“Teo, adikmu sudah menikah,” suara Sofia terdengar pelan, nyaris tenggelam di antara dengung mesin infus dan detak jantung yang tersaji di monitor di samping ranjang. “Mama tidak tahu, sampai kapan Mama bisa bertahan,” lanjutnya dengan napas berat dan suara yang serak karena terlalu sering menahan sakit. Matteo langsung menggeleng cepat, seolah bisa menolak kenyataan hanya dengan gerakan kepala. “Mama jangan bicara seperti itu. Mama akan sembuh. Aku janji, Mama pasti sembuh,” ucapnya dengan suara bergetar. Matanya memerah, berair, dan jemarinya menggenggam tangan ibunya semakin erat seolah takut jika genggaman itu akan mengendur selamanya. Sofia tersenyum, samar namun hangat. Tangan yang kurus dan dingin itu bergetar. Ia mengusap pipi putranya dengan gerakan lembut yang nyaris kehilangan

