Gelombang Takdir

1122 Words
Proloq 26 Desember 2004. Pagi di Banda Aceh, langit tampak begitu cerah, seolah tak ada tanda-tanda kehancuran yang akan segera tiba. Ricky, seorang dokter spesialis yang baru menempati rumah barunya bersama istri tercinta, sedang memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Tangannya meraih tuas kunci, bersiap mematikan mesin. Hatinya penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan karena akan memulai hidup baru bersama Amelia. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa dalam hitungan detik, hidupnya akan berubah selamanya. Tiba-tiba, gemuruh menggelegar dengan suara yang seakan mengguncang bumi. Suara yang begitu asing, menggetarkan seakan menusuk ke sumsum tulang belakang . Sebelum Ricky sempat membuka pintu mobilnya, sebuah bayangan hitam menjulang di kejauhan, bagai serdadu perang yang menyerang dengna penuh kekuatan. Laut yang seharusnya berkilau damai kini bergejolak, menciptakan tembok air setinggi pohon kelapa, bergerak dengan kecepatan mengerikan menyapu semua yang ada di daratan. Orang-orang berlarian, menjerit ketakutan , berusaha menghindar air bah yang datang dengan kekuatan cepat dan penuh, menyapu semua yang menghalangi jalannya. Ricky menoleh kembali ke balkon rumah. Di sana, Amelia berdiri membeku, wajahnya pucat pasi. Matanya membulat, bibirnya bergetar menyebutkan nama Ricky . Suaranya tertelan oleh gemuruh ombak yang mendekat. Mereka bertatapan, waktu menjadi tak bergerak. Dalam sorot mata Amelia, Ricky melihat ketakutan yang menusuk hati, kepedihan yang tak terlukiskan. Ricky ingin mengulurkan tangan, ingin balas meneriakkan nama Amelia, ingin berlari dan merengkuhnya dalam pelukan. Namun, takdir berjalan lebih cepat dari keinginannya. Ombak raksasa itu datang menerjang. Dalam hitungan detik, dunia mereka yang sebelumnya indah sebagai pengantin baru , kini porak-poranda. Ricky terseret dalam kekacauan yang mencekam. Air bah menggulung tubuh dan mobilnya secara bersamaan. Mobilnya melayang di dalam pusaran air, terombang-ambing seakan tak berbobot. Tubuhnya terguncang keras saat mobilnya menabrak sesuatu, mungkin rumah, mungkin mobil, mungkin juga pohon, ia sama sekali tak tahu. Dia masih mencengkeram setir dengan erat untung seat belt masih melilit tubuhnya sehingga dia tidak terlempar keluar dari mobil. Setiap benturan menggetarkan tulangnya, rasa sakit menjalar menusuk seluruh tubuhnya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tapi bukan itu yang membuatnya hancur, yang membuat hatinya remuk adalah tatapan Amelia yang masih terpatri di benaknya. Wanita yang baru sehari resmi menjadi istrinya, wanita yang ingin dia bahagiakan dengan seluruh jiwanya, kini mereka harus terpisah oleh bencana yang tak terduga. Dengan sisa kekuatannya, Ricky menatap ke arah kaca yang buram oleh lumpur dan serpihan bangunan . batang pohon dan benda-benda lainnya yang terombang-ambing di dalam air. Dalam kesunyian yang mencekam, ia bisa membayangkan mata Amelia yang basah oleh air mata, tatapan ketakutan yang bercampur kepedihan. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin mengukir kata-kata terakhir yang bisa didengar Amelia tapi napasnya semakin berat, oksigen di dalam mobilnya semakin menipis. Ricky hanya sanggup mematri ingatannya pada sosok istrinya tercinta, merasakan bayangannya melebur dalam hatinya. Dengan desah napas yang mulai menghilang, dia berbisik, "Amelia... maafkan aku... Maafkan aku karena kita harus terpisah seperti ini. Aku akan mengingatmu selamanya... Selamat tinggal, kekasih hatiku... sampai kita bertemu di keabadian." Gelap. Dunia seakan menelan Ricky dalam keheningan yang menyesakkan. ++++ Saat tsunami menerjang Aceh, tak ada satu pun sudut daerah yang terbebas dari dampaknya. Salah satunya adalah Desa Jeumpa, sebuah desa kecil yang terletak sekitar 10 kilometer dari Banda Aceh. Ombak raksasa menghantam daratan dengan kekuatan yang tak terbendung, menelan rumah-rumah, kendaraan, dan manusia dalam pusarannya yang mengerikan dan menghancurkan, meluluh lantakan semua yang ada bahkan gedung dan kapal. Penduduk desa berlari tunggang langgang ke atas bukit, berusaha menyelamatkan diri. Jeritan kepanikan membahana, bercampur dengan suara gemuruh ombak yang meluluhlantakkan segalanya. Namun, di antara kepanikan itu, seorang gadis hanya berdiri mematung di depan halaman rumahnya yang terletak di atas bukit. Rania, gadis berusia delapan belas tahun itu, tidak ikut berlari. Ia hanya menangis, menatap gelombang dahsyat yang menghancurkan rumah-rumah tetangga yang ada di bawahnya, menyapu mereka yang berusaha menyelamatkan diri dengan berlari sekuat tenaga hanya dengan pakaian yang melekat di tubuh. Air mata mengalir di pipi Rania, jari-jarinya mencengkeram baju yang dikenakannya, hatinya berteriak, tetapi tak satu pun suara keluar dari bibirnya.Dadanya terasa sesak. Hatinya tahu, ayah dan kakaknya yang pagi tadi pergi melaut tidak akan pernah kembali. Dan itu semua... karena dirinya. Pagi tadi, saat mentari masih tersipu di balik awan. Sambil menyeruput kopinya, ayahnya berkata dengan mata yang berkaca-kaca. Kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya terdengar penuh rasa sakit “ Kenapa kamu diam saja selama ini, Nduk.. Kenapa kamu tidak pernah memberitahu ayah? Kenapa kamu tidak pulang saja kembali ke rumah, kalau kamu merasa semua itu terlalu berat.” Suara ayahnya bergetar, rahang lelaki tua itu mengeras menahan sakit. Dengan ekspresi terluka Rania hanya menunduk dan berkata “ aku … aku tidak mau jadi beban bagi ayah. Aku hanya ingin tetap melanjutkan sekolah sampai sekolahku tamat.” Jawabnya dengan suara lirih, hampir berbisik Ayahnya menghela napas panjang, seperti menahan pedih yang begitu dalam. Ia tak berkata apa-apa lagi. Tanpa menoleh, ia mengambil jaring dan dayungnya, lalu pergi melaut bersama kakaknya. membawa luka karena putri kesayangannya kemarin sore tiba di rumah dengan berita yang membuat hatinya terluka. Dia merasa gagal melindungi putri kesayangannya, dia merasa bersalah pada putrinya itu. Dan kini, lautan menelan ayahnya. Rania menekan dadanya yang terasa perih. Tubuhnya mulai bergetar hebat. Jika saja ia bisa menarik kembali waktu. Jika saja ia bisa memohon pada ayahnya untuk tetap tinggal. Jika saja ia tidak menyembunyikan segalanya selama ini. Dada Rania bergemuruh. Apakah lebih baik jika ia turun ke bawah, menerjang ombak itu agar ia bisa menyatu dengan keluarganya dalam kematian? Apa gunanya hidup jika semua yang ia cintai telah direnggut? Langkahnya mulai goyah. Ia memutuskan turun dari bukit , ingin menyusul ayah dan kakaknya. Hidupnya kini tidak ada artinya lagi. Namun, saat ia hendak melangkah, tiba-tiba sesuatu menerobos air bah yang bergelora. Sebuah mobil, seperti dilempar oleh tangan raksasa, melayang di udara dan mendarat keras tepat di depan halaman rumahnya. Air yang terciprat menghantam tubuhnya, membuatnya tersadar. Rania menatap mobil itu dengan napas memburu. Di dalamnya, seorang lelaki tampak terkulai, wajahnya pucat, tak sadarkan diri. Hati nuraninya berteriak, haruskah ia pergi atau menolong lelaki ini? Pilihannya hanya satu. Dengan sisa keberanian yang ia miliki, Rania berlari menuju mobil. Tangannya gemetar saat menarik gagang pintu yang hampir tertutup lumpur. Dengan tenaga yang nyaris habis, ia menyeret tubuh lelaki itu keluar, menariknya menjauh dari gelombang yang terus datang. Ia menyeret tubuh berat itu menuju saung kecil, tempat biasa ayah dan kakaknya beristirahat setelah melaut. Sementara itu, bencana belum berakhir. Ombak datang silih berganti, menggulung sisa-sisa desa dengan keganasan yang tiada tara. Jeritan manusia terus terdengar, suara tangisan dan rintihan kehilangan mengiris pagi yang kelam seakan hari sudah malam. Bau air asin bercampur dengan aroma kematian. Langit yang tadinya cerah kini gelap, seolah berkabung atas kehancuran yang terjadi. Rania menggigit bibirnya, menahan tangis. Tangannya menggenggam erat lengan lelaki itu, memastikan bahwa setidaknya satu nyawa bisa ia selamatkan di tengah bencana yang merenggut segalanya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD