2. Malam Berdarah

1336 Words
Matteo melangkah masuk ke kamarnya, melepaskan jas yang masih ternoda darah. Gerakannya cepat namun tetap tenang, seolah sudah terbiasa dengan rutinitas menghapus jejak kekejaman di luar sana sebelum kembali menjadi seorang suami dan ayah di rumah. Ia membuka kancing kemejanya satu per satu, lalu masuk ke kamar mandi. Air dingin membasuh tubuhnya, membersihkan sisa darah yang melekat di kulit dan aroma besi yang menusuk hidungnya. Matteo menunduk, membiarkan air mengguyur wajahnya, hingga bayangan kebengisan yang melekat di benaknya terasa sedikit luluh. Hanya beberapa menit, namun cukup untuk menghapus tanda-tanda kekerasan yang tadi melekat pada dirinya. Ketika keluar, tubuhnya sudah bersih, wangi sabun lembut menggantikan bau darah. Ia mengenakan piyama berwarna gelap, warna yang sama dengan yang dipakai Ophelia tadi, seakan tanpa sadar menegaskan keserasian mereka. Sambil menarik napas panjang, Matteo melangkah keluar kamar. Langkah kakinya membawanya ke kamar putranya. Namun langkahnya terhenti ketika seorang bodyguard utama berlari tergesa menghampirinya. Nafas pria itu tersengal, wajahnya pucat. "Kenapa?" tanya Matteo datar, dingin, suaranya menebar ancaman. "Tuan Diego..." suara bodyguard itu tersendat, seakan sulit menyampaikan kabar buruk. "Cepat katakan, jangan bertele-tele," potong Matteo, tatapannya menusuk. "Tuan Diego diculik, Tuan," ucapnya akhirnya, suaranya bergetar. Mata Matteo menyipit, rahangnya menegang. "Bagaimana dengan Katerina? Apakah dia juga diculik?" Nada suaranya naik setingkat, mengandung bara. Bodyguard itu menunduk dalam-dalam. "Nyonya ikut dibawa, Tuan." "Sialan!" maki Matteo, nyaris bergemuruh. Amarah langsung meletup dalam dirinya, namun wajahnya tetap menahan emosi dingin, seperti samudera sebelum badai besar. "Segera kerahkan semua bodyguard. Jangan tunggu perintah lagi!" suaranya menggelegar, membuat jantung semua yang mendengar berdegup kencang. Tanpa membuang waktu, Matteo berbalik dan berlari ke kamarnya. Tangannya cekatan menanggalkan piyama, menggantinya dengan pakaian tempur serba hitam pekat. Wajahnya pun kembali ke bentuk aslinya, dingin, penuh kebengisan, tanpa sisa kelembutan yang biasa ia tunjukkan pada keluarga. Kini hanya ada satu hal yang bersemayam dalam hatinya, tekad untuk menumpahkan darah. Saat ia keluar, deretan bodyguard sudah berbaris dengan mobil-mobil hitam yang siap melaju. Matteo masuk ke salah satunya, pintu tertutup rapat, dan dalam hitungan detik konvoi itu berangkat. Mesin-mesin meraung, membelah keheningan malam, membawa sang iblis kembali ke gelanggang pertempuran. Semua bodyguard telah dikerahkan. Matteo memberi instruksi singkat, suaranya dingin namun tegas. "Utamakan Katerina. Dia sedang mengandung. Pastikan dirinya dan kandungannya aman. Jangan beri mereka kesempatan melukainya." Di tempat lain, tepatnya di sebuah gudang tua yang berbau besi berkarat dan darah basi. Lampu gantung yang berkedip samar menambah suasana menyeramkan, seakan setiap bayangan siap menerkam kapan saja. Di tengah ruangan, Diego digantung terbalik, tubuhnya penuh luka. Setiap detik, darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke lantai semen dingin, meninggalkan bercak-bercak merah. Napasnya berat, d**a naik turun seperti sedang berpacu dengan waktu. Tidak jauh darinya, Katerina duduk di kursi besi yang keras. Tangan dan kakinya terikat ketat, bibirnya pecah karena tamparan berkali-kali. Pakaian yang ia kenakan sudah terkoyak kasar, menyisakan bekas cakaran di bahu dan lengan. Meski tubuhnya gemetar, kedua tangannya berusaha melindungi perutnya yang sedikit membuncit. Ia tidak lagi memikirkan dirinya, hanya kandungannya. Salah satu penculik berjalan mendekat, wajahnya bengis dengan pisau berlumur karat di tangan. Ia menarik rambut Katerina paksa hingga leher perempuan itu menegang. "Kalau kau tidak bicara, Diego, aku akan mulai dari istrimu. Pisau ini akan menari di atas perutnya, dan kau akan mendengarnya berteriak sampai kandungannya keluar dari rahimnya." "Berhenti!" Diego meraung, suaranya parau karena terlalu banyak darah yang tertelan. "Kau menyentuhnya, aku pastikan kau mati lebih mengenaskan daripada binatang busuk di got!" Penculik itu hanya terkekeh, ujung pisaunya hampir menyentuh perut Katerina. Perempuan itu memejamkan mata, air matanya jatuh deras. BRAK! Pintu besi gudang terhempas keras. Matteo masuk seperti badai, tubuh tegak, mata merah menyala. Di belakangnya, barisan bodyguard bersenjata penuh menyebar cepat, laras senjata menari dalam kegelapan. Udara meledak dengan suara tembakan. Peluru menghantam dinding, kaca pecah, jeritan memecah malam. Matteo berjalan tanpa ragu, menembak tepat ke arah penculik yang menodongkan pisau ke Katerina. Peluru menembus dahi, tubuh pria itu jatuh dengan darah muncrat ke lantai. "Sentuh keluargaku sekali lagi, kalian semua akan mati!" suara Matteo bergema, dingin dan penuh kebencian. Pertempuran berlangsung brutal. Beberapa bodyguard Matteo bergulat langsung, pisau melawan pisau, tangan melawan tangan. Suara tulang patah bercampur dengan dentuman senjata. Dalam lima menit, gudang itu berubah menjadi neraka penuh darah. Diego akhirnya diturunkan, tubuhnya jatuh keras ke lantai. Ia hampir tidak bisa berdiri, tapi matanya masih terbakar dengan amarah. Matteo sendiri yang memotong ikatan Katerina. Perempuan itu langsung terisak, memeluk perutnya, sementara Matteo menepuk pipinya pelan. "Kamu selamat sekarang. Aku yang menjagamu," ucapnya singkat sebelum memerintah pengawal. "Pisahkan mereka!" Matteo memberi instruksi tegas. "Katerina naik ke mobil terdepan. Diego di mobil belakang. Jika musuh menyerang, mereka tidak boleh jadi target bersamaan." Konvoi mobil melaju menembus jalanan sepi malam. Lampu-lampu jalan berkelebat, ban menggeram di atas aspal basah. Matteo duduk di mobil tengah, wajahnya tegang, mata terus menatap jalanan dengan penuh kewaspadaan. Sesekali ia menghubungi pengawal di mobil depan dan belakang, memastikan Katerina dan Diego aman. Di mobil depan, Katerina bersandar lemah, wajahnya pucat. Tangan mungilnya masih menempel di perut, seakan berusaha meyakinkan dirinya bahwa bayinya baik-baik saja. Seorang pengawal duduk di sampingnya, siap melindungi dengan nyawanya. Di mobil belakang, Diego duduk dengan tubuh penuh luka. Nafasnya terengah, setiap gerakan membuat luka di perut dan dadanya terasa perih. Namun matanya tidak pernah lepas dari jendela, waspada akan serangan mendadak. Malam terasa begitu panjang. Hingga akhirnya, bencana datang. Di sebuah persimpangan gelap, dari arah samping, lampu besar menyala menyilaukan. Sebuah truk kontainer melaju kencang, tanpa suara klakson, tanpa peringatan. BRAKKK!!! Tubuh mobil yang ditumpangi Diego terguncang keras, menghantam aspal lalu terguling beberapa kali. Suara kaca pecah, besi beradu, dan jeritan pengawal bercampur menjadi satu. Mobil itu akhirnya berhenti dalam kondisi ringsek parah, asap hitam mengepul dari kap mesin, api kecil mulai menjilat bagian depan. "k*****t!" Matteo menghantam dashboard mobilnya sendiri dengan kepalan tangan. Matanya merah, penuh amarah dan panik. Ia langsung mengeluarkan pistol. "Amankan Katerina!" teriaknya keras. "Aku yang urus Diego!" Malam yang panjang akhirnya berganti dengan fajar yang pucat. Lampu-lampu di koridor rumah sakit masih menyala terang, memantulkan bayangan-bayangan samar di dinding putih yang dingin. Bau antiseptik begitu menusuk, seakan setiap tarikan napas hanya mengingatkan mereka pada luka, darah, dan rasa sakit. Diego masih berada di ruang ICU. Tubuhnya yang ringkih setelah operasi terbaring diam, dikelilingi berbagai alat medis yang berbunyi monoton. Luka di kepalanya cukup parah, pendarahan di otak membuat dokter harus berjuang sepanjang malam untuk menahannya tetap hidup. Sementara itu, Katerina sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Luka fisiknya tidak separah Diego, namun jiwanya retak, sementara kandungannya yang lemah memaksanya untuk banyak beristirahat. Ia tampak pucat di atas ranjang, tubuhnya terbungkus selimut putih, hanya matanya yang terus basah oleh air mata. "Matteo," panggil Katerina dengan suaranya yang serak, penuh getar ketika Matteo berdiri di samping ranjangnya. Sorot matanya yang basah memantulkan kepedihan. "Bagaimana keadaan Diego? Apa dia akan baik-baik saja?" Matteo menunduk, memandang adik iparnya dengan tatapan tegas yang dipenuhi ketenangan yang hanya bisa dimiliki seorang pria sekuat baja. Perlahan ia mengulurkan tangan, mengusap rambut Katerina yang acak berantakan. "Diego bukan orang lemah," ucapnya lembut, nadanya rendah tapi penuh keyakinan. "Dia akan bertahan. Percayalah, yang harus kamu lakukan sekarang adalah menjaga dirimu dan bayi yang ada dalam kandunganmu." Air mata Katerina kembali jatuh, mengalir pelan di pipinya yang pucat. Dengan ragu, ia meraih tangan Matteo, menggenggamnya erat seolah mencari pegangan agar tidak tenggelam dalam rasa takut. Jemarinya gemetar, dingin, begitu rapuh. "Andai aku dulu memilihmu ..." suaranya pecah di tenggorokan. "Mungkin hidupku tidak akan sehancur ini. Aku tidak akan berkali-kali kehilangan bayi. Aku tidak akan dilecehkan, tidak akan disakiti seperti ini." Kata-kata itu menusuk seperti belati. Matteo diam. Rahangnya mengeras, sorot matanya kelam, tapi ia tidak menjawab. Hanya jemarinya yang membalas genggaman Katerina, mengunci tangan rapuh itu agar tidak tergelincir. Perlahan, ia menarik tubuh perempuan itu ke dadanya. Katerina bergetar dalam pelukannya, air matanya menetes deras membasahi d**a Matteo, dan pria itu hanya berdiri tegak, menjadi sandaran ketika dunia Katerina seakan runtuh. "Aku akan membawamu pulang," ucap Matteo akhirnya, suaranya berat, dingin, tapi sarat janji yang tidak terbantahkan. "Dan aku pastikan, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada seorang pun yang berani menyentuhmu lagi."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD