Di Antara Kebohongan dan Kenyataan

1255 Words
Rania POV Enam bulan telah berlalu sejak tsunami menghancurkan segalanya. Aku masih di sini, berdiri di antara puing-puing masa lalu, membawa sebuah kebohongan yang semakin hari semakin berat untuk kupikul. Aku benar-benar hamil. Perutku semakin membesar, dan Rizky tampak bahagia setiap kali melihatnya. Aku tahu dia tulus. Aku tahu dia menerima perannya sebagai suamiku dengan sepenuh hati. Tapi aku? Aku masih merasa bersalah. Aku merasa menjebaknya memerani peran itu. Peran yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya. Aku telah membohonginya sejak detik pertama ia membuka mata dan aku tahu ia kehilangan ingatannya. Aku membuatnya percaya bahwa kami adalah sepasang suami istri, dan dia, tanpa banyak bertanya, menerimanya begitu saja. Kadang aku bertanya-tanya, mengapa ia begitu mudah percaya? Kenapa ia tidak pernah menanyakan lebih dalam tentang siapa dirinya, dari mana asalnya, atau bagaimana kami bisa bertemu? Apakah ingatannya benar-benar kosong, atau ada bagian dari dirinya yang memilih untuk tidak mengingat? Aku mengusap perutku yang mulai terasa berat. Bayiku bergerak pelan, seolah memberi tahu bahwa ia ada di sana, tumbuh di dalam diriku. Aku tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa getir. Di luar rumah, aku mendengar suara langkah tertatih yang sudah kukenal. Rizky. Setiap pagi, meski kakinya masih belum pulih sepenuhnya, ia akan berjalan dengan tongkat kayu untuk mengambil bantuan makanan di tenda pengungsian yang didirikan oleh TNI. Aku selalu ingin melarangnya, tapi ia selalu berkata, "Aku baik-baik saja, Rania. Aku masih bisa berjalan sampai ke tenda bantuan untuk mengambil makanan kita. Berjalan juga bagus untuk melatih otot kaki kananku." Aku tidak pernah melihatnya mengeluh, meskipun jelas terlihat betapa sulitnya ia berjalan dengan kaki kiri yang patah. Aku bahkan tidak tahu bagaimana ia bisa tahu bahwa tulang betisnya patah, atau bagaimana ia bisa dengan cepat membebat kakinya menggunakan kayu bekas dayung ayahku, agar tulangnya menyatu dengan baik, begitu katanya dulu. Kadang, aku bertanya dalam hati, siapa sebenarnya Rizky? Ia bukan nelayan, dan pasti juga bukan petani, aku yakin itu. Caranya berbicara, caranya memahami tubuh manusia, caranya mendiagnosa kondisinya sendiri dengan begitu tenang… semua itu membuatku curiga. Apakah mungkin ia seorang dokter? Tapi aku tidak berani bertanya. Bagaimana mungkin seorang istri tidak tahu pekerjaan suaminya? Jika aku bertanya, ia pasti akan curiga. Dan aku tidak boleh membiarkan kebohongan ini terbongkar. Aku lebih baik menganggap Rizky sebagai pria biasa-biasa saja, pria yang setara denganku agar dia bisa lebih cocok dengan hidupku, daripada dia seorang dokter atau pria berilmu lainnya. Aku tidak ingin mengulang mendengar kata-kata menyakitkan seperti yang diucapkan Amran, yang menghinaku hanya karena aku anak nelayan miskin yang bahkan tidak lulus SMA. Sore itu, ketika Rizky kembali dari tenda bantuan, ia membawa sekotak s**u bubuk. "Aku meminta ini dari bapak TNI. Kamu tidak boleh makan mi instan terus," katanya sambil menyerahkan kotak itu kepadaku. Aku menerima dengan ragu. Aku tahu ia peduli, aku tahu ia tulus. Tapi semakin ia baik padaku, semakin aku merasa bersalah padanya. Rizky lalu mendekat, tangannya terulur ke perutku, menyentuhnya dengan lembut seolah mencoba merasakan kehidupan di dalamnya. "Anak kita posisinya sudah bagus, mulai turun," katanya sambil tersenyum tipis. Aku hanya bisa mengangguk. Ia terlihat begitu yakin dengan kata-katanya, seolah ia tahu persis apa yang terjadi di dalam tubuhku. "Minggu depan, katanya ada dokter yang akan datang ke desa ini. Kita akan pergi bersama untuk periksa kandunganmu " lanjutnya dengan suara yang penuh kelembutan. Aku mengalihkan pandangan. Aku tahu aku harus pergi. Aku tahu aku harus memastikan bayiku baik-baik saja. Tapi jauh di lubuk hati, aku takut. Bagaimana jika para dokter itu ada mengenali Rizky? Bagaimana jika ada yang tahu siapa dia sebenarnya? Bagaimana jika kebohongan ini akhirnya runtuh? Aku menggenggam kotak s**u itu erat-erat. Aku menatap punggung Rizky yang berjalan kembali ke kamar abangku, kamar yang selama enam bulan ini menjadi tempat tidurnya. Kami memang suami istri di mata orang-orang di desa ini . Tapi kami tidak pernah tidur di kamar yang sama. Ada sesuatu di antara kami, sebuah perjanjian tak terucap, atau mungkin, hanya sekat yang kubangun sendiri. Aku tahu, aku telah menciptakan kebohongan ini. Tapi sampai kapan aku bisa mempertahankannya? Di luar rumah, angin sore bertiup pelan, membawa suara-suara dari tenda pengungsian yang masih berdiri di seluruh penjuru desa. Enam bulan setelah bencana, kehidupan masih terhenti di antara puing-puing. Bantuan makanan masih ada, datang dari berbagai organisasi kemanusiaan. Tapi bahan bangunan? Itu belum ada sama sekali. Toko-toko bangunan telah hancur. Tidak ada alat, tidak ada tenaga. Semua orang masih berusaha bertahan, tinggal di tenda-tenda darurat. Banyak yang kehilangan keluarga. Banyak yang masih mencari nama-nama keluarga mereka di papan pengumuman di tenda pengungsian. Banyak yang kehilangan harapan. Dan aku… aku kehilangan diriku sendiri di antara semua ini, begitu juga dengan Rizky. Tapi aku akan menulis ulang hidup Rizky bersamaku, sebagai pria biasa yang cocok dengan wanita tidak tamat SMA seperti diriku. Wanita miskin yang hanya anak nelayan. Aku menatap langit yang mulai gelap, angin sore berembus membawa sisa-sisa kehancuran yang masih terasa di udara. Di kejauhan, suara tangis seorang anak kecil dari tenda pengungsian terdengar sayup, bercampur dengan suara doa-doa yang lirih dipanjatkan. Hatiku bergetar. Aku menggenggam perutku yang mulai membesar, merasakan gerakan kecil di dalamnya. Kehidupan yang tumbuh di rahimku, kehidupan yang seharusnya penuh dengan cinta, tapi kini berdiri di atas kebohongan yang kubangun sendiri. "Tuhan… jika ini caramu menolongku… maka tolong jangan biarkan aku jatuh lagi dalam jurang malu yang tak berujung." Aku menutup mata, merasakan dadaku sesak oleh doa-doa yang tidak berani kuucapkan dengan suara. "Jangan biarkan Rizky mengingat masa lalunya, jangan biarkan ada orang yang mengenalinya. Biarkan dia hanya menjadi ayah bagi anakku. Biarkan kami bertiga hidup bersama, meskipun aku harus bekerja keras untuk menghidupi keluarga ini. Aku hanya ingin Rizky tetap ada di sini. Tetap bersamaku. Tetap menjadi suamiku dan ayah dari anakku" Aku menggigit bibir, menahan air mata yang mulai menggenang. "Aku tahu ini salah. Aku tahu aku berdosa. Tapi aku akan menebusnya. Aku akan melakukan segalanya untuk Rizky, aku akan memastikan dia hidup dengan baik, bahwa dia tidak pernah kekurangan apa pun. Aku akan merawatnya, melayaninya, menjadi istri yang baik untuknya." Tenggorokanku terasa terbakar. Aku menggenggam ujung bajuku erat-erat, melanjutkan pemikiranku yang aku sadari , sangat egois, tapi aku tidak bisa mundur lagi. "Tanpa aku, dia juga akan mati… Tanpa aku yang menariknya dari mobil itu, dia akan tenggelam dan kehilangan oksigen. Aku yang menyelamatkannya. Aku yang memberinya kesempatan kedua untuk hidup. " Aku menatap Rizky yang kini keluar dari kamar dan duduk di hadapanku, matanya yang teduh seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa kugapai, seperti lautan yang tenang setelah diterjang badai. Aku menggenggam perutku, merasakan kehidupan kecil yang bergerak di dalamnya, dan dalam hati, aku berjanji. "Aku tidak peduli siapa dia dulu. Aku tidak peduli siapa aku dulu. Tsunami telah menghapus semuanya. Menghapus aku, wanita bodoh yang menyerahkan segalanya pada lelaki tanpa hati. Menghapus dia, lelaki yang mungkin punya kehidupan lain sebelum ini. Menghapus segalanya, kecuali kami yang sekarang." Aku menggigit bibir, merasakan getir yang menyesakkan di d**a. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun, atau apa pun, mengambilnya dariku. Rizky adalah milikku. Aku akan menjadi istri yang baik untuknya. Aku akan menjadi ibu yang baik untuk anak ini. Aku akan menata ulang hidupku, dengan kebohongan ini sebagai fondasi terakhir yang kupunya." Aku menatapnya sekali lagi, memastikan bahwa dalam kebingungannya, dalam hilangnya ingatannya, dia tetap melihatku sebagai satu-satunya orang yang bisa dia percaya. "Aku adalah Rania Amelia. Dan dia, Muhammad Rizky, suamiku. Lelaki yang ditakdirkan untukku." Perkataan itu terus aku ulang dalam hatiku, meyakinkan diriku sendiri kalau memang itu adalah takdirku. Aku tersenyum kecil, senyum yang getir, yang penuh kebohongan, tapi juga penuh harapan. Karena setelah semua yang terjadi… Aku tidak akan membiarkan takdir merenggutnya dariku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD