Penasaran

1135 Words
Amelia POV Aku menatap layar ponselku, menunggu suara dari ujung sana kembali terdengar. Tapi hening. Masih belum ada suara dari David. Dadaku bergemuruh, kata-katanya yang terputus tadi terus terngiang di kepalaku. “Mel... kamu nggak akan percaya kalau… kalau… Ricky…” Ricky? Aku mengerutkan kening. Apa aku salah dengar? Atau itu memang benar yang ia sebutkan? Aku bertanya-tanya dalam hati, lalu memalingkan wajah ke arah Samuel. Ia masih menatapku dengan pandangan ingin tahu, ekspresinya sedikit lucu dengan alis yang terangkat, seperti menanti plot twist dalam film detektif tentang siapa yang jadi dalang kejahatan. “Apa kata dokter David, Mel?” tanyanya. Aku menarik napas dalam. “Nggak jelas. Teleponnya terputus,” jawabku singkat. Kupilih menyembunyikan kegelisahanku dulu. Samuel pasti akan kaget, lebih dari kaget. kalau tahu nama yang disebut David adalah Ricky. Ayah biologisnya yang tak pernah ia kenal, dan laki-laki yang merupakan suamiku dulu. Cinta pertamaku yang telah meninggal dalam bencana tsunami dua dekade lalu. “Telepon balik aja, Mel. Mungkin penting banget sampai dia nelpon pagi-pagi begini.” Samuel kini menyeringai jail, sambil berkata “Untung aku udah tuntas. Kalau belum, bisa-bisa aku ngamuk kalau masih tanggung” Aku berkata sambil tertawa, meski setengah hati. “Justru aku yang lebih berhak ngamuk, dong, karena aku yang belum tuntas. kamu kan uda selesai, jangan lupa kamu tadi keluarkan di mulutku.”Jemariku menekan ulang kontak David. Tapi hanya muncul tulisan calling, sebagai tanda tidak tersambung, bukan ringing . Sinyalnya sepertinya sangat buruk. “Belum bisa nyambung?” tanya Samuel sambil memelukku dari belakang, dagunya bertumpu manja di pundakku. Aku menggeleng pelan. “Well, kalau belum bisa nyambung...” katanya, sambil mulai membelai lenganku dengan sentuhan penuh kasih, “...berarti saatnya aku menyelesaikan tugas suami yang tertunda. Biar istriku nggak ngamuk karena belum tuntas.” Aku tertawa kecil, meski kegelisahan belum juga pergi dari dadaku karena panggilan telepon dari David yang menyebutkan nama Ricky. Suasana pagi pertama kami seharusnya penuh kehangatan jadi sedikit ternodai oleh rasa penasaran yang tak bisa kuabaikan. “Sam... nanti aja, ya. Aku akan terus hubungi David, sampai tersambung. Kalau kita lanjutkan kemesraan kita pas dia nelpon dan aku belum mencapai kepuasaan, yang ada aku makin ngamuk.” Samuel tertawa, suaranya mengisi kamar kami yang masih diselimuti aroma cinta di pagi hari. “Hahaha... ternyata istriku benar bisa ngamuk kalau belum tuntas,” ucap Samuel sambil menyeringai nakal, ekspresi lucunya membuatku tak bisa menahan senyum. Aku ikut tertawa pelan, mencoba kembali tenggelam dalam suasana hangat penuh cinta di pagi pertama kami sebagai suami istri. Tapi pikiranku masih tertahan pada satu nama yang tiba-tiba kembali menggema di kepalaku. Ricky... Rasa penasaran membuatku kembali menekan nama David di layar ponsel, berharap kali ini sambungan berhasil. Tapi lagi-lagi hanya tulisan ‘calling...bukan ringing ’ yang muncul. ada nada sambung tapi tak ada jawaban. Samuel, yang sejak tadi memperhatikan raut wajahku, mengelus bahuku dengan lembut. Sentuhannya menenangkan, meski gejolak di dalam dadaku belum bisa benar-benar reda. “David mungkin lagi ada panggilan darurat di IGD. Bisa jadi dia harus matikan ponselnya supaya dia bisa fokus. Kalau memang penting, dia pasti akan telepon kamu lagi, Mel,” katanya dengan tenang. Aku mengangguk, mencoba menyetujui logikanya, meskipun hatiku tetap tak bisa berhenti gelisah. . Sebagai seorang dokter, Samuel tahu persis bagaimana situasi di rumah sakit bisa berubah dalam hitungan detik. Tapi tetap saja, kalimat David yang terakhir itu masih menggantung tak selesai di telingaku, hatiku masih penasaran, mengapa David bisa menyebut Nama Ricky lagi. “Sebenarnya... apa yang dia bilang sampai kamu terlihat segelisah ini?” tanya Samuel, kini suaranya lebih lembut, penuh perhatian. Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang dalam hati. Tapi pada akhirnya, aku tahu, lebih baik aku berbagi. Setidaknya agar hatiku sedikit lebih lega, dan Samuel tidak dibiarkan menerka-nerka sendiri. Ini adalah pagi pertama kami sebagai suami istri, dan aku ingin menjalaninya dengan kejujuran, bukan dengan menyimpan rahasia. Tak adil rasanya, jika di tengah momen hangat ini, aku malah menyimpan rahasia dan kegelisahan sendirian dari Samuel. “Waktu teleponnya terputus tadi... dia sempat bilang: ‘Mel, kamu nggak akan percaya kalau... kalau... Ricky...” Aku menelan ludah pelan sebelum melanjutkan, “Lalu dia mengulang nama Ricky lagi, seolah dia sendiri juga masih tak percaya” Samuel langsung terdiam. Tatapannya berubah. “Ricky... ayahku?” Aku mengangguk perlahan. “Iya. Dan juga... suamiku dulu.” Suaraku lirih, penuh beban. “Kalau bukan tentang itu, tak mungkin David meneleponku, kan?” aku mencoba meminta persetujuan darinya. Samuel menatapku dalam. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, hanya keheranan, kebingungan. Lalu ia berkata pelan, “Apa maksudnya? Apa David ketemu seseorang yang mirip Ricky? Atau ada berita lain?” Aku mengangkat bahu. “Entahlah, Sam... Aku juga bingung. Tapi seperti katamu tadi, bisa jadi dia bertemu seseorang yang sangat mirip Ricky. Kamu tahu sendiri kan, David itu suka banget cerita tentang keberhasilannya dan ngobrol tentang masa lalu kami saat kuliah. Bisa aja dia cuma mau bilang itu, tapi tertunda karena ada panggilan darurat di IGD.” Samuel tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Iya, aku ingat banget gimana dia narik kamu ke ruang kerjanya waktu aku sakit di Aceh, padahal kamu lagi panik banget waktu itu.” " Iya, aku bahkan tidak tahu apa yang dikatakannya, saat itu, manut aja ikut ke kantornya karena tidak enak hati kalau permintaannya ku tolak, padahal pikiranku hanya tentang kamu yang lagi terbaring di ruang IGD" Aku tersenyum, mencoba meresapi kembali hangatnya kebersamaan kami. Untuk sesaat, suasana terasa normal, nyaman… seperti seharusnya. Tapi jauh di dalam hati, kegelisahan itu masih menetap, samar namun nyata. Aku berusaha menepisnya, menyingkirkannya jauh-jauh. Aku tak ingin membiarkan rasa cemas ini merampas kebahagiaan pagi kami, terutama setelah semua yang telah Samuel lakukan untukku. Aku tidak ingin membuat hatinya tidak nyaman dengan gelisahku yang belum tentu berdasar. “Jadi kita tunggu aja ya... Sampai David menelepon lagi.” kataku berusaha pasrah sambil membelai pipinya. Samuel mengangguk, lalu menarik tubuhku dalam pelukannya. “Dan sambil nunggu, boleh nggak aku lanjutin sesi tadi yang sempat tertunda?” katanya dengan nada menggoda. “Supaya kamu puas dan tuntas .” Aku menahan tawa dan menggeleng pelan. Tapi tentu saja Samuel tak menyerah semudah itu. “Ayolah Mel... kalau David lagi di IGD, paling nggak setengah jam baru dia akan selesai. Aku cuma butuh lima belas menit. Atau... tujuh menit aja deh. Aku akan quickie!” katanya sambil mengerling, wajahnya polos dengan seringai jenaka yang selalu berhasil membuat aku jatuh cinta berulang kali padanya. Aku tak bisa menahan tawa. Namun di balik senyum dan candaan kami, pikiranku masih tertinggal di satu titik dalam pikiranku Ricky. Nama itu kini seperti bayangan yang kembali muncul setelah sekian lama tenggelam dalam kenangan. Dan saat aku mulai membalas ciuman mesra Samuel di bibirku. Saat ciuman hangantnya mulai dia turunkan di dadaku, telepon yang masih ada dalam gengamanku mulai berdering lagi. Nama itu kembali muncul di layar. Dr. David.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD