Aya duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke luar jendela apartemen kecilnya. Angin malam berhembus pelan, membawa serta kecamuk pikirannya yang tak kunjung reda sejak pertemuannya dengan Prasetyo tadi siang.
Ia mengira pertemuan itu akan memberinya jawaban. Bahwa mungkin Prasetyo akan mengakui kesalahannya, meminta mereka melupakan semua, dan kembali ke kehidupan masing-masing. Tapi nyatanya, pria itu justru mengakui sesuatu yang lebih dalam—bahwa ia juga menginginkan Aya.
Aya menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Ini seharusnya tidak terjadi. Ia seharusnya tidak pernah jatuh ke dalam hubungan ini. Tapi setiap kali ia mengingat cara Prasetyo menatapnya, cara pria itu menggenggam tangannya seolah enggan melepaskannya, ia merasa hatinya semakin goyah.
Ponselnya bergetar di atas meja. Aya meliriknya sekilas. Nama Prasetyo tertera di layar.
Ia diam, membiarkan ponsel itu terus bergetar, seakan berharap pria itu akan menyerah dan berhenti menghubunginya. Tapi panggilan itu terhenti, hanya untuk kembali bergetar beberapa detik kemudian.
Dengan ragu, akhirnya Aya menggeser layar dan mengangkatnya.
“Halo…” suaranya nyaris hanya bisikan.
“Kenapa kamu nggak jawab?” suara Prasetyo di seberang terdengar lembut, tapi juga penuh ketegangan.
Aya menghela napas. “Karena aku nggak tahu harus ngomong apa.”
Hening sejenak.
“Aku bisa ketemu kamu?” tanya Prasetyo akhirnya.
Aya menelan ludah. Ia tahu seharusnya ia menolak. Seharusnya ia menjaga jarak, menjauh sebelum semua ini semakin dalam. Tapi bagian lain dalam dirinya, bagian yang tak bisa membohongi perasaannya, menginginkannya.
“Di mana?” tanyanya pelan.
Prasetyo menunggu di dalam mobilnya, memandangi restoran kecil di seberang jalan tempat ia dan Aya berjanji bertemu. Ia merasa gelisah, sesuatu yang jarang ia rasakan.
Ia bukan pria yang suka melakukan sesuatu tanpa perhitungan. Dalam bisnis, ia selalu berpikir logis, menghindari risiko yang tidak perlu. Tapi kali ini berbeda. Aya membuatnya ingin mengambil risiko, membuatnya ingin melakukan sesuatu yang selama ini ia hindari mengikuti kata hatinya.
Pintu restoran terbuka, dan ia melihat Aya melangkah masuk.
Tanpa pikir panjang, Prasetyo keluar dari mobil dan berjalan menghampirinya.
Aya menoleh begitu ia mendekat. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua keraguan yang tadi ada di benak Prasetyo menghilang.
Mereka memilih meja di sudut ruangan, jauh dari sorot mata orang-orang. Aya tampak gelisah, memainkan ujung lengan bajunya tanpa sadar.
“Aku nggak tahu kenapa aku ada di sini,” katanya akhirnya.
Prasetyo tersenyum kecil. “Karena kamu juga ingin bertemu denganku.”
Aya mengalihkan pandangannya. Ia tidak bisa menyangkal itu.
Prasetyo mengulurkan tangan, menyentuh jemari Aya yang tergeletak di meja. Sentuhan itu membuat Aya menegang.
“Aku tahu ini salah,” bisik Prasetyo. “Tapi aku juga tahu kalau aku nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa di antara kita.”
Aya menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menolak, untuk mengatakan bahwa mereka harus berhenti. Tapi ketika ia menatap mata Prasetyo, semua tekadnya melebur.
Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu ada seseorang yang akan terluka dalam hubungan ini. Tapi ia juga tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa hidup.
Aya menarik napas dalam. “Aku takut, Pras.”
Prasetyo menggenggam tangannya lebih erat. “Aku juga, Aya. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu.”
Dan pada saat itu, mereka tahu tidak peduli seberapa salah hubungan ini, mereka sudah terlalu dalam untuk berhenti.