Takdir Dibalik Dusta

1183 Words
Pagi berganti malam yang terasa begitu gelap. Tidak ada cahaya lampu, tidak ada bantuan, hanya suara isak tangis dan jeritan yang masih menggema di udara. Bau asin laut bercampur dengan bau lumpur masih terasa kuat menyelimuti seluruh desa. Angin malam berhembus dingin, menggigit kulit, seakan ingin mengingatkan bahwa mereka masih hidup, meskipun hidup yang tersisa hanyalah keping-keping dari apa yang pernah ada. Rania duduk bersandar di dinding saung, matanya menatap kosong ke arah gelapnya desa yang baru saja diluluh lantakkan oleh gelombang raksasa. Lelaki di sampingnya masih terbaring diam, nafasnya berat, wajahnya pucat. Hanya deru nafasnya yang membuktikan bahwa ia masih hidup. Di kejauhan, para penduduk desa masih sibuk mencari keluarga mereka yang hilang. Nama-nama dipanggil tanpa jawaban. Anak-anak menangis mencari ibu mereka. Seorang wanita terduduk di tanah, berulang kali memanggil nama suaminya yang tak kunjung menyahut. Tidak ada yang tahu berapa banyak yang masih hidup ataupun berapa banyak yang telah pergi. Pak Abdul, sang kepala desa, tampak sibuk berjalan ke sana kemari bersama beberapa pamong desa. Mereka bersiap-siap membangun tenda darurat di tempat tertinggi di Desa Jeumpa. Ia kembali berjalan mendekati Rania, wajahnya lelah namun masih terasa aura mengayomi. Dia memang pemimpin desa yang baik dan sangat bertanggung jawab. "Rania… rumahmu memang tidak terkena sapuan ombak, karena letaknya paling tinggi. Apakah kamu mau mengungsi ke tenda yang kita bangun di bukit?” Rania menjawab dengan gelenggan lemah . Pak Abdul memastikan lagi “ Kalau kamu tidak mau mengungsi, kamu ada beras nggak untuk makan kalian ?" Kali ini , Rania mengangguk lemah. Suaranya hampir tidak terdengar ketika menjawab, "Ada, Pak. Saya akan kembali ke rumah, sebentar lagi, saat yakin tidak ada lagi gempa susulan” Rania menarik nafas dan melanjutkan “ Aku takut rumahnya runtuh Pak , kalau masih ada gempa” Pak Abdul mengangguk setuju " Sementara jangan masuk ke dalam rumah dulu, tunggu sampai benar-benar aman " Katanya dengan suaranya yang kebapakan lalu matanya beralih ke lelaki yang terbujur di samping Rania. Alisnya berkerut. "Siapa lelaki itu? Suamimu? Dia datang kemarin bersamamu dari Banda Aceh?" tanyanya, menatap penuh tanya. Rania membuka mulut, ingin menggeleng, ingin mengatakan bahwa ia bahkan tidak mengenal lelaki itu. Tapi tiba-tiba pikirannya berputar. Jika ia menggeleng, keadaannya akan semakin runyam. Hukum di Aceh tidak memperbolehkan seorang lelaki dan perempuan tinggal satu rumah tanpa ikatan pernikahan. Dan yang menahan dirinya dan menganggap pertanyaan Pak Abdul adalah jawaban dari segala rasa putus asanya adalah karena di dalam rahimnya, ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh. Mungkin ini adalah cara Tuhan untuk membantunya. Mungkin ini adalah jalannya agar anak dalam kandungannya memiliki seorang ayah. Mungkin ini bantuan dari yang maha kuasa agar anaknya tidak dihujat sebagai anak haram. Rania menarik napas panjang, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Iya, Pak. Dia suamiku. Kami sudah menikah siri di Banda Aceh dan kami pulang untuk meminta ayah menjadi wali nikah kami di KUA” Kata-katanya menggantung, suaranya bergetar penuh kesedihan ketika ia melanjutkan, Suaranya pecah di akhir kalimat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh di pipinya, tapi ia segera menghapusnya dengan cepat. Ada rasa bersalah di dalam hatinya telah berbohong. Namun ada juga perasaan lega, seolah Tuhan memberinya secercah harapan di tengah kehancuran dirinya. Pak Abdul menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas. " Sabar ya Rania.. Sabar. Ini bencana dahsyat. " Dia mencoba menenangkan " Kalian terluka?" tanyanya. "Tidak, Pak. Hanya suamiku, mungkin kakinya patah atau terkilir saat berlari menyelamatkan diri," jawab Rania cepat. Pak Abdul mengangguk. "Iya, banyak yang terluka saat ini. Tapi kita harus bersyukur, Tuhan masih memberi kita napas. Luka pasti bisa sembuh. Obatin dulu dengan yang obat yang ada di rumah karena puskesmas juga hancur. Ini saya lagi cari Pak Mantri, moga-maga dia masih hidup,supaya bisa mengobati penduduk yang terluka.” Rania hanya mengangguk, lalu melihat Pak Abdul bergegas meninggalkan area rumahnya, kembali mendata para pengungsi. Malam semakin larut. Rumah Rania, satu-satunya yang masih berdiri di bukit ini, tampak sunyi dalam kegelapan. Di halaman, mobil lelaki itu masih teronggok penuh lumpur dan penyok, nyaris tak berbentuk lagi. Perahu nelayan ada yang bertengger di atas pohon, seolah membuktikan betapa dahsyatnya bencana yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, suara serak terdengar dari sampingnya, membuat Rania tersentak. "Apa benar aku suamimu?" Rania terdiam. Tubuhnya menegang. Ia menoleh, menemukan lelaki itu menatapnya dengan mata penuh kebingungan. "Hm… Hm…, aku….. kamu… " ia tergagap, lidahnya kelu. Lelaki itu menghela napas, suaranya terdengar lemah penuh perasaan bersalah "Maafkan aku… Aku tidak ingat apa-apa. Aku tidak ingat kamu istriku. Aku hanya ingat satu nama... Amelia, tapi katamu tadi kamu bukan Amelia. " Rania mengepalkan tangannya erat-erat. Amelia. Nama yang ia tahu bukan miliknya. Tapi Tuhan telah menempatkannya dalam situasi ini. Akhirnya, ia berbisik lirih, "Namaku Rania Amelia. Orang-orang memanggilku Rania, hanya kamu yang memanggilku Amelia." Lelaki itu mengerutkan kening, mencoba mengingat. Namun kepalanya seolah kosong. Ia menatap Rania dengan penuh kebingungan. "Lalu… aku siapa? Kamu memanggilku apa?" Rania menahan napas. Ia tidak mungkin menjawab bahwa ia juga tidak tahu. Rania sedang memikirkan nama yang cocok untuk lelaki ini, Ketika lelaki itu tampak bergumam, seperti mengulang sesuatu yang samar-samar ada di kepalanya. "Ricky..." Seketika, Rania langsung menyela, mencoba menguasai situasi. "Namamu Muhammad Rizky," katanya tegas. Lelaki itu mengulang lirih, "Muhammad Rizky… Muhammad Rizky…" Seperti memastikan bahwa nama itu miliknya. "Aku memanggilmu Rizky," tambah Rania, mencoba meyakinkannya. Lelaki itu akhirnya mengangguk pelan, menerima nama itu sebagai miliknya. Ada sesuatu dalam nama itu yang terasa akrab di telinganya, seperti gema samar dari masa lalunya yang masih tertutup kabut tebal. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada keganjilan yang tak bisa ia jelaskan. Seperti ada sesuatu yang hilang, sebuah bagian dari dirinya yang tidak bisa ia gapai, tidak peduli seberapa keras ia mencoba. Namun, ia hanya bisa tersenyum lemah pada Rania, seakan pasrah menerima takdir yang kini digariskan untuknya. Rania balas menatapnya, tapi di balik matanya yang tampak tenang, dadanya bergemuruh dengan rasa bersalah yang semakin menyesakkan. Ia menunduk, menekan jemarinya yang dingin ke tanah yang masih lembab, berbisik dalam hati, "Maafkan aku… Maafkan aku…" Ia tahu ini salah. Ia tahu ini adalah kebohongan. Tapi di tengah kehancuran ini, apa lagi yang bisa ia lakukan? Mungkin… ini bukan sekadar kebohongan. Mungkin ini adalah jalan yang Tuhan berikan untuknya. Mungkin inilah caranya bertahan hidup. Ia telah kehilangan segalanya, ayahnya, kakaknya, dan masa depannya yang dulu ia bayangkan. Tapi Tuhan mengirimkan lelaki ini kepadanya. Seorang lelaki yang tak ingat siapa dirinya, yang kini telah menerima nama yang ia berikan, yang tanpa sadar akan menjadi pelindung bagi dirinya dan anak yang dikandungnya. Dengan napas bergetar, ia mengeratkan pelukannya pada dirinya sendiri. "Hari ini, aku berjanji… Aku akan bekerja sangat keras dan memastikan kita bertiga hidup lebih baik. Meskipun kamu tidak mengingat siapa dirimu, meskipun kamu tidak tahu masa lalumu… Aku akan memastikan kita punya masa depan." Di kejauhan, suara jeritan dan tangisan masih menggema, menembus kegelapan malam yang seakan menolak berakhir. Bencana ini telah mengubah hidup semua orang. Termasuk hidup Rania, yang kini telah memilih jalan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mulai hari ini, ia akan melanjutkan hidup bersama seorang lelaki yang dikirimkan Tuhan kepadanya. Seorang lelaki yang akan menjadi suaminya karena takdir mempertemukan mereka. Seorang lelaki yang kini bernama Muhammad Rizky.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD