Rania’s POV
Aku mengeratkan jemariku di dinding bambu saung, berusaha menjaga keseimbangan saat tanah kembali bergetar. Sisa-sisa gempa masih terasa, mengingatkanku bahwa dunia belum benar-benar berhenti berguncang.
Di hadapanku, Rizky bersandar lemah, kedua kakinya terentang lurus. Ada kesakitan dalam wajahnya, tapi dia berusaha menyembunyikannya.
"Kakiku sepertinya patah," katanya pelan, menunjuk betisnya yang tampak membengkak.
Aku menelan ludah, menahan rasa bersalah yang tiba-tiba menyeruak. Lelaki ini… lelaki yang bahkan tidak mengingat siapa dirinya, kini terluka dan sepenuhnya bergantung padaku.
"Aku akan cari obat gosok di dalam rumah," ujarku sambil menarik napas dalam. "Sekalian mencari sesuatu untuk kita makan. Mungkin mi instan, supaya lebih cepat dan gampang. Kamu duduk aja di sini."
Dia mengangguk lemah tanda setuju.
Aku melangkah perlahan, menghindari puing-puing yang berserakan, masuk ke rumah melalui pintu samping. Suasana di dalam rumah begitu hampa, baju bapak masih tergantung di gantungan baju, gelas kopi masih tergeletak di meja makan. Suasana begitu mencekam seakan semua nyawa telah terhisap lenyap oleh bencana dahsyat yang terjadi hari ini.
Dapur ini… rumah ini… dulu adalah tempat aku, ayah dan abangku saling bercengkrama. Kini, hanya menyisakan keheningan yang terasa menyesakkan, membuat air mataku mengalir tanpa aku sadari.
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, menepis semua ingatan, segera berdiri di depan kompor, sambil menunggu air mendidih, pikiranku kembali melayang jauh ke hari lain yang juga menghancurkan hidupku dengan cara yang lebih menyakitkan
24 -Desember 2004 ...
Hari aku kehilangan segalanya. Cintaku dan harga diriku.
Aku masih ingat pagi itu. Harum kopi menguar di udara, seperti biasa, aku menyuguhkan kopi untuk Amran, kekasihku yang duduk di meja makan, menyeruput kopinya dengan tenang, tanpa beban.
Lalu dia berkata, dengan suara yang begitu santai seakan ini bukanlah sesuatu yang akan menghancurkan hidupku.
"Aku akan menikah dengan Eli. Anak Kapolda Aceh. Hubungan kita harus berakhir sekarang."
Aku nyaris menjatuhkan cangkir yang kugenggam. Jantungku seolah berhenti berdetak. Aku merasakan tubuhku bergetar dan nafasku memburu
"Apa?" bisikku, berharap aku salah dengar. Berharap apa yang diucapkan Amran hanya gurauan belaka.
"Ayah dan ibuku tidak setuju aku menikah denganmu. Keluargamu hanya nelayan miskin," katanya ringan, seolah aku tidak lebih dari butiran debu dalam hidupnya.
Aku menggigit bibir, mencoba menahan sesak di dadaku. "Tapi… kita sudah melakukannya, Amran. Aku… aku... Aku. Bulan ini aku telat. Mensku sudah terlambat satu bulan."
Dia menatapku, matanya melebar sesaat, tapi kemudian tatapannya berubah dingin.
" Dasar gadis kampungan. Gadis bodoh. Kamu tidak tahu ada yang namanya pil KB? Aku kan sudah beri tahu kamu, untuk menkonsumsi pil KB. Kenapa kamu tidak patuh. Kamu pasti menjebakku!" Suaranya meninggi.
Lalu kata pamungkas dia ucapkan, bagaikan algojo "Gugurkan!"
Satu kata itu menusukku lebih tajam daripada golok mana pun.
"Apa?" suaraku pecah.
"Baru satu bulan. Masih aman kalau digugurkan," katanya dengan nada tak peduli. "Kamu jangan mempersulit aku, Rania. Aku harus menikah dengan Eli . Ayahnya orang berpengaruh. Masa depanku ada di tangannya, bukan di tangan seorang perempuan miskin yang bahkan belum lulus SMA" Amran berkata tanpa hati, suaranya begitu dingin, tidak lagi hangat seperti saat dia malam-malam menyelinap ke kamarku dan merayuku.
Aku memegang perutku, seakan mencoba melindungi sesuatu yang butuh aku untuk melindunginya.
"Amran… jangan lakukan ini. Jangan menambah dosaku dengan menyuruhku membunuh anak ini." Mohonku padanya dengan suara bergetar.
Dia mendesah kesal. "Kamu belum tentu hamil. Jangan drama! Mungkin cuma telat karena hormonmu kacau."
Aku ingin percaya. Aku ingin sekali percaya bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Aku ingin percaya kalau aku tidak hamil.
Tapi hatiku tahu kebenarannya.
Aku benar hamil karena siklus mensku yang selalu teratur,28 hari , tidak pernah telat atau lebih cepat.
Dan dia ingin aku membuangnya. Aku kira dia mencintaiku. Aku kira dia menginginkan aku sebagai istrinya.
Suaranya yang dingin kembali terdengar "Kalau kamu benar-benar hamil, gugurkan. Ayah dan ibuku sudah berpesan agar aku mengusirmu hari ini juga dari rumah kami. Besok keluarga Eli akan datang untuk membicarakan pernikahan kami. Mereka tidak boleh melihatmu di sini. Sudah cukup ayahku membiarkanmu tinggal gratis di rumah kami selama tiga tahun masa SMA mu. Itupun karena ayahmu yang miskin itu memohon-mohon pada ayahku agar memberimu tempat tinggal . Sekarang juga kamu harus pergi."
Duniaku runtuh.
"Tapi aku tidak tinggal gratis Amran. Aku bekerja di sini. Aku memasak untuk seluruh keluarga, membersihkan rumah, mencuci pakaian semua orang. "
"Aku tidak peduli," potongnya, suaranya tetap dingin, tanpa emosi.
Aku ingin marah. Ingin menjerit. Ingin merobek wajah lelaki yang telah menikam pisau di hatiku, memperdaya diriku, hanya karena aku gadis desa yang lugu.
Tapi aku hanya bisa berdiri di sana, terdiam, menyaksikan lelaki yang pernah kucintai dan aku pikir dia mencintaiku, berjalan pergi dengan seragam polisinya yang rapi.
Di atas meja, dia meninggalkan segepok uang.
"Ini satu juta. Untuk biaya kos sampai kamu menamatkan SMA mu” Dia berhenti sesaat, lalu matanya mengerling keatas seakan mencemooh diriku “ Atau… gunakan uang ini untuk menggugurkan kandunganmu, kalau kamu benar-benar hamil."
Tanganku gemetar saat menatap uang itu. Seperti benda menjijikkan yang tidak seharusnya ada di hadapanku.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Lalu aku jatuh terduduk di lantai, air mataku mengalir deras, meratapi kebodohanku sendiri.
Letupan kecil dari kompor membuyarkan lamunanku. Aku tersentak, mendapati air dalam panci yang mendidih meluap ke luar. Percikan air panas mengenai tanganku, membakar kulitku, tapi aku bahkan tidak merasakannya. Apa artinya luka kecil di tanganku dibandingkan dengan luka yang menganga lebar di hatiku?
Hatiku jauh lebih panas. Jauh lebih sakit. Jauh lebih pedih bagaikan luka yang disiram larutan cuka.
Aku mengaduk-aduk mi instan dengan kasar, mataku menatap kosong ke luar jendela. Gelap. Sunyi. Seakan dunia ikut berkabung atas kehancuran yang kutanggung sendirian.
Aku mengepalkan jemariku yang gemetar, menahan gelombang emosi yang mengancam pecah. Tidak ada lagi tempat bagiku untuk menangis. Tidak ada lagi air mata yang tersisa untuk lelaki sia.lan bernama Amran.
Biarlah dia mati dalam bencana ini. Biarlah keluarganya lenyap, tenggelam bersama ombak yang melahap kota ini. Keluarga yang dulu berpura-pura baik, menampungku seolah-olah aku anak mereka, padahal mereka hanya menjadikanku babu di rumah besar itu.
Aku mengingat ibu Amran, yang selalu menyuruhku mencuci pakaian, memasak, membersihkan rumah, dan melayani mereka tanpa sedikit pun ucapan terima kasih. Aku mengingat ayahnya, sahabat ayahku sendiri, yang dengan enteng menyuruhku mengelap sepatunya setiap pagi sebelum dia berangkat kerja. Aku mengingat setiap hinaan halus, setiap tatapan merendahkan, setiap kali mereka memperlakukanku seolah aku ini hanya benalu tak berharga.
Dan aku mengingat bagaimana Amran menggodaku, membuatku jatuh cinta, mengambil mahkotaku dan membuatku menuruti semua keinginannya lalu dia menghancurkanku tanpa ragu, tanpa hati.
Aku tersenyum pahit di tengah air mata yang kembali mengalir. Aku tahu aku jahat. Aku tahu tidak seharusnya aku berdoa agar bencana ini menghabisi mereka. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak ingin peduli lagi.
Biarlah aku dan anakku saja yang tersisa.
Dan biarlah lelaki bernama Rizky itu kehilangan ingatannya untuk selamanya.
Aku akan menjadikannya suamiku. Aku akan membangun hidup baru bersamanya. Aku akan menata masa depan kami bersama, dan menutup rapat lembaran gelap hidupku yang penuh luka.
Aku tidak peduli lagi apakah ini kebohongan.
Karena bagi seseorang yang telah kehilangan segalanya, takdir bukanlah sesuatu yang diterima begitu saja.
Takdir harus diciptakan.
Aku mengepalkan tangan, menatap langit yang pekat di luar sana. Suara detak jantungku menggema di telinga, seakan menegaskan keputusan yang telah kuambil.
"Tuhan, jika ini caramu menolongku… maka tolonglah aku hingga akhir. Jangan biarkan aku jatuh lagi."