Ombak Yang Merenggut, Ombak Yang Mempertemukan

901 Words
Rania menatap langit yang perlahan kehilangan murkanya. Sudah tanpa amarah dan tampak tenang, hanya meninggalkan gelap bagaikan senja telah datang, padahal sebelum ombak menerjang adalah pagi yang terang benderang. Kini Langit seakan membawa sisa cahaya yang samar, seolah turut berkabung atas kehancuran yang baru saja terjadi. Di dalam saung kecil di atas bukit, tubuh lelaki itu terbujur diam. Nafasnya berat, wajahnya pucat, bibirnya pecah-pecah. Rania duduk bersila di sampingnya, tangannya yang kurus mencengkeram lutut, seakan mencoba menahan gemetar yang sejak tadi tak kunjung reda. Di kejauhan, para tetangga masih berlarian ke bukit yang lebih tinggi. Jeritan dan tangisan bercampur dengan suara reruntuhan yang ambruk. Ombak tinggi yang tadi begitu beringas kini perlahan surut, meninggalkan kehancuran yang tiada tara. Perahu-perahu nelayan yang biasanya tertambat rapi di tepi pantai, kini tersangkut di atas pohon bakau. Rumah-rumah yang berdiri kokoh pagi tadi, kini hanya puing-puing tanpa bentuk . Desa Jeumpa yang sebelumnya tenang dan indah kini tampak mencekam penuh kesedihan. Pak Abdul, kepala desa, sempat berhenti di depan saung, wajahnya penuh keringat dan kepanikan. "Ayo, Nak! Jangan tinggal di sini! Bisa ada ombak susulan!" serunya, tangannya terulur, mengisyaratkan agar Rania bersedia ikut bersamanya. Namun Rania hanya menggelengkan kepalanya pelan. Pak Abdul menatapnya sejenak, lalu menghela napas. Tidak ada waktu untuk membujuk gadis yang keras kepala ini. Ia pun berlari kembali ke arah para pengungsi, meninggalkan Rania yang masih duduk dalam diam. Rania hanya menatapnya pergi dengan mata kosong. Buat apa? Untuk apa ia berlari? Kalau ombak ingin mengambilnya, biarlah. Ia sudah kehilangan segalanya. Ayahnya, kakaknya, rumahnya. Semuanya. Tadi, ketika ia sudah memutuskan untuk menyerah, Tuhan justru melemparkan lelaki ini ke hadapannya. Lelaki asing yang terjebak di dalam mobilnya, hanyut terbawa gelombang, dan terlempar tepat di depan tempatnya berdiri. Mungkin ini bukan kebetulan. Mungkin Tuhan ingin memberinya teman untuk menemaninya saat menjemput ajal. Tiba-tiba bumi kembali berguncang. Rania mencengkeram tiang bambu saung dengan sekuat tenaga. Tanah bergetar di bawahnya, suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Saung itu berderit, nyaris roboh. Laut kembali bergemuruh, ombak lain datang, meski tak setinggi sebelumnya. Tapi tetap saja cukup membuat jantungnya berdegup kencang, cukup untuk mengingatkannya betapa dekatnya ia tadi dengan kematian. Beberapa menit berlalu. Gempa mulai melemah. Gelombang perlahan mereda. Dan akhirnya, yang tersisa hanyalah kesunyian yang menenangkan telinga. Rania menatap laut yang kini tampak tenang, seperti anak kecil yang baru saja selesai mengamuk dan pura-pura lupa dengan kehancuran yang telah diperbuatnya. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara batuk pelan. Rania tersentak. Ia menoleh, menatap lelaki yang tadi disangkanya tak akan pernah membuka mata lagi. Kelopak matanya berkedut, lalu perlahan terbuka. Sejenak, hanya ada kebingungan di sana. Lalu dari bibir keringnya, keluar sebuah bisikan yang nyaris tak terdengar. "Amelia..." Rania mengernyit. "Aku Rania, bukan Amelia," katanya pelan. "Bisakah kamu bangkit?" Lelaki itu mengerjap, matanya masih kosong seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang. Ia mencoba bergerak, namun tiba-tiba tubuhnya menegang. "Auh... kakiku... tidak bisa bergerak," desahnya lemah. Rania menggigit bibirnya, menatap kaki lelaki itu yang tampak kaku. Apakah patah? Atau hanya terkilir? Ia tidak tahu. Yang jelas, saat ini mereka harus tetap di sini. "Berbaringlah dulu. Keadaan masih belum aman. Gempa masih terus melanda," ujar Rania dengan suara lirih. Lalu matanya menangkap kendi air di sudut saung. Dengan cepat, ia meraihnya dan menuangkan air ke dalamnya. "Kamu mau minum?" tanyanya. Lelaki itu hanya mengangguk pelan. Rania pun mengangkat kepalanya sedikit dan membantunya meneguk air dari kendi. Air mengalir melewati tenggorokannya, tapi detik berikutnya, ia tersedak dan batuk hebat. Rania menatapnya dengan rasa iba. "Mungkin kamu sempat menelan air saat di dalam mobil," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Lelaki itu diam. Matanya masih sayu, napasnya masih tersengal. Di luar, suara tangisan dan jeritan masih menggema, menyayat langit yang kelabu. Orang-orang berlarian, kaki mereka terperosok dalam lumpur, tangan mereka menggali reruntuhan dengan putus asa, berharap menemukan keajaiban di antara puing-puing kematian. Nama-nama dipanggil, suara mereka serak, namun hanya angin yang menjawab, membawa duka ke seluruh penjuru. Dan di dalam saung kecil ini, dua jiwa yang terdampar duduk dalam kebisuan. Dua orang asing yang dipertemukan oleh bencana, terikat oleh ketidakpastian yang sama. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing, dalam pertanyaan-pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban. Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban menggambang dalam pikiran lelaki itu, Kenapa aku masih hidup? Lelaki itu menatap kosong ke langit-langit, pikirannya melayang-layang, berusaha merangkai potongan-potongan ingatan yang berantakan. Seatbelt yang menahannya di dalam mobil… Air laut yang menghantam dari segala arah… Satu nama yang terus berputar di kepalanya… "Amelia." Hanya itu. Tidak ada lagi yang tersisa. Tidak ada wajah, tidak ada kenangan lain. Bahkan namanya sendiri pun tak bisa ia ingat. Otaknya terasa kosong, seakan bencana itu tidak hanya menghancurkan dunia di sekelilingnya, tapi juga merenggut jati dirinya. Sementara itu, Rania menatap lelaki ini dengan getir. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak, sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Tadi, ia sudah pasrah. Sudah menyerah. Sudah siap mati. Lalu kenapa Tuhan mengirim lelaki ini kepadanya? Kenapa mobilnya harus terlempar ke hadapannya, saat ia berdiri di ujung keputusasaan? Kenapa dia harus menyelamatkan lelaki ini, ketika ia sendiri sudah tidak ingin diselamatkan? Apakah ini sekadar kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menunggu mereka di ujung jalan? Di luar, langit masih muram, laut masih berbisik pilu, dan angin membawa isak tangis yang tak kunjung reda. Tapi di dalam saung kecil ini, dua nyawa yang tersisa hanya bisa duduk diam, menatap kehampaan di depan mereka. Tanpa tahu apakah mereka sedang diberi kesempatan kedua… Atau hanya ditunda sebelum akhirnya benar-benar diambil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD