5. Siapa Yang Akan Takluk?

1061 Words
Bibir Matteo masih memburu bibir Ophelia, setiap helaan napas mereka bertubrukan, meledakkan api yang sudah sejak awal tidak terkendali. Tangannya menahan pergelangan Ophelia di atas kepala, mengurungnya, membuat tubuh sang istri tidak punya pilihan selain menerima setiap sentuhan yang mendominasi. “Lihat dirimu, kucing manisku,” bisiknya serak di sela kecupan yang menuntut. “Berpura-pura melawan, tapi tubuhmu sudah menyerah habis-habisan.” Ophelia menggeliat, desahannya pecah, matanya berembun namun tetap menyala menantang. “Kalau aku menyerah, mengapa kamu masih sulit menaklukkanku, Matteo?” Suaranya bergetar, sensual, penuh provokasi. Matteo terkekeh rendah, suaranya bagai bara yang menyambar udara. Ia menurunkan bibirnya ke ujung d**a Ophelia, menjilat, menghisap dan menggigit ringan yang membuat sang istri melengkung tidak terkendali. Desahan panjang pecah dari bibir Ophelia, sementara jemarinya berusaha meraih bahu kokoh suaminya. Pinggul Matteo bergerak dengan irama yang tidak memberi ampun. Panas, dalam, menuntut. Setiap hentakan membuat ranjang berderak, dan setiap kali tubuh mereka bertemu, Ophelia menjerit lirih memanggil namanya. “Matteo ...,” suaranya bergetar, penuh permohonan, penuh gairah. “Aaah ...,” bibirnya bergetar, tidak mampu menahan gejolak yang semakin memuncak. Matteo menatapnya dari jarak begitu dekat, keringat membasahi keningnya. “Katakan siapa yang memiliki kucing manis ini.” Suaranya nyaris seperti geraman, namun mengalun bagai mantra. Ophelia terengah, tubuhnya berguncang dalam irama panas itu. “Kamu, hanya kamu, tuanku.” Matteo tersenyum miring, dan dengan satu gerakan penuh kuasa ia menghantam lebih dalam, membuat Ophelia melengking dengan kepala terlempar ke belakang. Gelombang demi gelombang kenikmatan menyapu tubuh mereka, hingga Matteo akhirnya mendesah panjang, menumpahkan seluruh miliknya ke dalam dirinya, membanjiri, memenuhi, menandai bahwa kucing manis itu sepenuhnya milik tuannya. Hening sejenak, hanya suara napas terengah yang tersisa. Matteo menunduk, mencium kening istrinya dengan lembut, kontras dari segala gairah liar barusan. “Kucing manis,” bisiknya rendah, “bahkan ketika kamu mencoba menaklukkan, pada akhirnya kamulah yang sepenuhnya kutaklukkan.” Ophelia, masih terengah, hanya mampu tersenyum samar. Tatapannya redup, tubuhnya lelah, namun hatinya penuh. “Atau mungkin, tuanku, kita berdua sama-sama jatuh dalam permainan yang sama?" Matteo hanya terkekeh mendengar pertanyaan sang istri. Ia kemudian merebahkan tubuhnya di samping sang istri. Ia membawa istrinya ke dalam dekapan hangat. Lengan kokohnya melingkari pinggang ramping Ophelia, menariknya lebih dekat seolah ingin meleburkan napas mereka menjadi satu. Ia menarik selimut tebal hingga menutupi tubuh polos mereka yang kini masih diliputi jejak malam panjang, lalu jari-jarinya yang besar namun lembut mengusap punggung istrinya perlahan, ritme teratur yang menenangkan. "Semalam ada penculikan, hingga aku harus segera keluar," suara Matteo terdengar berat, namun kini lebih rendah, nyaris seperti dongeng pengantar tidur. Ophelia hanya bergumam lirih, kepalanya semakin menyusup ke d**a bidang sang suami. Ia tampak begitu nyaman, seperti seekor kucing kecil yang mencari kehangatan di pangkuan tuannya. Matteo terkekeh pelan, menikmati gerak manja istrinya yang membuat sisi dingin dalam dirinya sedikit mencair. "Kamu benar-benar seperti kucing, selalu mencari celah untuk berdiam di dadaku," ujarnya, bibirnya menyentuh lembut puncak kepala Ophelia. Keheningan sesaat hanya diisi oleh detak jantung Matteo yang teratur, membuat Ophelia semakin terbuai. Hingga suara Matteo kembali terdengar, kali ini lebih serius. "Diego mengalami kecelakaan. Ia masih di ruang ICU karena pendarahan hebat setelah tertabrak mobil." Ophelia yang semula hampir terlelap membuka matanya perlahan, tapi tubuhnya enggan menjauh dari d**a Matteo. "Kecelakaan?" suaranya serak, nyaris tertelan gelap kamar. "Sepertinya itu tidak mungkin kebetulan. Apa mereka sengaja? Apa yang mereka incar dari Diego?" Matteo menghela napas berat, seperti menimbang tiap kata sebelum meluncur. Satu tangannya tetap setia mengusap punggung istrinya, gerakan sederhana yang justru menenangkan sekaligus menegangkan. "Kemungkinan besar begitu. Aku juga tidak tahu apa yang mereka incar, karena sampai di gudang tua itu, aku langsung menghabisi mereka tanpa terkecuali," jawabnya, datar, dingin, tanpa penyesalan. Ophelia perlahan menegakkan kepalanya. Kedua mata itu kini menatap langsung wajah sang suami, penuh rasa cemas yang terselip dalam tatapan lembut. "Apakah mungkin sebenarnya mereka mengincarmu? Diego hanya menjadi alat pemancing agar kamu keluar dan seharusnya kecelakaan itu melukai kamu, bukan Diego?" Satu tangan halusnya terangkat, menyentuh rahang kokoh Matteo dengan sentuhan yang bergetar. Laki-laki itu segera menangkup tangan kecil istrinya, menahannya di sana. Mata hitamnya berkilat, penuh tajam yang menusuk. "Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, mereka sudah berani mengusikku sejauh ini. Bahkan rela melakukan hal menjijikkan hanya demi satu tujuan, yaitu menghabisiku." Suaranya dalam, dingin, dan mengandung bara yang tersembunyi. Mata mereka saling beradu, dan seketika dunia terasa mengecil, menyisakan hanya detak jantung yang bertalu cepat. Keheningan yang menggantung seperti senjata yang siap meledak kapan saja. Ophelia akhirnya menutup matanya lagi, meresapi suara Matteo yang begitu kelam, namun entah bagaimana mampu menenangkan. Setiap kata suaminya bagai mantra, pahit dan getir, tapi menjerat hatinya lebih dalam. Namun, kegelisahan tetap mengusik benaknya. Bayangan seseorang yang berani menargetkan Matteo membuat tubuhnya gemetar. Ada ketakutan kehilangan, ada amarah yang nyaris tidak tertahan. "Matteo," suaranya lembut, pecah di ujung bibir. "Apakah kita akan selalu hidup dalam lingkaran ini? Darah, intrik, ancaman. Apakah tidak akan pernah ada jeda untuk sekadar bernapas?" Matteo menunduk, bibirnya menyentuh pelipis istrinya dengan kecupan singkat namun penuh makna. Ia mengembuskan napas, berat namun lembut di telinga Ophelia. "Kucing manisku, kita justru bernapas di tengah badai. Tanpa badai, aku bukan siapa-siapa. Dan kita tidak akan pernah sampai di titik ini." Ophelia tersenyum samar, matanya kembali terpejam. Ia tahu, kerasnya Matteo di luar, dinginnya Matteo di dunia gelap penuh darah itu, hanya dia yang bisa melihat sisi yang lembut, sisi yang menyebutnya kucing manis, atau kucingku. Tapi Matteo belum selesai. Usapannya di punggung berhenti. Tangan itu kini menggenggam lebih erat, menekan, seolah menegaskan sesuatu yang jauh lebih berat. "Mulai hari ini, Katerina akan tinggal bersama kita." Kalimat itu jatuh begitu saja, menghantam telinga Ophelia bagai batu besar di tengah danau tenang. Matanya langsung terbuka, menatap lurus mata suaminya, mencari alasan yang ia tahu tidak akan ia sukai. Bibirnya terbuka, siap menentang, tapi Matteo sudah mendahului. "Aku tidak ingin ada keributan. Tidak ada konfrontasi. Dan yang terpenting ...," Matteo berhenti sejenak, menatap tajam dengan suara berat yang menekan d**a. "Jangan sampai kamu mengganggu kehamilannya." Tubuh Ophelia menegang. Darahnya seakan berhenti mengalir. "Kehamilan?" ulangnya lirih, nyaris tercekat. Matteo menatapnya tanpa berkedip, dingin namun tetap membungkusnya dengan dekapan hangat. "Ya. Katerina sedang mengandung. Dan aku tidak akan membiarkan satu pun hal buruk menimpanya. Ingat baik-baik ucapanku, Ophelia. Demi keselamatanmu, demi rumah ini, dan demi anak yang sedang ia kandung."Ruangan itu mendadak sesak, padahal hanya ada mereka berdua. Seolah udara menolak masuk, meninggalkan rasa pengap yang membakar d**a.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD