bc

Belenggu Cinta Sang Mantan

book_age18+
289
FOLLOW
3.0K
READ
revenge
love-triangle
HE
opposites attract
second chance
friends to lovers
dominant
heir/heiress
drama
sweet
bxg
serious
kicking
bold
office/work place
affair
actor
like
intro-logo
Blurb

Area Dewasa (21+)

Shasha tidak pernah menyangka jika dia akan bertemu kembali dengan mantan suaminya yang kini menjadi partner kerjanya. Bukan sebagai atasan dan bawahan, bukan sebagai CEO dan Sekretarisnya, melainkan sebagai lawan main di sebuah film bergenre dewasa. Shasha terpaksa menerima tawaran main itu karena bayarannya sangat menggiurkan dan Shasha saat ini sangat butuh uang untuk biaya kemoterapi sang putra. .Shasha sangat membenci Rainer Ansel Pramudya. Pria yang sepuluh tahun lalu dia ceraikan karena tidak pernah menganggap keberadaannya sebagai istri. Rainer masih berhubungan dengan mantan kekasihnya meskipun telah menikah dengan Shasha. Rainer menikahinya hanya karena pelarian dan ingin membuat Sabrina—mantan kekasih Rainer cemburu. Namun, siapa sangka jika dalam pembuatan film itu ada sebuah konspirasi yang membuat Shasha semakin membenci Rainer..Lalu, bagaimana jika Rainer kini terlihat sangat mengaguminya? Benarkah kabar yang beredar jika sebenarnya Rainer pernah menjadi gila karena ditinggalkannya?.Apakah Rainer akan marah jika tahu selama ini Shasha menyembunyikan putra mereka?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Kenyataan Pahit
Happy Reading "Aku tidak pernah mencintainya, Bina! Aku menikahinya hanya untuk pelarian dan membuatmu cemburu karena telah meninggalkanku!" Langkah kaki Shasha berhenti saat mendengar suara Rainer yang sepertinya tengah bertelepon dengan seseorang. Kepalanya mengintip ke antara sela pintu dan benar saja, suaminya itu sedang berbicara dengan seseorang di ponsel. "Shasha hanya ku anggap sebagai sahabat, sampai saat ini hanya kamu yang kucintai, Sabrina! Kamu percaya, kan?" Mata Shasha membola ketika mendengar dengan jelas ucapan Rainer. "Nggak mungkin, Rainer!" gumam Shasha menggelengkan kepalanya. Dia berharap pendengarannya tengah bermasalah. Namun, kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir suaminya menyambar telak ke relung hati Shasha. "Aku nggak peduli bagaimana perasaannya, aku hanya ingin kamu yang menjadi istriku. Aku hanya ingin kamu yang menjadi ibu dari anak-anakku. Aku akan cerai dengannya, selama ini aku tetap nggak bisa jatuh cinta sama dia, Bina. Hatiku masih milikmu seutuhnya!" Tubuh Shasha langsung membeku saat mendengar setiap kalimat yang diucapkan Rainer dengan seseorang di sebrang telepon. Tangannya yang memegang tespek, bukti nyata akan kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya, bergetar hebat. Tespek itu terasa licin di genggamannya, hampir terlepas. Jantungnya berdetak kencang, berpacu tak teratur seperti genderang perang yang menggelegar di dadanya. Rasanya sulit bernapas, udara pagi yang segar tiba-tiba terasa mencekik. Telinganya berdenging, dunia di sekitarnya seakan memudar, hanya suara Rainer yang terngiang-ngiang di kepalanya. "Aku akan menceraikannya kalau kamu kembali, kapan kamu balik ke Indonesia? Tidak, aku tidak pernah menggunakan perasaan saat menyentuhnya karena aku tidak mencintainya, hanya kamu Sabrina, hanya kamu wanita yang ku cintai." Setiap kata yang diucapkan Rainer bagai belati yang menusuk jantungnya berkali-kali. Shasha melangkah mundur, terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Dinding di belakangnya terasa dingin saat punggungnya menyentuhnya. Dia merasa pusing, mual, dan lemas. Dunianya runtuh seketika. Fakta yang baru saja didengarnya terlalu pahit untuk ditelan. Rainer, suaminya, pria yang selama ini tidur di sisinya, pria yang telah berbagi tawa dan air mata bersamanya selama tiga tahun, ternyata hanya berpura-pura mencintainya. Rainer saat ini sedang berada di dalam studionya, ruangan yang biasanya dipenuhi dengan melodi indah kini terasa seperti ruang interogasi yang mencekam. Shasha tahu siapa Sabrina. Dia adalah mantan kekasih Rainer, masa lalu pria itu yang pergi tiga tahun lalu meninggalkan Rainer dalam keterpurukan dan Shasha datang sebagai penyembuh luka. Air mata Shasha menggenang, memenuhi pelupuk matanya, mengancam untuk tumpah. Hidungnya terasa panas, sesak, dan napasnya tersengal-sengal. Dia berusaha keras untuk menahan isak tangisnya, agar Rainer tidak mendengarnya. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika Rainer tega membohonginya selama ini. Memang, sikap Rainer seringkali dingin dan acuh tak acuh, tetapi pria itu selalu memeluknya setiap malam, memberikannya ciuman lembut di kening sebelum tidur. Mereka sering melakukan hubungan suami istri, berbagi keintiman yang Shasha pikir adalah bukti cinta mereka. Namun, kini Shasha tahu, Rainer menyentuhnya bukan dengan cinta, melainkan dengan kebohongan. Sentuhan yang dulu terasa hangat dan penuh kasih sayang, kini terasa dingin dan menjijikkan. Shasha berjalan keluar dari ruangan itu, langkahnya gontai dan tak berarah. Tangannya menutup mulutnya yang bergetar, menahan isak tangis yang hampir meledak. Dia berlari menuju kamarnya yang ada di lantai atas, meninggalkan Rainer yang masih asyik bertelepon dengan Sabrina. Ini masih subuh, udara pagi masih terasa dingin menusuk tulang. Tadi, saat Shasha bangun tidur, dia tidak melihat Rainer di sampingnya. Shasha yang sejak kemarin telah menyiapkan tespek karena telah terlambat datang bulan akhirnya menggunakannya dan hasilnya positif. Dia hamil. Niat hatinya ingin memberikan kejutan untuk sang suami, kejutan yang akan membuat mereka bahagia. Namun, ternyata dia sendiri yang dikejutkan, bukan dengan kebahagiaan, melainkan dengan fakta yang sangat menyakitkan. "Hiks, ya Tuhan! Apa aku tidak salah dengar? Apa aku masih bermimpi? Kenapa Rainer tega membohongiku!" Shasha terduduk di atas ranjang, tubuhnya bergetar hebat. Bahunya naik turun karena tangis yang tak terbendung lagi. Tespek yang masih digenggamnya jatuh ke lantai, tergeletak tak berdaya di samping kakinya. Kebahagiaan yang seharusnya dirasakannya kini tergantikan oleh rasa sakit yang teramat dalam. Dia merasa sendirian, terluka, dan hancur. Kehamilan yang seharusnya menjadi anugerah kini terasa seperti beban berat yang harus dipikulnya sendirian. Masa depan yang dulu tampak cerah kini diselimuti oleh awan gelap ketidakpastian. "Aku nggak mau dijadikan pelarian, kalau Rainer memang ingin cerai, akan aku kabulkan. Tidak perlu menunggu Sabrina pulang." Tekad kuat Shasha tiba-tiba hadir. Dia mengambil kembali tespek itu dan memasukkan ke dalam tas kecilnya. Shasha bagus menyembunyikan kehamilannya, dia tidak mau Rainer tahu jika dia hamil dan malah menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Bukankah tadi Rainer bilang kalau dia hanya ingin Sabrina yang menjadi ibu dari anak-anaknya? *** Pagi itu Shasha lebih banyak diam, pikirannya melayang dan penuh. Dengan hati yang hancur, ia tetap menyiapkan sarapan untuk Rainer. Semangkuk nasi goreng masih mengepulkan uap hangat, aroma bawang dan rempah-rempah menguar di udara pagi, namun tak mampu mengusik lamunan Shasha. Ia sudah tak peduli lagi dengan sikap acuh tak acuh Rainer yang semakin menjadi-jadi. Dulu, Shasha mungkin akan merajuk, bertanya ada apa, atau setidaknya berusaha menarik perhatian Rainer. Namun kini, hatinya terasa mati rasa, terlalu lelah untuk sekadar peduli. Bahkan saat sarapan pun, Rainer masih asyik menatap layar ponselnya. Sesekali tawa kecil menghiasi bibirnya. Tawa itu seakan menusuk hati Shasha seperti ribuan jarum tak kasat mata. Perih, itulah yang dirasakan Shasha. Hati kecilnya berbisik, pasti Rainer tengah berbalas pesan dengan Sabrina. "Hari ini aku ada jadwal pemotretan, mungkin pulang malam," ucap Rainer tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Suaranya datar, tanpa intonasi yang biasanya Shasha dengar. "Hemm," jawab Shasha lirih, nyaris seperti gumaman. Ia tak sanggup menatap wajah suaminya. Pandangannya tertuju pada nasi goreng di hadapannya, bulir-bulir nasi seakan berputar-putar mengikuti pusaran perasaannya yang kacau. Nafsu makannya hilang, tergantikan oleh rasa sesak di d**a. Rainer akhirnya mengangkat kepalanya, menatap sekilas ke arah Shasha. Ia menyadari ada yang berbeda dari istrinya, aura kesedihan yang terpancar jelas dari sorot mata Shasha yang redup. Namun, hanya sesaat. Rainer kemudian mengangkat kedua bahunya, seakan tak peduli dengan apa yang dirasakan Shasha. Ia kembali fokus pada ponselnya, seolah-olah ada hal yang jauh lebih penting daripada istrinya sendiri. "Aku berangkat dulu," pamit Rainer singkat setelah menghabiskan sarapannya. Ia berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Shasha yang masih terpaku di meja makan. Shasha hanya menatap kepergian suaminya dalam diam, air matanya tak terbendung lagi. Bulir-bulir bening itu mengalir deras di pipinya. Hati Shasha hancur berkeping-keping. Kebahagiaan yang dulu Shasha bangun kini terasa seperti fatamorgana. Kenapa Shasha baru sadar jika selama ini Rainer memang tidak pernah benar-benar menunjukkan cintanya? Bersambung

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
153.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
228.7K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
5.1K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
178.3K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
299.2K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
19.3K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
12.1K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook