Pertama kali datang ke Padang, suasana hati Bang Fateh memang seburuk itu. Ia bahkan tidak ingin diberi kamar tamu yang jelas lebih besar dan nyaman karena katanya kalau sampai Bang Fateh merasa nyaman di kamar di rumah Ayah, ia mungkin betah dan jadi ingin beralama-lama berada di sini. Sebagai gantinya Bang Fateh malah menempati kamar kecil di paviliun. Tanpa AC dan hanya berbekal kipas angin tua. Semua itu ia lakukan untuk mengingatkan dirinya agar segera kembali ke kehidupannya di sana.
Tapi pagi-pagi begini ia terpaksa harus mengikuti sang Abang berkeliling mall. Tangan kanan dan kiri Gilang sudah penuh karena memegangi barang belanjaan Abangnya itu. Tidak hanya membeli AC baru, Bang Fateh malah membeli dehumidifier. Apa salahnya pindah ke kamar tamu, bukan begitu? Dan jawaban Bang Fateh sungguh mencengangkan. Katanya gini: Kalo di kamar tamu gue tamu dong. Gue mau punya tempat sendiri di tempat Om Bayu dimana ga ada yang bisa ngusir gue.
“Abang serius nih mau deketin Puti Aini?” tanya Gilang yang kedua tangannya mulai pegal belum lagi ia terus kepikiran dengan Dinda. Takut tidak menemukannya di kampus jika ia terus mengikuti kemanapun Bang Fateh melangkah.
“Ho’o!”
“Abang punya apa?” tanya Gilang pada sang Abang.
Fateh sedikit memicingkan matanya melihat sang adik. “Lo punya apa buat balikan? Sampe lo yakin di terima lagi?” Fateh mengembalikan kata-kata Gilang.
“Punya hadiah dari Ammar. Abang?” Gilang tidak kuasa menunjukkan tampang mengejeknya pada sang Abang. Baru bertemu pertama kali tapi keseriusan sang Abang benar-benar melebihi batas toleransinya sesama pria. Tidak mungkin hanya karena Puti Aini cantik bukan? Gilang tidak pernah tau kalau Abangnya terlalu memujua fisik perempuan.
“Gue punya hati yang siap dikasih sama dia seorang, punya d**a bidang, punya perut kotak-kotak, punya wajah titisan dewa dan yang paling penting yang ga lo punya adalah keseriusan. Gue ga bakal tiba-tiba mutusin Aini terus balikan kaya elo. Ada lagi yang mau lo tanyain? Waktu QnA sama gue terbatas asal lo tau.”
Gilang mengangkat bibir atas sebelah kirinya melihat betapa songongnya sang sepupu. Kalau masih membutuhkah bantuan Gilang seharusnya Bang Fateh lebih menjaga lambenya itu bukan? Sampai di rumah Gilang bahkan masih diperintah ini itu seolah sang sepupu lupa kalau Gilang lah tuan rumahnya di sini. Tidak sampai di sana, Gilang bahkan disuruh mengantarkan pakaian kotor sang Abang ke laundry sementara beliau tidur-tiduran menikmati udara sejuk dari AC baru miliknya.
Wah.. dikasih hati minta jantung banget nih si Fateh.
>>>
“Liat Adin, ga?” tanya Gilang pada kerumunan mahasiswa yang sedang duduk santai di DPR FMIPA UNP. Ngomong-ngomong DPR itu singkatan dari dibawah pohon rindang. Jadi di FMIPA UNP kamu akan menemukan beberapa pohon beringin yang di sekeliling batangnya itu dibuat meja beton lengkap dengan bangkunya juga colokan. Tempat itu akan selalu menjadi tempat favorit para mahasiswa dari yang sedang kebut mengerjakan tugas sampai yang sekedar duduk-duduk saja menikmati wifi kampus. Hanya satu hal yang bisa mengusir mereka dari sana, hujan.
“Ga,” jawab perwakilan dari mereka kemudian Gilang beranjak menuju anak-anak yang duduk santai di lobi ruang standar.
“Liat Adin, ga?”
“Belum liat dia seharian,” jawab teman sekelas dari mantan pacarnya Gilang itu. Jalan lagi ke arah kopma (koperasi mahasiswa), Gilang masih tidak menemukan cewek itu. tepat di samping kopma ada juga meja tempat para mahasiswa bisa duduk mengerjakan tugas tapi tempat itu agak dihindari karena panas. Adin tidak suka tempat yang panas.
Menoleh ke arah kirinya, mata Gilang kemudian menyusuri bangku biru di seberang jalan. Kebetulan Gilang mengenali seseorang di antara mereka yang duduk disana, Gilang menyeberang. Kata orang malu bertanya sesat di jalan, kalau untuk kondisi Gilang saat ini mah, malu bertanya, Dinda melayang.
“Liat Adin, ga, Cok?” Ucok nama pria itu.
“Adin yang mantan lo ya, Lang?”
“Sialan, harus ya lo perjelas status gue?” umpat Gilang, seharian berkeliling mencari mantan pacarnya sama sekali tidak membuahkan hasil. Ingin sekali Gilang menjejalkan pada otak mantannya itu untuk mengangkat telfon dan bukan membiarkan benda itu menyanyikan lagu favoritnya saja. Kemudian ingatkan pula Gilang untuk mengganti nada dering Adin saat mereka balikan nanti supaya gadis itu tidak keenakan mendengar nada deringnya sendiri. Mendengar reff lagu favoritnya itu, yang dia set sebagai nada dering, bukannya menjawab telfon Adin selalu saja ikutan bersenandung.
Sebenarnya, satu-satunya cewek yang pernah Gilang pacari itu memang tipe yang tidak suka dihubungi via telfon. Si aneh itu maunya ditemui langsung oleh siapa-siapa yang merasa ada keperluan dengannya. Pasti para pembaca ingat kelakuan siapa yang mirip dengan kelakuan mantan Gilang ini kan? Yap, benar, kelakuan dosen pembimbing. Nanti jika sudah balikan, Gilang akan membuat Adin kecanduan dengan hape supaya jika putus lagi, Adin tidak serta merta mengabaikan benda itu seperti yang sudah-sudah.
Setelah semua orang yang mengenal Dinda tidak memberikan informasi tentang keberadaannya, Gilang memutuskan untuk langsung tancap gas ke rumahnya. Mau dimana lagi dia kalau bukan di sana? Perjalanan ke rumah Dinda itu hanya butuh waktu lima belas menit dari UNP kalau tidak macet dan Allahu alam kalau pas macetnya. Sampai di rumah Dinda, Gilang terpaksa kembali ke kampus karena kata kakaknya Dinda, cewek itu belum pulang.
Sampai kembali di kampus, tepatnya di gerbang depan, di depan mesjid Al Azhar, Gilang menyipit melihat punggung seseorang yang bisa ia kenali dengan begitu baik meskipun sudah tidak bertemu beberapa minggu. Dan apa-apaan itu? Dinda berjalan berdua-duaan bersama laki-laki? Tidak tau hari panas mereka malah berjalan bak marapulai* dan anak daro* tanpa iring-iringan. *Marapulai = mempelai laki-laki, *Anak daro = mempelai perempuan.
Mendengus kesal, Gilang kemudian memilin gas motornya lurus pada dua orang yang tengah berjalan bak sepasang pengantin itu. Gilang benar-benar mengarahkan motornya pada p****t cowok sialan itu. Baru setelah jaraknya dengan p****t bengkak itu sekitar setengah meter, Gilang membawa motornya lebih ke tengah.
“Gilang?” ucap Adin syok melihat motor butut siapa yang melintang di tengah jalan, menghalangi
“Gilang,” tiru Gilang, mencibir mantan yang padahal cuma mantan tapi susah sekali menghubunginya. Persis dosen pembimbing. Setelah mengulangi Dinda yang menyebut namanya, Gilang menyempatkan melirik pada pria yang ketahuan mendekati mantannya. Memandangnya dari atas ke bawah kemudian menarik sudut bibirnya, mengejek.
“Mau apa kesini?” tanya Adin gugup, lagian gugup kenapa pula dia ya, ‘kan? Atau justru sudah tau duluan bahwa mereka bakal jadian lagi?
“Mau bimbingan skripsi! Ibu dihubungi belasan kali padahal,” sumpah Gilang sadar tujuannya mencari Dinda tapi ia tidak bisa menahan sikap ketus juga tatapan datarnya, “Banyak ya, Bu mahasiswa yang lagi bimbingan sama Ibu?” lagi Gilang mengataan kalimat sindirannya pada sang mantan. Kemaren-kemaren padahal sampai menanyai Gilang pada Azka tuh, giliran ditelfonin malah diabaikan.
Tidak menjawab, Dinda Masitha Anjani yang biasa disapa Adin itu hanya memonyongkan bibirnya. Kesal, tapi ia juga tau membalasi Gilang sama saja memancing masalah. Mana mereka sedang bicara di depan gedung seba gunanya FT (Fakultas Teknik) yang sedang rame karena ada seminar.
“Heran… susah banget dicariin! Kalo tau bakal menguras tenaga dan buang-buang waktu begini mending kamu jadi pacarku aja, lebih praktis juga,” keluh Gilang sambil melihat berapa banyak waktu yang ia habiskan padahal tadi saat menemani Bang Fateh ia merasa seperti begitu terlambat untuk menemui Dinda. Tidak tau kah Dinda kalau tadi saat mengantarkan pakaian kotor Fateh ke laundry Gilang cemas tidak bisa bertemu dengannya?
Tuhkan, padahal sudah tidak diladeni tapi Gilang nyerocos sendiri. Adin memonyongkan mulutnya ke depan. Tidak tau apa kalau Zidan bisa mendengar semua omongannya?
“Bener ga?” tanya Gilang memaksa.
“A- apanya?” tanya Dinda pura-pura bodoh. Masa di ajak balikannya sambil mengomel?
“Kebiasaan banget jadi lelet tiap putus dari gue, heran,” keluh Gilang membatin yang tentu saja tidak bisa didengar oleh Adin. “Naik!” perintah Gilang pada sang mantan.
Dinda menoleh pada Gilang kemudian Zidan, kembali lagi ke Gilang kemudian Zidan. “Ta- tapi aku-”
“NAIK ADIN!”
“I-iya.”
Sementara Dinda naik ke motor butut sang Ayah, Gilang memberikan tatapan: siapa bilang lo boleh deketin mantan gue? Begitu kira-kira arti tatapannya. Jelas beda dong mantannya Gilang dengan mantan cowok-cowok lain. Gilang kalau putus, kemungkinan balikannya dua ratus persen sedangkan orang lain kalau putus kemungkinan balikannya dua persen saja. Lagian cupu sok-sok-an mau nyoba pacaran juga.
“Nah, ada titipan dari Ammar untuk Onti Adin kesayangannya,” ucap Gilang memberikan bingkisan dari sang keponakan.
“Ini mau kemana?” tanya Adin pada sang mantan sambil memeluk bingkisan dari bocah tampan kesayangannya. Rindu sekali rasanya Adin pada ponakannya Gilang itu.
“Pulang lah, kuliah kamu juga udah selesai dari tadi, ‘kan?”
“Hm..”
>>>
Diah melongo melihat betapa paniknya Puti Aini saat majikannya itu mengatakan bahwa selain Fateh yang akan datang, juga ada pria yang Puti-nya temui di Medan beberapa hari yang lalu yang akan bertamu. Dan bukannya mempersiapkan diri untuk menyambut tamu-tamunya dengan dandanan paripurna seperti biasa, majikan Diah itu malah bersiap untuk tidur.
“Anda tidak bisa memutuskan untuk tidur saat anda sendiri yang membuat janji temu dengan Fatih Ardan Mubarrack, Puti,” ucap Diah yang kesabarannya sedang diuji oleh Aini. Tidur? Dua tamu pentingnya akan datang tidak lama lagi tapi beliau ingin tidur?
“Di, bisa tidak jangan sebut nama lengkapnya di pangkal telingaku?” ucap Aini kesal. Iya, dia tau kalau yang akan datang itu adalah Fatih Ardan Mubarack. Tapi tamu satu lagi yang datang tanpa diundang itu membuatnya harus tidur agar Nia bisa mengambil alih tubuh ini dan menyelesaikan semuanya. Tidak peduli dengan tatapan garang Diah, Aini tetap mengubur tubuhnya di balik selimut tebalnya.
“Kamu bisa keluar dari kamarku? Aku ga bisa tidur kalau dilihati seperti itu.”
Tolong siapa saja yang mengerti dengan apa yang majikannya maksud untuk menjelaskan pada Diah. Baru kemaren ia mengusir Fateh kemudian mengundangnya lagi dan apakah hari ini ia harus menebalkan mukanya dan mengusir pria tampan itu lagi? Mungkin sebenarnya Puti ingin main-main dengan Fateh tapi tanpa majikannya itu sadari, ia telah lebih dahulu mempermainkan Diah.
“Apa rencana kamu, Di?” tanya Aini saat dayangnya berjalan menuju pintu tanpa sepatah kata pun.
Menoleh, Diah berusaha keras untuk menjaga cara bicaranya agar tetap sopan. “Membiarkan anda tidur kemudian mengusir Fateh seperti yang sudah biasa saya lakukan,” begitu ucapnya. Sengaja sekali menyebut ‘seperti yang sudah biasa saya lakukan’ agar sang majikan merasa, setidaknya, tersindir. Diah tau, ia merasa sudah menjadi abdi pembangkang tanpa perlu diberitahu terlebih dahulu. Biasanya saat Puti Aini berkreasi dengan segala jenis perintahnya, yang bisa ia lakukan hanyalah mematuhi. Anehnya sekarang ia merasa berbeda, entahlah Diah pun tidak bisa menjelaskan.
“Jangan diusir! Bangunkan saja aku saat dia datang. Karena bukan aku yang seharusnya bertemu dia hari ini.”
“Begitukah? Siap laksanakan, Puti,” ucap Diah semangat, terlalu semangat sampai tidak merasa aneh sedikitpun dengan kalimat yang majikannya ucapkan barusan. Satu hal yang ia pikirkan, setidaknya ia tidak akan melihat wajah masam Fateh lagi saat lagi-lagi gagal menemui Puti Aini.
Baru beberapa menit rasanya Aini melayang di dunia mimpi, Dian sudah menggoncang tubuhnya seolah mereka harus segera lari menuju jalur evakuasi tsunami. Tidak sampai disana saja Diah juga mengomandoinya menuju ruang tamu. Ia di dudukkan di depan seseorang yang terasa sangat familiar tapi Aini butuh beberapa saat untuk mengenali orang di seberangnya itu yang tengah tersenyum manis.
Sedangkan Fateh yang baru pertama kali mendapati wajah bingung sang bangsawan, ingin sekali mengabadikan wajah bingung perempuan di depannya itu. Lucu sekali kebiasaan Puti Sumatera ini saat bangun tidur.