Dentuman peluru memecah keheningan malam. Bau mesiu memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam darah yang menetes di lantai gudang tua itu. Matteo Morales berdiri di tengah lingkaran pria-pria yang tergeletak tak bernyawa, jas jas hitamnya ternoda merah, namun sorot matanya sama sekali tidak terguncang.
"Pastikan tidak ada satu pun dari mereka yang bernapas," suaranya datar, dingin, menggelegar dalam keheningan.
Anak buahnya segera bergerak, memeriksa satu per satu tubuh yang berserakan. Matteo menghela napas pelan, menyelipkan pistolnya ke balik jas. Bagi dunia luar, dia adalah iblis berwajah manusia, bos mafia yang tidak mengenal ampun, setiap pengkhianatan selalu dibayar dengan darah.
Namun begitu ia melangkah keluar dari gudang, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggunya, sisi lain dari dirinya perlahan muncul.
"Kita pulang," katanya pada sopir, kali ini suaranya lebih lembut. Perjalanan pulang melewati jalanan kota yang remang-remang terasa sunyi.
Begitu mobil berhenti di halaman mansion Morales, Matteo turun. Begitu kakinya melangkah ke dalam rumah, ia meninggalkan sosok "iblis" di luar pintu.Di ruang keluarga, seorang wanita sedang duduk sambil membaca buku. Rambut cokelat gelapnya jatuh menutupi sebagian wajah, cahaya lampu membuat kulitnya terlihat hangat dan lembut. Ophelia Estelle Morales, istrinya. Wanita yang berhasil menaklukkan dinding es yang selama ini membungkus hatinya.
"Matteo," suaranya pelan, namun hangat, seakan hanya dengan menyebut namanya semua kebengisan dunia bisa diluruhkan.
Matteo tersenyum tipis, senyum langka yang hanya dimiliki Ophelia dan putra kecil mereka. Ia menghampirinya, membungkuk, lalu mengecup dahinya. "Kau belum tidur?"
"Aku menunggumu," jawab Ophelia, menutup buku dan menatap suaminya. Ia tahu dari sorot mata Matteo bahwa malamnya kembali dipenuhi darah.
Tapi ia tidak pernah bertanya. Tidak pernah menuntut. Karena mencintai Matteo berarti menerima semua sisi gelap yang dimilikinya.
Tawa kecil pecah dari arah tangga, bening dan polos, membawa kehangatan di dalam rumah megah itu. Seorang bocah lelaki berusia lima tahun berlari kecil, kakinya menapak riang ke arah pria yang baru saja pulang.
"Daddy!" serunya penuh semangat.
Matteo, sang pria yang di luar sana dijuluki iblis berbalut jas, kini mendadak berubah. Senyum tipis menghiasi wajah dinginnya ketika ia meraih tubuh mungil itu, lalu mengangkatnya tinggi ke udara sebelum mendekapnya erat ke d**a bidangnya.
"Sudah malam, seharusnya kamu tidur, boy," ucap Matteo lembut, suara beratnya kali ini penuh kasih.
"Aku menunggu Daddy," rengek bocah itu, manja, membuat pria kejam yang terbiasa menuntut darah itu seketika luluh.
Ophelia, yang berdiri tidak jauh dari sana, hanya tersenyum. Pemandangan itu selalu membuat hatinya penuh syukur. Karena di luar sana, Matteo Morales adalah penguasa kegelapan, tapi di dalam rumah ini, di hadapan dirinya dan putra kecil mereka, ia hanyalah seorang pria hangat yang mengulurkan cinta tanpa batas.
"Okelah, boy. Apakah kamu ingin Daddy menemanimu tidur malam ini?" tanya Matteo sambil mencubit kecil hidung putranya.
"Iya!" jawab Ale dengan mata berbinar.
"Sudah sebulan Daddy tidak menemani Ale tidur. Jadi, malam ini Daddy harus menemani Ale dan membacakan cerita untuk Ale," pintanya dengan nada tegas khas anak-anak.
Matteo terkekeh kecil, lalu mengangguk pasrah. "Baiklah, pangeran kecilku. Tapi izinkan Daddy membersihkan tubuhnya dulu, ya? Kau pergi tunggu di kamar," ucap Ophelia dengan nada suara lembutnya.
"Baiklah, Mommy," jawab Ale cepat sambil menoleh pada Ophelia, lalu turun dari gendongan ayahnya.
"Jangan berlari, Ale!" seru Ophelia refleks, karena putranya sudah melesat menaiki tangga dengan langkah kecil penuh tenaga.
Belum sempat ia melanjutkan, sebuah lengan kokoh melingkari pinggang rampingnya dari belakang. Matteo memeluknya posesif, seakan menandai bahwa tubuh perempuan itu sepenuhnya miliknya.
"Siapa yang membuat tuanku ini marah lagi?" tanya Ophelia lirih, senyumnya menggoda ketika menoleh ke arah pria yang kini menempel erat di punggungnya.
Matteo menunduk, suaranya serak dan dalam, seperti gemuruh badai yang ditahan. "Seekor tikus kecil yang mencoba membocorkan rahasia kita pada sarang musuh." Napasnya hangat, menyapu kulit leher jenjang Ophelia.
Ophelia menoleh sedikit, menatap mata kelam suaminya. "Apakah tuanku ingin bermain?" bisiknya, jemari halusnya mengangkat dagu pria itu, memaksanya menatapnya dalam jarak begitu dekat hingga napas mereka bertaut.
"Tentu saja," gumam Matteo, tatapannya menyala penuh obsesi. "Aku harus bermain denganmu, sayang, karena amarah ini masih belum reda. Ulah tikus itu membuat si polisi tua kembali mencurigaiku." Tangannya yang berlumuran sisa darah kering kini menangkup wajah istrinya. Ibu jarinya, yang masih berbekas noda merah gelap, perlahan menyentuh bibir Ophelia.
Alih-alih menolak, Ophelia membuka mulutnya, menerima jari itu. Bibirnya menutup lembut di sana, lidahnya menjilati sisa darah seakan itu madu yang manis. Tatapannya tidak pernah lepas dari mata Matteo, seolah ingin menegaskan bahwa ia adalah satu-satunya wanita yang bisa memahami kegelapan pria itu.
Senyum miring terbit dari bibir Matteo, senyum iblis yang puas sekaligus terpesona. "Kamu memang satu-satunya yang tahu caranya menenangkan binatang buas ini," bisiknya, berat dan mengandung bara.
Dalam sekejap, ia mengangkat tubuh sang istri. Bukan dalam gendongan romantis, melainkan cara kasar, meletakkannya di bahu lebar seakan membawa barang rampasan. Namun Ophelia tidak mengeluarkan protes sedikit pun. Justru bibirnya melengkung, karena ia sudah terbiasa diperlakukan demikian, menjadi satu-satunya wanita yang berhak atas sisi paling gelap Matteo Morales.
Matteo melangkah mantap, bahunya kokoh menahan tubuh sang istri. Ophelia segera menyadari ke mana arah langkah itu, bukan menuju kamar mereka atau kamar tidur putra mereka, melainkan ke sebuah pintu besi gelap di ujung koridor.
"Matteo, tunggu. Ale meminta kau menemaninya tidur. Setidaknya bersihkan dirimu dulu, lalu temani dia," ucap Ophelia dengan suara lirih, mencoba mengingatkan.
Namun, Matteo tidak menghentikan langkah. "Diamlah," suaranya dingin, tegas, penuh perintah. Sebuah tepukan keras mendarat di bokongnya, membuat Ophelia menggigit bibir sendiri.
Ia ingin melawan, namun memilih menelan resahnya. Dalam hati, ia mendesis penuh kesal. "Tikus mana lagi yang membuat suamiku terbakar amarah begini? Jika aku terluka karena ulah mereka, sungguh, akan kuberi pelajaran yang takkan mereka lupakan."
Sesaat kemudian, pintu itu terbuka. Aroma khas logam dan kulit menyergap indra, memenuhi ruangan dengan nuansa d******i. Warna hitam dan merah mendominasi, menciptakan atmosfer yang menekan namun juga menggoda. Matteo menurunkan tubuh Ophelia, menempatkannya di tengah ruang yang dipenuhi bayangan misterius.
"Sayang," bisik Ophelia, suaranya memohon, matanya berusaha mencari sisi lembut sang pria.
"Diam," potong Matteo, tatapannya tajam, membuat setiap kata seperti belati yang menusuk tanpa darah.
Ophelia menunduk, hatinya bergejolak. Ia tahu suaminya sedang dikuasai emosi, namun di balik ketegasan dingin itu, ada obsesi yang hanya ditujukan padanya.
Gerakannya cepat, penuh kuasa. Matteo mengarahkan tubuh Ophelia ke posisi yang ia inginkan. Kini, sang wanita berdiri tegak, tubuhnya membentuk huruf X, kedua tangan dan kakinya terkekang oleh perangkat besi di sisi ruangan. Bayangan lampu merah yang redup jatuh di wajah Ophelia, membuat air mata tipis yang terbentuk di sudut matanya semakin berkilau.
Raut wajahnya ia buat tampak rapuh, berharap kelembutan Matteo kembali muncul. Namun pria itu hanya mendekat, jarinya yang dingin menelusuri pipi istrinya sebelum berhenti di dagu, memaksanya menengadah.
"Tunggu aku," gumam Matteo pelan, nadanya bagai peringatan sekaligus janji. "Hanya sebentar, aku harus menidurkan putra kita." Ia menepuk pipi istrinya lembut, kontras dengan sikap kerasnya barusan.
Sebelum pergi, Matteo menunduk mengecup kening Ophelia. Sebuah ciuman singkat, tapi cukup untuk membuat wanita itu terhanyut dalam pusaran rasa. Dan sebelum langkahnya meninggalkan ruangan, jemari Matteo menekan sebuah tombol.
Seketika, sebuah mekanisme tersembunyi yang sudah ia pasang di area privat sang istri bergerak. Getaran halus merambat, membuat Ophelia terpekik tertahan, tubuhnya bergetar dalam posisi terkekang. Ia mencoba menahan suara, namun matanya sudah terpejam, dikuasai sensasi yang datang begitu tiba-tiba.
Matteo berdiri sejenak, menikmati pemandangan itu, istrinya yang rapuh sekaligus tangguh, sepenuhnya miliknya. Sebelum benar-benar keluar, ia tersenyum miring, meninggalkan Ophelia dalam jeratan permainan yang hanya mereka berdua pahami.