Ruang makan keluarga Morales biasanya menjadi tempat hangat, tempat tawa kecil Alessio selalu terdengar, dan tempat Ophelia selalu berusaha menciptakan keintiman sederhana di tengah kesibukan Matteo yang dingin. Namun, malam ini semuanya berubah. Lampu kristal di atas meja makan memang tetap memancarkan cahaya kuning keemasan, piring-piring porselen tersusun rapi, dan hidangan hangat menguar aroma menggoda. Tapi bukan itu yang memenuhi ruangan, melainkan hawa dingin yang menusuk, menelusup di antara setiap helaan napas.
Ophelia sudah lebih dulu duduk di kursinya, mengenakan gaunrumah sederhana berwarna biru pucat. Tatapannya kosong menatap meja,jari-jarinya sibuk meremas taplak kain, sementara pikirannya masih bergaung
oleh kata-kata suaminya di kamar tadi, "Katerina akan tinggal bersama kita."
Ketika suara roda berdecit perlahan terdengar dari pintu, tubuhnya menegang otomatis. Matteo muncul, tegap, dingin, dengan tangan kuatnya mendorong kursi roda Katerina masuk. Katerina, dengan gaun putih sederhana dan wajah yang tampak begitu tenang, duduk di sana dengan senyum samar yang seakan sengaja dipamerkan.
Ophelia merasakan hatinya diremas kasar. Senyum itu, keberanian Katerina duduk di meja yang seharusnya hanya untuk keluarganya, membuatnya ingin berteriak. Tapi tatapan tajam Matteo sudah lebih dulu mengekang lidahnya,
seolah memberi peringatan tanpa suara, "Jangan membuat keributan."
Alessio yang duduk di samping ibunya, menatap dengan dahi berkerut. Anak itu menoleh ke kiri, ke arah kursi roda, lalu ke kanan menatap ayahnya. Dengan suara jernih khas bocah yang belum tahu apa-apa, ia bertanya, "Daddy, kenapa Tante Katerina ada di rumah kita?" Pertanyaan itu menggantung di udara, menusuk lebih dalam daripada pisau.
Matteo meletakkan tangan di atas meja, berhenti sesaat, lalu menatap lurus ke arah putranya. Suaranya berat, tidak terbantahkan. "Karena mulai malam ini, Tante Katerina akan tinggal bersama kita."
Alessio memiringkan kepala, masih tidak mengerti. "Kenapa, Dad? Bukannya Tante punya rumah sendiri?"
Ophelia menahan napas. Ia ingin sekali ikut bicara, ingin menolong putranya dari kebingungan itu, namun Matteo lebih dulu menambahkan dengan nada dingin yang seketika membuat udara di ruang makan terasa semakin beku.
“Tidak perlu banyak bertanya, Ale. Yang perlu kamu tahu, Daddy yang memutuskan.”
Kata-kata itu jatuh seperti palu, tidak memberi ruang bagi suara lain. Di bawah meja, Ophelia merasakan jemari mungil Alessio merayap mencari tangannya. Genggaman kecil itu erat, penuh keresahan, seakan anak it takut kehilangan pegangan. Ophelia mengeratkan balasan genggamannya, mencoba menyalurkan ketenangan yang sebenarnya tidak ia miliki.
Alessio menunduk, wajahnya muram. Namun beberapa detik kemudian ia mengangkat kepalanya, mencoba tersenyum dengan keberanian polos khas bocah seusianya. “Baiklah, Ale tidak akan bertanya lagi.” Suaranya lirih, tapi matanya masih menyimpan secercah harapan. “Tapi, bolehkan Ale minta disuapi Daddy? Anggap saja, permintaan maaf Daddy karena semalam ingkar janji.”
Wajah kecil itu menatap ayahnya penuh ekspektasi. Sorot matanya berkilau, seakan satu suapan dari sang ayah bisa menghapus semua luka kecil yang tertinggal di hatinya.
Namun, yang datang hanya dingin. Matteo mengalihkan tatapannya untuk menatap sang putra. “Ale sudah besar,” ucapnya datar, tanpa satu pun nada kehangatan. “Kamu bukan bayi yang harus disuapi.”
Ucapannya begitu tegas, seolah menutup pintu. Dan seakan untuk menegaskan jarak yang ia ciptakan, Matteo justru meraih sendok, untukmenuangkan sup hangat dengan penuh hati-hati ke dalam mangkuk di hadapan Katerina. Tangannya begitu lembut saat menggeser piring itu, seolah ingin memastikan setiap detailnya sempurna.
Dunia kecil Alessio runtuh seketika. Sorot matanya yang tadi berbinar meredup, berubah menjadi genangan kecewa. Mata bundarnya tampak berkaca-kaca, meski ia berusaha keras menahannya agar tidak tumpah. Ia menunduk, jemarinya hanya menggulir sendok di dalam nasi, tanpa nafsu.
Ophelia merasa dadanya seakan diremas kasar. Sakit. Sangat sakitmelihat putranya dihancurkan dengan cara sekejam itu. Ia buru-buru mendekat,meraih sendok dari tangan anaknya, lalu tersenyum hangat meski hatinyamenangis. “Tidak apa-apa, Sayang. Mommy yang akan suapi putra kecil Mommy,”ucapnya lembut, berusaha menambal luka yang baru saja tercipta.
Alessio menoleh, matanya memerah, namun ia tersenyum samar, berusaha terlihat kuat. “Terima kasih, Mommy. Ale bisa makan sendiri,” bisiknya, menolak dengan sopan. Anak itu berusaha menahan harga dirinya, meski jelas sekali ia ingin sekali dimanja.
Ophelia menelan sesak di tenggorokannya. Ia tahu betul putranya tengah menahan tangis, memilih menjaga martabatnya di depan sang ayah. Ia membiarkan senyum kecil itu, meski hatinya hancur berkeping-keping.
Suara lain tiba-tiba menyusup ke dalam ruang makan, pelan namun tajam. “Estelle,” ucap Katerina dengan nada lembut yang dibungkus kepalsuan, “anak laki-laki jangan dimanjakan. Jika terus seperti ini, dia tidak akan pantas menjadi penerus keluarga Morales.”
Kata-kata itu bagaikan jarum, menusuk halus namun dalam. Senyum samar terbit di wajah Katerina, seolah ia baru saja memberikan nasihat penuh kasih, padahal ujungnya jelas bermaksud merendahkan.
Ophelia menoleh, matanya menyipit. Sebuah senyum terangkat di bibirnya, senyum sinis yang tidak bisa ia sembunyikan. “Terima kasih atas perhatianmu, Katerina,” ucapnya manis, meski setiap kata mengandung racun. “Sayangnya, aku tidak khawatir sedikit pun. Putraku adalah darah daging Matteo. Dia lahir dari rahimku dan membawa garis keturunan Morales yang murni. Itu saja sudah lebih dari cukup untuk menjadikannya penerus yang sah dan tentu saja, putraku jauh lebih pantas daripada anak siapa pun yang hanya menumpang di bawah atap ini.”
“Apa yang dikatakan Katerina benar. Jika Ale tumbuh manja seperti itu, maka dia tidak pantas meneruskan usahaku,” ucap Matteo dengan nada serupa bilah es, tatapannya dingin menusuk lurus ke arah Ophelia.
Ophelia menegakkan tubuhnya dengan anggun, seolah ucapan suaminya hanyalah desisan angin yang lewat. Senyum samar melintas di wajahnya, senyum yang begitu kontras dengan tensi di ruangan itu. “Baiklah, baiklah, terserah kamu saja, Matteo. Aku hanya ingin memberikan cinta pada putraku, supaya dia tidak tumbuh menjadi pria dingin yang keras kepala seperti Daddynya.”
Kata-kata itu dilontarkan begitu santai, namun setiap suku katanya menghantam Matteo seperti anak panah yang tepat menancap di d**a. “Ah,” lanjut Ophelia sambil melirik ke arah putranya yang masih tekun menyuap makanan tanpa terpengaruh ketegangan orang tuanya, “tapi memang wajar, bukan? Daddynya tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Jadi ntidak aneh kalau dia tumbuh menjadi sosok yang dingin, kaku dan tidak punya hati.”
Seketika tatapan Matteo menggelap. Otot rahangnya mengeras, jemarinya yang sejak tadi menggenggam pisau di tangan mencengkram lebih kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Sorot matanya menyala, seperti bara api yang siap membakar siapa pun yang berani menyulutnya.