aku akan merasa puas dengan jawabanmu? Sudahlah, aku hanya ingin tahu, bukan masalah tentang keuntungannya." Ujar Arkan tegas.
"Temani aku makan siang," ujar Arkan, lalu membuka kembali pintu kamar pribadinya, dan duduk di sofa, dimana di meja itu sudah tersedia makan siangnya, yang tadi Nana bawa. Nana duduk di karpet, tepat di bawah Arkan, Arkan langsung mengernyitkan dahinya saat melihat Nana malah duduk di bawah.
"Apa kamu lebih suka makan lesehan di bawah?" Tanya Arkan
"Anda Tuan saya, tidak sopan kalo…
"Naik," titah Arkan tegas.
"Tapi Pak…"
"Naik, ini perintah dari atasan, untuk bawahan, jadi bawahan harus menurut," ujar Arkan lagi, dengan tak kalah tegasnya dari yang sebelumnya. Nana duduk di sofa yang sama dengan Arkan, namun dengan posisi yang sangat jauh, bahkan Nana duduk di paling pinggir. Arkan langsung mendekati Nana, dengan sekali tarikan di pinggang Nana, Nana langsung menempel di samping Arkan.
"Apa karena kejadian malam itu kamu jadi jijik sama saya?" Tanya Arkan menatap manik mata Nana.
"Tidak Tuan, tidak sama sekali, anda salah paham, saya hanya…
"Makanlah," ujar Arkan tegas, dengan memotong ucapan Nana. Nana mengangguk pelan, lalu memakan di piring yang sama dengan Arkan, hanya sendok yang menggunakan masing-masing.
"Pak, kalau begitu, saya beresin ini dulu," ujar Nana yang langsung merapikan kembali meja, dan membawa semua bekas makan nya tadi keluar.
"Na, baru selesai melayani Tuan muda?" Tanya Sinta yang baru saja datang menghampirinya, karena merasa Nana cukup lama di ruangan tuan mudanya.
"Iya Kak, ada apa Kak, apa teman Kakak butuh bantuanku?" Tanya Nana
"Oh, tidak! Habis ini kamu langsung makan siang ya, biar gak sakit," ujar Sinta membuat Nana keheranan. Nana Kembali bekerja, tanpa memikirkan ucapan Sinta.
Kediaman Nenek Feni
Seyla dan Imah terlibat perbincangan penting, Seyla menceritakan tentang hubungan nya dengan Arkan yang semakin jauh, dan merasa tidak memiliki harapan lagi untuk mengejar Arkan.
"Ayolah Seyla, kakak yakin kamu pasti bisa, jangan menyerah." Ujar Imah memberi dukungan pada Seyla yang sudah mengeluh dan ingin menyerah, untuk tidak lagi mengejar Arkan seperti permintaan Imah.
"Tidak bisa Kak, aku tidak mau terus mengejar cinta pria yang tidak pernah menganggap ku ada, tidak ada untungnya aku selalu mengejar Arkan, tapi yang dikejar malah terus berlari dan tidak ingin aku berhasil untuk mencapainya, kalo seperti ini, aku yang capek sendiri tanpa ada hasilnya," ujar Seyla dengan penuh keputusasaan. Imah yang mendengar keluhan Seyla, semakin merasa takut, takut sang adik tidak nikah-nikah.
"Kakak akan terus membantumu, kamu tenang saja, oke." Ujar Imah yang tidak ingin berhenti terus mendorong Seyla agar terus berusaha mendapatkan cinta sang adik.
"Itu yang selalu kakak katakan dari dulu, tapi nyatanya, sampai saat ini Arkan masih terus menolak ku," ujar Seyla dengan wajah cemberutnya.
"Untuk saat ini, kakak masih berusaha untuk melakukan pencarian mama Seyl, kamu sabar saja ya, nanti kalo mama sudah ditemukan, aku akan memfokuskan diri untuk terus mencari cara, agar Arkan bisa mencintaimu." Ujar Imah yang langsung menerbitkan senyum cantik di bibir Seyla.
"Benar ya Kak?" Tanya Seyla memastikan
"Iya, benar." Jawab Imah lembut. Mereka pun berpelukan, lau Seyla izin pamit untuk pulang. Setelah kepergian Seyla pulang, Imah menghubungi Arkan, meminta Arkan untuk mencari mama nya, Seperti biasa, setiap sore, Imah pasti menghubungi Arkan, dan meminta Arkan untuk mencari sang mama, padahal, tanpa Imah pinta pun, Arkan pasti akan mencarinya, hanya saja, untuk saat ini, Arkan akan mengurus urusan pribadinya, khusus hari ini.
"Halo, Arkan! Bagaimana, apa kamu sudah menemukan mama?" Tanya Imah seperti biasa. Arkan jadi malas sendiri mendengar pertanyaan kakaknya, yang setiap hari pertanyaan itu yang selalu di layangkan.
"Kakak tidak perlu setiap hari menanyakan, apakah aku mencari mama atau tidak, kalau aku sudah menemukan mama, sudah pasti aku akan membawa mama pulang, tanpa harus menunggu pertanyaaan aneh dari Kakak." Ujar Arkan jutek, yang langsung mematikan sambungannya, setelah menyelesaikan kalimatnya. Imah sendiri yang mendengar ucapan Arkan, langsung memandang ponselnya yang layarnya sudah mati karena panggilan terputus, dengan pandangan aneh.
"Kalau aku tidak bertanya sama dia, lalu aku harus bertanya sama siapa? Kuburan papa Dinda? Kan tidak mungkin. Arkan! Kamu benar-benar!" Ujar Imah dengan kesalnya.
Jam lima sore, para pekerja mulai bersiap untuk pulang, begitu juga dengan Nana, Nana mulai merapikan tas dan juga bajunya untuk bersiap pulang. Saat Nana sudah sampai di lobby kantor, tiba-tiba suara petir bersahutan, tanda hujan akan turun. Dengan sedikit berlari, Nana berjalan kaki keluar dari are kantor, dan menunggu kendaraan umum di halte bus. Baru saja Nana mendaratkan bokongnya di tempat duduk, hujan deras mulai membasahi aspal dan dedaunan.
"Yah, kurang beruntung, hujan. Kenapa tidak hujan pas aku sampai dirumah aja ya." Ujar Nana dengan wajah sedihnya, saat hujan deras mulai turun. Nana mencoba bersabar untuk menunggu hujan reda, karena setahu Nana, kalo hujan, akan sulit untuk mendapatkan kendaraan umum. Akhirnya Nana menunggu di halte bus, sampai hujan reda. Cukup lama Nana menunggu, namun Nana tidak melihat tanda-tanda hujan akan reda, pikiran Nana mulai tak tenang karena meninggalkan nenek Feni sendirian. Nana berdiri mondar-mandir dengan gelisah, takut neneknya belum makan, belum minum obat, takut Nenek Feni mengkhawatirkan dirinya. Saat Nana dilanda kebingungan, Nana dikejutkan oleh suara klakson mobil. Nana hanya melihatnya sekilas, habis itu kembali lagi mondar-mandir karena mengira pengendara mobil itu hanya meminta izin untuk bergabung berteduh bersamanya. Tidak tahu saja pengendara mobil tersebut kesal karena dicuekin Nana, dengan kesalnya, Arkan langsung mengambil payung, dan menghampiri Nana. Yah, pengendara mobil yang mengagetkan Nana tadi adalah Arkan, Arkan sengaja membunyikan klakson mobil nya dengan keras, agar Nana menghampirinya, karena Arkan ingin membantu Nana mengantar pulang, tapi sayang, ternyata Nana tidak mengenali mobilnya.
Arkan melangkah dengan langkah yang pelan, mendekati Nana yang sedang gelisah.
"Ayo aku antar pulang!" Ajak Arkan datar, membuat Nana yang mendengar nya terkejut.
"Tu…Tuan!" Lirih Nana kaget
"Ayo," ajak Arkan lagi
"Silahkan Tuan pulang terlebih dahulu, saya tidak apa-apa menunggu angkutan umum, mungkin sebentar lagi datang," ujar Nana menolak halus ajakan Arkan.
"Hujan sederas ini mana mungkin ada bus atau taxi lewat. Ayo" ajak Arkan lagi
"Tapi…
"Baiklah, kalau kamu menolak niat baik ku, biar aku bantu dengan cara lain, aku akan membantu menemanimu, sampai bus yang kamu tunggu datang." Ujar Arkan yang membuat Nana tidak percaya. Nana tidak lagi menjawab, atau menanggapi ucapan Arkan tadi, Nana kembali duduk, dan berusaha untuk tenang. Nana yang semakin lama semakin kedinginan, mengelus lengannya dengan cepat, biar ada sedikit penghangat di tubuhnya. Arkan yang melihat Nana kedinginan, langsung memeluk tubuh Nana dari samping, membuat Nana terkejut dengan perlakuan Arkan.
"Tuan…
"Kita tidak lagi kerja, buang jauh-jauh panggilan itu," ujar Arkan cepat
"Tapi, bagaimanapun, Tuan atasan saya," ujar Nana yang merasa tidak enak
"Kalau begitu, biar aku pecat kamu saja," ujar Arkan yang langsung membuat mata Nana seketika membulat sempurna.
"Tu…tuan memecat saya?" Tanya Nana dengan nada terbata
"Maka hentikan memanggilku dengan panggilan itu." Ujar Arkan tegas
"Baiklah," ujar Nana lemah.
"Dingin?" Tanya Arkan yang semakin mengeratkan pelukannya
"Om, jangan seperti ini, nanti kalo ada yang lihat bisa panjang urusannya." Ujar Nana yang merasa risih dengan perlakuan Arkan.
"Om, jangan…
"Emmm, emm" Nana berontak saat Arkan tiba-tiba langsung melumat bibirnya tanpa permisi. Arkan melumat bibir Nana yang terasa dingin dengan lembut, dan mulai meraba punggung Nana, lalu menekan tengkuk leher Nana untuk memperdalam ciumannya.
"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Dinda dengan nada teriaknya, membuat tubuh Nana langsung memegang karena kaget.
Degh
"Dinda…