Happy Reading
"Aku tidak pernah mencintainya, Bina! Aku menikahinya hanya untuk pelarian dan membuatmu cemburu karena telah meninggalkanku!"
Kalimat ini bagai petir di siang bolong yang menyambar telak ke relung hati Shasha. Langkah kakinya terhenti, membeku di tempat, seolah-olah kakinya tertanam kuat di lantai marmer yang dingin. Tangannya yang memegang tespek, bukti nyata akan kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya, bergetar hebat.
Tespek itu terasa licin di genggamannya, hampir terlepas. Jantungnya berdetak kencang, berpacu tak teratur seperti genderang perang yang menggelegar di dadanya. Rasanya sulit bernapas, udara pagi yang segar tiba-tiba terasa mencekik. Telinganya berdenging, dunia di sekitarnya seakan memudar, hanya suara Rainer yang terngiang-ngiang di kepalanya.
"Aku akan menceraikannya kalau kamu kembali, kapan kamu balik ke Indonesia? Tidak, aku tidak pernah menggunakan perasaan saat menyentuhnya karena aku tidak mencintainya, hanya kamu Sabrina, hanya kamu wanita yang ku cintai."
Setiap kata yang diucapkan Rainer bagai belati yang menusuk jantungnya berkali-kali. Shasha melangkah mundur, terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Dinding di belakangnya terasa dingin saat punggungnya menyentuhnya. Dia merasa pusing, mual, dan lemas. Dunianya runtuh seketika. Fakta yang baru saja didengarnya terlalu pahit untuk ditelan.
Rainer, suaminya, pria yang selama ini tidur di sisinya, pria yang telah berbagi tawa dan air mata bersamanya, ternyata hanya berpura-pura mencintainya.
Rainer saat ini sedang berada di dalam studionya, ruangan yang biasanya dipenuhi dengan melodi indah kini terasa seperti ruang interogasi yang mencekam. Dia sedang berbicara di telepon dengan seorang wanita yang disebutnya Sabrina. Shasha tahu siapa Sabrina. Dia adalah mantan kekasih Rainer, masa lalu pria itu yang pergi tiga tahun lalu meninggalkan Rainer dalam keterpurukan dan Shasha datang sebagai penyembuh luka.
Air mata Shasha menggenang, memenuhi pelupuk matanya, mengancam untuk tumpah. Hidungnya terasa panas, sesak, dan napasnya tersengal-sengal. Dia berusaha keras untuk menahan isak tangisnya, agar Rainer tidak mendengarnya. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika Rainer tega membohonginya selama ini. Memang, sikap Rainer seringkali dingin dan acuh tak acuh, tetapi pria itu selalu memeluknya setiap malam, memberikannya ciuman lembut di kening sebelum tidur.
Mereka sering melakukan hubungan suami istri, berbagi keintiman yang Shasha pikir adalah bukti cinta mereka. Namun, kini Shasha tahu, Rainer menyentuhnya bukan dengan cinta, melainkan dengan kebohongan. Sentuhan yang dulu terasa hangat dan penuh kasih sayang, kini terasa dingin dan menjijikkan.
Shasha berjalan keluar dari ruangan itu, langkahnya gontai dan tak berarah. Tangannya menutup mulutnya yang bergetar, menahan isak tangis yang hampir meledak. Dia berlari menuju kamarnya yang ada di lantai atas, meninggalkan Rainer yang masih asyik bertelepon dengan Sabrina.
Ini masih subuh, udara pagi masih terasa dingin menusuk tulang. Tadi, saat Shasha bangun tidur, dia tidak melihat Rainer di sampingnya. Shasha yang sejak kemarin telah menyiapkan tespek karena telah terlambat datang bulan akhirnya menggunakannya dan hasilnya positif. Dia hamil.
Niat hatinya ingin memberikan kejutan untuk sang suami, kejutan yang akan membuat mereka bahagia. Namun, ternyata dia sendiri yang dikejutkan, bukan dengan kebahagiaan, melainkan dengan fakta yang sangat menyakitkan.
"Hiks, ya Tuhan! Apa aku tidak salah dengar? Apa aku masih bermimpi? Kenapa Rainer tega membohongiku!" Shasha terduduk di atas ranjang, tubuhnya bergetar hebat.
Bahunya naik turun karena tangis yang tak terbendung lagi. Tespek yang masih digenggamnya jatuh ke lantai, tergeletak tak berdaya di samping kakinya. Kebahagiaan yang seharusnya dirasakannya kini tergantikan oleh rasa sakit yang teramat dalam. Dia merasa sendirian, terluka, dan hancur. Kehamilan yang seharusnya menjadi anugerah kini terasa seperti beban berat yang harus dipikulnya sendirian. Masa depan yang dulu tampak cerah kini diselimuti oleh awan gelap ketidakpastian.
"Aku nggak mau dijadikan pelarian, kalau Rainer memang ingin cerai, akan aku kabulkan. Tidak perlu menunggu Sabrina pulang." Tekad kuat Shasha tiba-tiba hadir.
Dia mengambil kembali tespek itu dan memasukkan ke dalam tas kecilnya. Shasha bagus menyembunyikan kehamilannya, dia tidak mau Rainer tahu jika dia hamil dan malah menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya.
Bersambung