Amnesia

1027 Words
Amelia menggeser tubuhnya pelan, menjauh dari pelukan Samuel yang berbalik dan telentang santai di sisi ranjang. Ia menarik nafas, mencoba menenangkan degup jantung yang sejak tadi belum kembali ke ritmenya. Samuel, tanpa perlu berkata apa-apa, mengerti. Ia meraih selimut dan dengan lembut menutup tubuh polos Amelia yang masih terbuka sebagian. Untungnya, mereka belum terlalu jauh tadi, baru sebatas ciuman dan sentuhan lembut di area sensitif tubuh Amelia. Kalau telepon itu berbunyi lima menit lebih lambat, mungkin mereka akan terhanyut lebih dalam… dan rasa ‘Belum tuntas’ akan terasa jauh lebih menyiksa. Ponsel di tangan Amelia kembali bergetar. David. Amelia segera menerima panggilan itu, tak butuh basa-basi. “Ya, David,” ucapnya langsung, suaranya datar tapi terdengar ada nada gelisah “Mel... Mel...” suara di seberang terdengar terbata, emosional. “Ya, aku dengar, David. Ada apa sebenarnya. Apakah benar tadi kamu menyebutkan nama Ricky?” tanyanya pelan. Entah kenapa, tiap kali nama Ricky disebut, nada bicaranya ikut melembut, seperti membangunkan bagian dalam dirinya yang sudah lama tidur. David terdiam sebentar, lalu bertanya dengan nada aneh, “Mel, kamu sekarang sedang berbaring, duduk, atau berdiri?” Amelia mengerutkan kening. “Kok nanya begitu?” “Kalau kamu sedang berdiri, aku sarankan kamu duduk... atau tetap berbaring saja. Karena yang akan aku sampaikan bisa mengguncang seluruh duniamu. Soalnya tadi aku juga merasakan duniaku terguncang hebat ” Kata David Amelia menoleh ke Samuel sejenak, lalu menjawab, “Aku sedang berbaring... masih di tempat tidur” . Bahkan tubuhku masih tertutup selimut karena aku baru selesai melakukan tugasku sebagai seorang istri’ Ia membathin dalam hati “Bagus,” sahut David, terdengar seperti menarik napas dalam. “Karena aku juga baru saja duduk di meja nurse station. Ceritaku ini tidak singkat, dan kamu perlu mendengarnya sampai selesai , Mel. Jangan potong saat aku menjelaskan. Aku mohon, dengarkan sampai akhir dulu.” “Baik... aku janji tidak akan memotong. Jadi tolong langsung saja, David. Tadi sebelum telepon terputus kamu menyebut nama Ricky. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang tidak akan aku percaya?” Hening. Sekejap yang terasa seperti satu menit penuh. Lalu suara David terdengar lagi, lebih lirih, seperti seseorang yang sedang berusaha menata emosinya karena sesuatu hal yang pasti juga membuat dia tidak percaya “Mel…” suara David di ujung telepon terdengar berat, seperti menimbang setiap kata dengan hati-hati. “Pagi ini, seperti biasa, aku melakukan visit ke ruang-ruang rawat inap. Ada sekitar tujuh pasien yang harus aku pantau, tapi saat aku membuka pintu salah satu kamar di lantai tiga, langkahku langsung terhenti.” Amelia diam, menunggu. “Di atas ranjang itu, aku melihat seorang pria yang... wajahnya, postur tubuhnya, bahkan garis rahangnya, begitu familiar. Mel... dia sangat mirip Ricky. Hanya saja, tubuhnya jauh lebih kurus, dan kulitnya lebih gelap, seperti terlalu lama terpapar matahari. Tapi wajahnya… Wajahnya tidak berubah, itu wajah Ricky, aku seakan sedang melihat doppleganger Ricky.” Amelia menahan napas. “Saat itu pasien masih dalam keadaan tidur sendirian tanpa penunggu. Aku mendekat, membaca status medisnya di ujung ranjang. Nama yang tertera di rekam medis: Muhammad Rizky. Mel, kamu dengar? Muhammad Rizky. Namanya saja sudah membuat jantungku berhenti sesaat. Rasanya seperti berbagai kebetulan sedang berkumpul untuk mempermaikan diriku” David menghela napas pelan sebelum melanjutkan. “Pasien itu masuk IGD kemarin sore. Kata laporan suster, dia mengalami kecelakaan, tertabrak motor saat berjalan di pinggiran sawah. Ada trauma tumpul di kepala. Luka robek di temporal kiri, dengan perdarahan sedang. Di IGD, luka itu langsung ditangani dan dijahit. Pasien tidak sadar saat pertama kali dibawa masuk, lalu mengeluh nyeri kepala hebat, setelah sadar beberapa saat kemudian, kemungkinan concussion, atau cedera otak ringan. Karena itu, dokter jaga memutuskan untuk rawat inap di ruang observasi neurologi.” “Apakah dia sudah di-CT Scan?” tanya Amelia memotong perkataan David, dia lupa tidak boleh memotong, karena insting dokternya yang meletup-letup. “Belum,” jawab David. “Rencananya hari ini. Laporannya Pasien terus mengeluh pusing, kadang kehilangan orientasi tempat, meski Glasgow Coma Scale-nya normal- sekitar 15. Tapi ada hal yang tidak biasa... sangat tidak biasa.” Amelia menelan ludah, dadanya sesak oleh ketegangan yang tumbuh. “Saat aku berdiri di samping tempat tidurnya, aku terus memandanginya. Aku benar-benar tak bisa meyakinkan diriku bahwa dia bukan Ricky. Aku...sangat penasaran . Jadi aku bertanya ke perawat yang saat itu bertugas, siapa yang membawanya. Ternyata pasien diantar oleh seorang perempuan dan seorang lelaki muda, yang mengaku keluarganya dan saat aku di sana, wanita dan lelaki muda itu sedang pulang ke rumah mereka untuk mengambil baju dan kebutuhan pasien.” Amelia memotong lagi “David… tapi tetap saja, wajah yang mirip dan nama serupa tidak cukup," Dia berhenti sejenak " Itu belum membuktikan kalau dia… kalau dia Ricky. karena .. karena Ricky hilang, tersapu gelombang tsunami dua puluh tahun lalu. Dia tidak pernah kembali, sehingga aku meyakini Ricky telah meninggal.” David terdiam sejenak, suaranya seperti bergetar saat kembali bicara. “Mel… aku tahu. Aku juga berpikir sama. Aku bilang ke diriku sendiri, ini cuma kebetulan. Bencana itu memang sangat mengerikan, tapi kamu sendiri bilang, Ricky hilang terbawa tsunami, kamu sendiri tidak melihat mayatnya dan kamu tidak menguburkannya, mungkin saja..…..Mungkin saja, ini kemungkinan yang ada di otakku, Ricky tidak mati, dia hanya hilang dan…. Amelia menggenggam ponselnya makin erat. “Dan?” bisiknya, hampir tak bersuara. “ Dan mungkin ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa kembali, Bisa jadi dia kehilangan ingatan. Post-traumatic amnesia, Mel. Itu bisa berlangsung bertahun-tahun. Bahkan bisa permanen. Apalagi kalau dia benar-benar mengalami cedera kepala serius saat tsunami...” Suara David tergetar Amelia membeku di tempat, napasnya tercekat. David melanjutkan, suaranya nyaris pelan, “ Sementara Mel, diagnosa yang aku katakan tentang Amnesia hanya perkiraanku, aku tidak bisa memastikan lebih lanjut sebelum berbicara dengan dokter Neurologi, dan aku tentu harus bicara dengan Ricky atau keluarganya untuk memastikan apakah dia benar Ricky atau hanya wajahnya saja yang mirip dengan Ricky, adik tingkatku dulu dan suamimu” David tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Di ujung sana, suara gaduh tiba-tiba terdengar suara teriakan orang-orang, suara alat medis yang berbunyi, suster memanggil nama dokter, dan suara langkah cepat mendekat. “Mel, aku harus tutup dulu! Aku akan hubungi kamu lagi. Pasiennya…dia... dia……” klik. Sambungan terputus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD