Bab 2. Persiapan Perpisahan

1011 Words
Happy Reading "Ma, gimana kabarnya? Mama sehat, kan?" Shasha menggenggam erat ponselnya, jemarinya memutih karena tekanan yang diberikannya. Tiga tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ia menghubungi wanita yang telah melahirkannya itu. Tiga tahun yang dipenuhi rasa rindu yang menyesakkan, namun terhalang oleh tembok gengsi yang ia bangun sendiri. Pernikahannya dengan Rainer, yang tak direstui sang Mama, menjadi jurang pemisah di antara mereka. Shasha masih ingat jelas bagaimana Mamanya dengan tegas menentang hubungan mereka tiga tahun yang lalu, mengatakan bahwa Rainer bukanlah pria yang tepat untuknya. Kenangan itu kini terasa pahit karena sekarang kenyataannya Rainer memang bukan pria yang baik untuknya "Shasha?" Suara Mamanya terdengar lirih di ujung telepon, membawa gelombang emosi yang menghantam Shasha. Setetes air mata mengalir di pipinya, membasahi layar ponsel yang ia genggam erat. Rindu yang selama ini ia pendam meledak seketika, membuat dadanya sesak. Ia ingat bagaimana dulu ia begitu keras kepala, membela Rainer habis-habisan di hadapan Mamanya. Ia menolak mendengarkan nasihat Mamanya, yakin bahwa Rainer adalah belahan jiwanya. Kini, penyesalan yang mendalam menggerogoti hatinya. "Iya, Ma. Ini Shasha," jawab Shasha, suaranya bergetar menahan tangis. "Mama apa kabar? Shasha kangen. Shasha pengen pulang." Kata-kata itu terucap lirih, diiringi air mata yang terus mengalir deras. Ia berusaha keras menahan isakannya, tak ingin Mamanya mendengar kesedihan yang mendalam yang kini ia rasakan. Ia ingin Mamanya mendengar suaranya yang tegar, meskipun hatinya hancur berkeping-keping. "Pulanglah, nak," ucap Mamanya lembut, suaranya penuh kasih sayang yang membuat hati Shasha semakin teriris. "Tinggalkan dia jika memang kamu sudah tidak sanggup." Kata-kata Mamanya bagai petir di siang bolong, menyadarkan Shasha akan kenyataan menyakitkan yang baru saja dia ketahui bahwa Rainer selama ini tidak pernah mencintainya. Apakah Mamanya tahu jika suatu saat semua ini akan terjadi, sehingga sang Mama dulu begitu menentangnya menikah dengan Rainer. "Nak, naluri Mama begitu kuat. Mama tahu kamu pasti tengah sedih," lanjut Mamanya, suaranya terdengar parau. "Mama pernah bilang pada Rainer jika suatu saat nanti kamu menghubungi Mama dengan isak tangis, itu artinya Rainer pasti telah menyakitimu. Mama pun mengatakan padanya jika Mama akan memintamu kembali dan tidak akan pernah membiarkan kamu kembali lagi padanya selamanya." Kalimat terakhir Mamanya menggantung di udara, meninggalkan Shasha dalam keterkejutan dan kebingungan. Ucapan Mamanya seakan mengkonfirmasi semua rahasia yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh Rainer. Ternyata, firasat Mamanya benar. Rainer telah menyakitinya, dan kini ia terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Shasha terisak, akhirnya melepaskan semua beban yang selama ini ia pikul sendirian. Ia merasa lega karena Mamanya masih menerimanya, meskipun ia telah membuat kesalahan besar. Ia tahu, di pelukan Mamanya lah ia akan menemukan kembali kekuatan dan kebahagiaan yang telah hilang. "Makasih, Ma... Shasha akan pulang dua hari lagi. Shasha mau mengurus dulu semuanya yang ada di sini. Tunggu Shasha ya, Ma?" *** Rainer melangkah masuk ke dalam kamar, matanya tertuju pada sosok istrinya yang meringkuk di atas tempat tidur, seolah-olah mencari kehangatan dalam tidurnya. Sebuah hela napas panjang lolos dari bibir Rainer, beban berat terasa menghimpit dadanya. Pernikahannya dengan Shasha terasa seperti sebuah sandiwara yang semakin hari semakin sulit untuk dipertahankan. Hatinya, sejatinya, masih tertambat pada Sabrina, wanita yang dicintainya sepenuh hati. Shasha, di matanya, hanyalah teman yang hadir mengisi kekosongan saat Sabrina meninggalkannya. Sekarang Sabrina bersedia kembali ke Indonesia dan Rainer pun mengatakan akan menikahinya setelah menceraikan istrinya. Namun, bagaimana cara ia mengungkapkan kebenaran yang pahit ini kepada Shasha? Bagaimana cara ia meminta perpisahan yang pasti akan melukai hati wanita yang telah bersamanya selama tiga tahun ini? Sabrina telah berjanji akan kembali dalam dua bulan, dan Rainer juga telah berjanji pada dirinya sendiri, juga pada Sabrina, bahwa ia akan menceraikan Shasha saat Sabrina kembali. Janji itu kini terasa seperti belenggu yang mengikatnya, membuatnya terjebak dalam dilema yang rumit. "Aku harus bagaimana?" gumam Rainer lirih, tatapannya masih terpaku pada Shasha yang terlelap. Pikirannya berkecamuk, mencari jalan keluar terbaik dari situasi yang serba salah ini. Di satu sisi, ia merasa bersalah pada Shasha, wanita yang telah memberikan hatinya dan waktunya untuknya. Di sisi lain, cintanya pada Sabrina begitu kuat, tak tergoyahkan oleh waktu dan jarak. Ia teringat kenangan indah bersama Sabrina, senyumnya, tawanya, dan segala hal yang membuatnya jatuh cinta. Kenangan itu semakin menguatkan tekadnya untuk kembali bersama Sabrina. Rainer memutuskan untuk menenangkan pikirannya dengan berjalan ke arah balkon kamar. Ia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya, menyalakannya, dan menghisapnya dalam-dalam. Asap rokok yang mengepul seolah menjadi pelarian sesaat dari kenyataan pahit yang dihadapinya. Ia menatap langit malam yang dihiasi bintang-bintang, berharap menemukan jawaban atas permasalahan yang membelenggunya. Malam semakin larut, namun pikiran Rainer masih belum menemukan titik terang. Ia terus dihantui oleh bayangan Sabrina dan janji yang telah ia ucapkan. Sementara itu, di balik selimut tebal, Shasha sebenarnya tidaklah tertidur. Air matanya mengalir deras membasahi bantal, isak tangisnya tertahan dalam selimut. Hatinya remuk redam mengetahui kebohongan Rainer selama ini. Ia telah mengetahui hubungan Rainer dengan Sabrina, janji yang mereka buat, dan rencana Rainer untuk meninggalkannya. Rasa sakit dan kecewa yang mendalam menyelimuti hatinya. Ia merasa dikhianati oleh pria yang dicintainya, pria yang telah berjanji untuk mencintainya seumur hidup. Namun, di balik rasa sakit itu, tersimpan juga kekuatan dan tekad yang kuat. Shasha bukanlah wanita yang mudah menyerah. Ia telah memutuskan untuk mengambil langkah tegas demi melindungi harga dirinya. "Aku memang mengalah, tapi bukan berarti aku kalah, Rai," batin Shasha dalam hati. Ia bertekad untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan sebelum Rainer melakukannya. Ia tidak ingin menjadi pihak yang tersakiti dan ditinggalkan. Ia ingin menunjukkan pada Rainer bahwa ia bukanlah wanita lemah yang bisa dipermainkan. Esok hari, ia akan memulai babak baru dalam hidupnya, babak di mana ia akan bangkit dan menjadi wanita yang lebih kuat dan mandiri. Ia akan meninggalkan masa lalu yang pahit dan menatap masa depan yang lebih cerah. Meskipun hatinya terluka, ia yakin akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. *** Shasha bangun dari tidurnya, kepalanya terasa pusing karena dia menangis semalaman. Shasha melihat sisi kirinya kosong. Rainer tidak ada di sana, entah semalam Rainer tidur di sana atau tidak. Sekarang Shasha tidak peduli, lebih baik dia segera mandi, membersihkan diri dan mengurus segala hal. Dia sudah memutuskan untuk bertemu dengan seorang pengacara untuk membantu proses perceraiannya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD