P. S. I Hate You 11

2391 Words
Ada yang semangat sekali pagi ini. Ada senyum yang tak enggan luntur pagi ini dan ada debar menyenangkan pagi ini. Saat bangun Aini masih menemukan dirinya di tubuhnya sendiri. Bangun dalam keadaan tidur menyamping dan berbantalkan punggung tangan kanannya sendiri, Aini langsung memasang senyum indahnya. Untuk pertama kalinya bagi Aini, ia memimpikan pria itu. Dalam mimpinya yang terasa begitu nyata, Aini bisa merasakan kalau Fateh begitu menyayanginya. Aini tidak tau apa hubungan mereka di mimpi semalam tapi Ia dan Fateh sama sekali tidak terlihat canggung satu sama lain. Mimpinya benar-benar bagus sampai Aini tidak akan bisa melupakan tiap kejadiannya. Ai bahkan masih bisa merasakan pelukan kecupan di dahinya yang pria itu berikan.  Untuk beberapa menit setelah bangun sampai ia mendapatkan kesadarannya kembali, sampai ia mengingat apa yang kemaren ia lakukan sebelum tidur, Aini tetap dilanda perasaan berbunga. Baru setelah semua kepingan ingatannya kembali, mimpi indah tersebut menjadi tidak ada artinya sama sekali. Apa gunanya bermimpi indah kalau kenyataannya Fateh sudah menjadi suami orang lain? ‘Ai.. kamu kok bodoh sekali,’ gumam Ai pada dirinya yang bahkan sempat menari-nari sendiri di dalam kamar. Beruntung tidak ada yang melihat tingkah bodohnya barusan bukan? Lebih malu lagi rasanya saat Ai mengaku bahwa pelukan dan kecupan yang ia dapatkan di mimpinya yang terasa begitu nyata. Dia saja tidak pernah dipeluk apalagi dikecup Fateh lalu bagaimana mungkin itu semua bisa disebut nyata? ‘Bodoh!’ Saking malunya, Aini bahkan enggan menoleh saat melewati cermin besar di kamarnya ketika berniat untuk keluar. Bagaimana ini? Aini tidak mau bertemu dengan Fateh, bukankah Nia lah yang harus bangun pagi ini untuk menghadapi Fateh? Apalagi tujuan Fateh menemuinya adalah untuk urusan pekerjaan. Aini tidak pernah tau apa yang Nia kerjakan selama ini. Bagaimana kalau keputusannya nanti membuat Nia marah? Kacau! Ucap Aini membatin. Sepertinya ia harus bertanya pada Diah tentang pekerjaan Nia yang ada hubungannya dengan Fateh. “Selamat pagi, Diah,” sapa Aini pada dayangnya yang pasti sudah dibuat kesusahan oleh Nia. Nia benar-benar hidup seperti putri raja, apapun keinginannya harus terpenuhi jika tidak Diah akan menjadi samsak kemarahannya. Itu yang Bang Ramdan katakan. Mendengar sapaan super ramah seperti itu membuat Diah merinding sendiri. Membalikkan tubuhnya demi memastikan dirinya tidak salah dengar, Diah malah menemukan Puti Aini-nya dalam penampilan yang tidak biasa. Fix, Puti-nya ini pasti sedang sakit. Selain menyapanya dengan hangat Puti juga berada dalam balutan hoodie kebesaran berwarna ungu muda yang sembilan atau sepuluh tahun lalu begitu sering digunakannya. Hoodie itu sebetulnya adalah hadiah ulang tahun dari Diah. Ya bagaimana Aini tidak akan mengenakan hoodie itu kalau pakaian tidur Nia bentukannya seperti ini semua? Aini bahkan tidak lagi menemukan piyama-piyama lucu miliknya di dalam lemari manapun. “Puti sakit? Demam?” tanya Diah panik. Ingin mengecek suhu majikannya dengan punggung tangan tapi ia takut jika tangannya akan ditepis seperti empat tahun yang lalu. Aini meraba wajahnya sendiri dengan wajah bingung. Apakah ia sakit? Itu pula yang sedang ia pertanyakan. Tidak merasakan hangat berlebihan, Aini kemudian mengambil tangan Diah dan meletakkannya di dahunya. Barang kali pengukuran Diah lebih akurat dari dirinya sendiri. Yang membuat Aini cukup kaget adalah Diah yang terkesiap saat ia menempelkan tangan Dayangnya itu pada dahi dan pipinya. “Panas? Engga ‘kan?” tanya Aini menghiraukan kesiap Diah. “Eng- engga.. biasa aja. Normal.” Tapi dalam hati Diah berkeras bahwa ada yang tidak normal pada Puti Aini. Entah apa itu yang tidak normal, dirinya belum bisa mengetahuinya. Seingat Diah, semalam mereka sama-sama masuk ke dalam kamar masing-masing dan tidur cepat. Puti bukannya keluyuran tanpa sepengetahuan Diah, bukan? “Kenapa? Kamu ngeliat aku kok sampai segitunya?” tanya Aini pada orang yang paling lama bersamanya. Diah ini baginya bukan hanya sekedar orang yang ditugaskan oleh Datuk untuk menemani dan membantunya. Diah sudah seperti keluarga baginya, mereka melalui begitu banyak hari berdua. Namun begitu, meskipun Aini sangat menyukai Diah ia tidak bisa menceritakan tentang dirinya dan Nia. Aini takut jika Diah ketakutan saat mengetahui kebenaran tentang mereka berdua dan memilih pergi meninggalkannya. “Maafkan saya Puti, say-” “Diah kamu kenapa ngomongnya begitu? Kenapa minta maaf saat kamu ga bikin salah apapun?” Perhatian Ai kemudian teralih pada sarapan yang sedang disiapkan oleh Diah. “Kamu kenapa sibuk sekali? Ini masih pagi, siapa yang akan makan sepagi ini?” tanya Aini kemudian berjalan sendiri untuk mendapatkan gelas dan mengisi gelasnya sendiri. Membuat Diah bertanya-tanya apa yang telah terjadi pada majikannya. Bukankah selama ini dirinyalah yang selalu mendapatkan segala sesuatu untuk Puti Aini? “A- aku aneh ya?” tanya Ai saat menyadari Diah hanya memperhatikan gerak geriknya sejak beberapa saat yang lalu. “Ti-tidak, anda sempurna,” ucap Diah tersenyum kemudian melanjutkan pekerjaannya. Dan benar saja Puti memang bertingkah sangat aneh pagi ini, buktiny dia mengekori kemana pun Diah pergi dan  juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh. Seperti dia telah pergi cukup lama. Ia juga menanyakan apakah dirinya mengganggu pekerjaan Diah saat Diah membutuhkan waktu lama untuk menjawab pertanyaan tidak penting Puti karena ia harus membagi konsentrasi antara pekerjaan pokoknya dan juga pekerjaan tambahan berupa menjawab pertanyaan Puti. “Terakhir kali Sultan Azka mendapat amukan Sultan Ramdan adalah saat beliau membuat seorang perempuan menangis di depan umum,” ucap Diah dengan sabar, ia tidak tau kenapa harus menceritakan hal yang belum berlalu satu tahun lamanya pada sang majikan. “Azka kami sudah punya pacar ya rupanya?” tanya Ai pada dirinya sendiri. Sedih sekali rasanya melewatkan perkembangan si bungsu itu. Apalagi Ai harus meninggalkannya bersama bang Ramdan yang keras juga Nia yang keras kepala dan pemarah. “Buk- bukan begitu Puti, perempuan itu bukan pacar Sultan Azka melainkan pacar temannya Anda masih ingat Gilang?” “Oh, begitu rupanya. Aku pikir aku ketinggalan banyak,” ucap Aini lega. “Tidak sebanyak saya yang ketinggalan sesuatu,” gumam Diah yang masih bisa didengar oleh Aini disertai sorot menyelidik padanya. Sadar jika Diah sudah merasakan keanehan pada dirinya, cepat-cepat Aini kembali ke kamarnya. “Puti sudah ingin mandi?” Terpaksa menghentikan langkahnya, Aini mengangguk pelan tanpa menoleh pada Diah di belakangnya. “Saya akan siapkan-” “Tidak perlu Diah, selama aku di sini aku bisa mengurus diriku sendiri,” ucap Aini kemudian memacu langkahnya menuju kamar. >>>  Semua orang sudah berkumpul di meja makan pagi ini. Fateh punya kegiatan yang berhubungan dengan perempuan paling cantik yang pernah ia kenal seumur hidupnya beberapa jam dari sekarang sedangkan Gilang dengan agenda mengantarkan kiriman ponakannya untuk Dinda. Ammar benar-benar tidak pernah lupa mengirimkan mantan pacarnya itu oleh-oleh setiap bepergian. Bayangkan saja, Ammarnya belum kembali ke Indonesia tapi oleh-olehnya sudah sampai duluan. Salah Gilang yang selalu membawa ponakannya itu pacaran, akibatnya sudah muncul pula benih-benih cinta untuk Dinda di hati ponakannya itu. Sebetulnya Gilang tau kenapa oleh-oleh ini sampai lebih dulu dibandingkan kepulangan ponakan dan kakak sepupunya itu. Karena hari ini Dinda ulang tahun dan seperti Ammar yang tidak pernah tidak mendapatkan kado dari Dinda, bagitupun sebaliknya. Yang menjadi masalah di sini adalah Gilang ‘kan sedang putus, ia juga sudah bersikap tidak membutuhkan Dinda beberapa hari belakangan. Masa tiba-tiba dia muncul begitu saja? “Kunyah makananmu dengan benar, Lang!” tegur Bayu pada putranya yang tampak memiliki masalah berat sejak ia menunjukkan hadiah dari Ammar pada sang putra semalam. “Iya Ayah. Ayah kok repot banget, ya, jadi Ayahku? Lihat tuh Ibuku tenang aja mau aku makan atau engga,” gerutu Gilang yang kembali menyuap sarapannya. “Karena aku menyayangi Anakku. Memangnya Ibumu? Kau sakit saja dia lebih memilih pasiennya di rumah sakit. Sampai sekarang malah lebih menyayangi anak gadis orang ketimbang anak bujang-nya sendiri.” Sejak ia remaja atau lebih tepatnya sejak pacaran, kalau Ayah dan Ibu cekcok ya itu pasti ada hubungannya dengan Gilang dan pacarnya. Seperti obrolan di meja makan pagi ini, rasanya sudah terlalu biasa sampai Gilang sudah tidak takut lagi dengan omelan Ayah soal yang satu ini. Tapi gawat! Seperti yang Azka prediksi, tanggal tanggalan sekarang itu memang sudah mendekati tanggal balikan-nya Gilang. Gilang sendiri sebenarnya sudah merasa cukup jenuh tanpa Adin di sekitarnya. Tapi kalau sampai ketahuan balikan lagi sama Adin untuk yang kesekian kalinya, Gilang bisa didiami Ayah nih. Atau justru bakal dikata-katai Ayahnya lagi ini, pasti. Dibilang lemah sama satu cewek lah, ini lah, itu lah. Memikirkan segala kemungkinan yang pasti terasa tidak mengenakkan, Gilang kembali tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai melewatkan pertengkaran Ayah dan Ibunya. “Om, aku boleh ga rebut calon istri orang?” tanya Fateh pada Om dan Tantenya yang masih sahut-sahutan. Seumur-umur hanya rumah tangga Om Bayunya saja yang terasa sad ending mengingat mereka selalu saja adu mulut. Mendengar pertanyaan Gilang barusan, semua orang yang ada di meja makan langsung menoleh pada Fateh. Sementara yang paling mencolok adalah Vio. Dia sampai terbatuk mendengar kegilaan sang Abang. “Mak baaaaang, kau yang benar ajalah! Ga ada cewek lain apa?” keluh Gilang sambil menatap ngeri pada abang sepupunya. “Cewek banyak Bang.. jangan calon istri orang ah! Malu aku!” Fateh mencibir. Kenyataannya memang banyak cewek bertebaran di luar sana tapi yang menarik hanya yang satu ini, bagaimana dong? “Kau juga! Tanggal-tanggalan balikanmu sudah di depan mata, ‘kan? Kau yang benar ajalah, ga ada cewek lain apa?” cibir sang ayah pada Gilang. Sengaja sekali membalikkan kata-kata putranya tepat di detik setelah Gilang mencemooh Abangnya. “Bu, bantuin dong,” pinta Gilang. “Bantu apanya? Tolong bilangin sama Ayah kesayanganmu itu, kalo bukan karena kamu yang stuck sama satu cewek dari baru sunatan sampai sekarang mana mungkin Ibu jadi sesayang gitu sama Adin, dia anaknya juga baik.” Ratu melirik sang suami. Ia tau kok kenapa Bayu kesal padanya. Suaminya itu berpikir Ratu lah yang membuat Bayu kehilangan kesempatan untuk mengenalkan putra mereka pada anak teman-temannya. “Halah, bilang sama Ibumu kalo Ayah ga peduli, anak orang ya tetap anak orang. Ga bisa dua puluh empat jam ada di rumah kita.” “Ga dua puluh empat jam juga, ‘kan, Yah?” Ratu dan Bayu yang awalnya saling menitipkan apa yang ingin mereka katakan pada Gilang kembali berhadapan secara personal. Membuat Fateh yang masih menunggu pendapat Om-nya merasa bosan. “Jadi aku boleh nikung ga nih?” tanya Fateh yang diabaikan oleh semua orang. “Siapa rupanya dia?” tanya Om Bayu kalem, lagak-lagaknya Fateh akan diberi lampu hijau nih. Dengan semangat Fateh mengatakan siapa perempuan yang sedang menarik perhatiannya. Putri Sumatera. Begitu ucapnya. Begitu selesai Fateh menyebutkan nama perempuan yang ia inginkan, Bayu segera meminta anak semata wayangnya mengambilkan pistolnya. Membuat Gilang terbahak-bahak sambil memukul-mukul meja. “Mak, Abangku cari target ga tanggung-tanggung. Pengalaman nol besar tapi targetnya, ya ampuun…” kekeh Gilang sambil menyeka air matanya. Bisa-bisanya Bang Fateh menyelamatkan Gilang dari omelan Ayah dan Ibu dengan mengumpankan dirinya sendiri. “Padahal ‘kan, Yah, sebelum ketemu kakaknya Azka doi pengen mutilasi gitu eh ga taunya setelah pandangan pertama langsung klepek-klepek,” adu Gilang pada ayahnya. “Biasakan panggil Sultan Azka dengan benar! Kau membuat Ayahmu ini kehilangan muka seolah tidak pernah menunjuk ajari anaknya. Dan tolong jangan beri pengaruh buruk untuk Sultan bungsu itu!” Bayu masih ingat semua ulah Gilang yang selalu berhasil menyeret bangsawan Sumatra itu. Sampai rasanya Bayu tidak sanggup bertemu dengan Sultan Ramdan lagi. Setidaknya, jika anaknya ini memang segitu bandelnya, bandel lah untuk diri sendiri, jangan bawa-bawa orang lain gitu loh. Malunya Bayu jadi berlipat ganda kalau Sultan itu selalu terlibat kenakalan jika bermain dengan putranya. Malah banyak yang terang-terangan bilang bahwa Gilanglah yang membawa pengaruh buruk untuk Sultan Azka. “Yah! Sultan Azka kesayangan Ayah itu udah cinta mati sama aku. Mau dibilangin yang kayak gimanapun tetap nempel. Kalo aku ini apa lah ya ‘kan? Dia mau main ya aku ajak.” “Nah itu satu! Banyak yang gosipin kalian pasangan homo, kuping Ibu panas denger gosip para suster. Meraka ga tau aja kalo calon menantu Ibu udah ada dan cewek tulen,” ucap Ratu menimbrung. “Kita ga lagi bahas calon mantumu itu loh, Bu!” tegur Bayu pada istrinya, sempat-sempatnya membawa Dinda. Pengaruh anak itu memang luar biasa, kalau tidak badannya yang ada di rumah ini, pasti namanya selalu disebut-sebut. “Bodo! Pokoknya Gilang kamu harus hati-hati, jangan sampai Sultan Azka nikung kamu.” Nah ini satu lagi yang menjadi kekhawatiran Ratu. Bagaimana kalau Dinda bosan putus nyambung terus dan Azka memanfaatkan kesempatan yang ada? “Astagaa istriku, orang yang kamu tuduhkan barusan adalah orang terhormat. Dia dibesarkan bukan dengan cara biasa. Dia dibesarkan di bumi Sumatera dan segala tradisinya kalau kamu lupa,” ucap Bayu yang merasa tekanan darahnya akan kembali naik. Ratu yang menaikkan tekanan darahnya lalu Ratu pula yang akan mengobatinya nanti. Bukankah Ratu ini istri yang durhaka? Dialah yang menjadi penyebab kenapa penyakit menghampiri sang suami. “Lagian Gilang mau aku nikahkan dengan anak temanku,” tambah Bayu. “Tuh, ‘kan? Ibu tau akal busuknya Ayah!” ucap Ratu tidak senang, sangat tidak senang. “Sudah-sudah, Om, Gilang itu nantinya jadi pihak yang akan menikahi. Dia ga butuh Om apalagi Ibu untuk menikahkannya. Aku berangkat, doakan berhasil,” ucap Fateh yang terlanjur kenyang dengan omongan mereka pagi ini. “Balik kemari Fateh!! Kau pikir apa yang akan kau lakukan?” teriak Bayu menggelegar sementara Viona justru sedang mengangguk-angguk, lagu boyband yang sedang ia putar sungguh terasa menyenangkan di telinganya dibanding lagu yang dimainkan oleh keluarga ini. “Godain putri Sumatera yang Om agungkan itu lah, apalagi memangnya? Mari kita lihat, kalau dia bisa goyah oleh seorang rakyat jelata macam aku maka kita harus pertanyakan apa yang patut dibanggakan dari bumi Sumatera dan tradisinya kayak yang Om bilang.” “Anak kurang ajar! Fateh!” “Aku juga ada uruasn bentar, janji pulang sebelum jam sepuluh malam,” ucap Gilang buru-buru menyusul langkah Abangnya. Tidak lupa menarik headset Vio, meminta agar adik sepupunya itu memberi tahunya siapa yang menang dan siapa yang kalah di antara Ayah dan Ibu sepulangnya ia nanti. “Aku ikut Abang ya, Bang,” rengek Vio. Tidak terbayang ia harus berada di rumah ini seharian tanpa saudara-saudaranya dan hanya menjadi penonton yang baik untuk Om Bayu dan istrinya. “GA BOLEH!” ucap Ratu galak. Kemudian kembali bicara pada sang putra. “Kirim salam Ibu sama Adin, Sayang,” teriak Ratu. Berbeda dengan raut suaminya saat berteriak, Ratu justru kegirangan. “Apa? Kamu mau marah? Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang kalo ini tanggal tanggalan balikannya anakmu?” ejek Ratu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD