Bab 12. Salah Paham

1517 Words
Happy Reading "Sha!" Rainer berdiri dengan senyum mengembang di bibirnya. Dia berjalan mendekati Shasha yang kini menatapnya dengan tatapan tajam, seperti elang yang siap menerkam mangsanya. Shasha berdiri mematung, auranya memancarkan kemarahan yang terpendam. Rambut panjangnya yang tergerai indah, di mata Rainer, Shasha terlihat sangat cantik. "Ikut gue!" Shasha menarik lengan Rainer dengan kasar, cengkeramannya kuat dan penuh emosi. Dia membawanya ke tempat yang lebih sepi, menjauh dari keramaian lokasi syuting. Dia bahkan tidak peduli dengan tatapan beberapa orang yang ada di sana, tatapan penasaran yang bercampur dengan gosip. Langkahnya lebar dan cepat, mencerminkan gejolak di hatinya. Rainer, meskipun sedikit terkejut dengan tarikan Shasha yang tiba-tiba, tetap dengan senang hati mengikuti langkah Shasha. Senyum masih tersungging di bibirnya, bahkan semakin lebar, karena rencananya untuk bertemu Shasha secara pribadi akhirnya berhasil. Dia mengamati Shasha dari samping, memperhatikan raut wajahnya yang tegang dan langkah kakinya yang tegas. "Bisa nggak sih lo nggak ngelibatin gue!" ujar Shasha dengan mata yang melotot, suaranya tajam dan menusuk. Napasnya memburu, menandakan betapa marahnya dia saat ini dengan apa yang dilakukan Rainer. Dia melepaskan cengkeramannya di lengan Rainer dan bersedekap, menatap Rainer dengan sorot mata penuh amarah. Bagi Rainer, melihat Shasha yang marah seperti ini justru membuatnya semakin terpikat. Marahnya Shasha terlihat begitu alami dan jujur, menambah pesona kecantikan wanita itu di matanya. Rona merah di pipi Shasha karena marah justru membuatnya terlihat semakin menawan. "Kamu makin dewasa makin cantik, Sha." puji Rainer tulus, matanya menatap lekat wajah Shasha. "Rai, jangan mengalihkan pembicaraan!" seru Shasha dengan nada tinggi. Dia menggertakkan giginya, menahan amarah yang semakin membuncah. Shasha merasa Rainer tidak menganggap serius perkataannya. "Iya sayang ... aduh, kok kakiku diinjak Sha?" Rainer meringis kesakitan saat Shasha menginjak kakinya dengan sepatu hak tingginya. Shasha benar-benar marah kali ini. "Gue serius Rai, apa sih salah gue ke elo? Kenapa lo selalu ngelibatin gue? Sekarang gue udah ngelepasin diri dari lo, tapi kenapa sekarang lo jadiin gue tameng? Lo punya dendam sama gue, Rai?" Kali ini suara Shasha lirih, agar tidak terdengar orang-orang di lokasi syuting. Shasha kesal sekali, Rainer ini benar-benar tidak punya hati. Kenapa sejak dulu selalu mempermainkannya? Dia merasa lelah, selalu dijadikan pion dalam permainan Rainer. Dulu, sepuluh tahun yang lalu, dia pikir Rainer menikahinya karena cinta. Ternyata, itu semua hanya sebuah kebohongan. Senyum Rainer pun menghilang, digantikan dengan kerutan di keningnya. Dia merasa tidak enak hati melihat Shasha yang seperti ini, Shasha salah paham padanya. "Siapa yang jadiin kamu tameng? Sha, kamu salah paham." Rainer mencoba menjelaskan, nada suaranya terdengar tulus. "Heh, gue emang selalu salah paham! Gue salah mengartikan tentang lo!" Shasha menunjuk Rainer dengan jari telunjuknya, suaranya bahkan sedikit bergetar. Tiba-tiba Shasha teringat semuanya tentang kejadian sepuluh tahun lalu. Di mana Rainer menikahinya hanya karena pelarian, hanya untuk melupakan Briana, wanita yang dicintainya. Kenangan pahit itu kembali menghantuinya, membuat hatinya semakin sakit. Dia merasa seperti orang bodoh yang dipermainkan. Rainer terkejut dan merasa sangat bersalah. Dia tahu jika di masa lalu menikahi Shasha karena patah hati ditinggal Briana. Namun, setelah Shasha pergi meninggalkannya, Rainer menyadari jika dia telah jatuh cinta pada Shasha. Perasaannya tumbuh seiring berjalannya waktu, selama tiga tahun pernikahannya, Rainer sebenarnya telah jatuh cinta pada Shasha dan kini dia menyadari betapa berharganya Shasha baginya. "Sha, kita butuh banyak waktu untuk bicara." Rainer mencoba mendekati Shasha, namun Shasha mundur selangkah. "Nggak! Gue cuma butuh lo nggak usah ganggu gue lagi, jangan sampai gue benci lo selamanya, jangan buat berita hoak untuk menutupi hubungan lo sama Briana!" Shasha pergi setelah mengucapkan hal itu, meninggalkan Rainer yang terpaku di tempat. Dia berlari menjauh, menghindari Rainer dan kenangan pahit yang dibawanya. Shasha berusaha mati-matian untuk tidak terlibat hal-hal pribadi dengan Rainer kembali, tetapi kenapa pria itu seolah tidak mau melepaskannya. Mata Rainer pun membola, sepertinya Shasha benar-benar salah paham padanya. "Jadi dia mengira aku sengaja mengungkapkan perasaan hanya untuk menutupi hubungan gue sama Briana. Sha, gue nggak pernah balikan sama dia," gumam Rainer dengan d**a yang sesak. Rasanya ingin menangis saja, Shasha salah paham lagi. "Sha, kamu nggak tahu apa yang terjadi sepuluh tahun lalu!" Rainer menatap punggung Shasha yang semakin menjauh. Dia merasa frustasi, ingin menjelaskan semuanya pada Shasha, namun Shasha sudah pergi. Sepertinya dia harus menceritakan semuanya, dia harus mencari waktu yang tepat dan bicara fakta sebenarnya, tetapi bagaimana kalau Shasha malah semakin salah paham padanya. Rainer menghela nafas panjang, merasa bingung dan putus asa. *** Silvia memperhatikan Shasha yang akhirnya kembali dan memilih sebuah kursi untuk diduduki. Raut wajah Shasha terlihat menahan amarah. Dengan langkah ringan, Silvia menghampiri Shasha. "Sha, dari mana saja kamu? Tadi banyak yang membicarakan kamu dan Rai, lho. Sepertinya strategi Rainer untuk menciptakan gosip tentang hubungan kalian berdua berhasil. Berita tentang kalian menyebar dengan sangat cepat," kata Silvia, menyampaikan apa yang ia dengar dari beberapa orang di lokasi syuting tadi. Shasha menoleh, menatap Silvia dengan tatapan datar. "Jadi, kamu sudah tahu kalau semua ini memang sengaja direkayasa oleh Rainer?" tanyanya, memastikan apa yang sudah ia duga. "Ya, sepertinya begitu. Tapi, jujur saja, Sha, dari pengamatanku, Rai itu sepertinya benar-benar tertarik padamu. Jangan-jangan apa yang dikatakan Rainer kepada wartawan itu benar? Mungkinkah dia benar-benar jatuh cinta padamu?" Silvia mengungkapkan pendapatnya, sedikit ragu-ragu. "Ck, mana mungkin! Dia hanya ingin menciptakan gimmick agar film kita laris manis. Tidak mungkin Rainer jatuh cinta padaku," jawab Shasha dengan nada getir, hatinya terasa perih. Ya, Shasha lebih mengenal Rainer dan perasaannya. Rainer sejak dulu tidak pernah mencintainya. Meskipun dulu Rainer dengan mudahnya mengatakan cinta, kenyataannya pria itu tidak pernah benar-benar tulus. Hanya Briana yang selalu ada di hati Rainer, dulu, sekarang, dan mungkin selamanya. Shasha sudah muak dengan semua tingkah laku Rainer yang selalu mempermainkannya. Perasaan lelah dan kecewa bercampur aduk di dalam hatinya. Ia merasa seperti boneka yang dimainkan sesuka hati oleh Rainer. Shasha menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi di dalam dadanya. Ia tidak ingin terpancing emosi dan merusak suasana. Shasha mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya. Ia harus profesional dan tidak membiarkan masalah pribadinya mengganggu karirnya. Shasha berusaha mengabaikan gosip yang beredar dan tetap bersikap biasa saja di depan orang lain. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya dan memberikan kepuasan kepada Rainer. Shasha yakin, semua ini akan berlalu dan ia akan bisa melewati semua ini dengan tegar. Tiba-tiba, seorang aktor muda yang menjadi pemain figuran di film yang sama dengan Shasha mendekat. "Hai, Sha. Ada salam dari Bastian, katanya dia mau minta nomor telepon kamu. Boleh, nggak?" tanyanya ragu-ragu. "Eh, Bastian siapa? Aku bahkan tidak mengenalnya. Seenaknya saja minta nomor telepon. Kalau mau menghubungi Shasha, harus lewat aku," ujar Silvia dengan tegas, sambil menarik lengan pemuda tersebut menjauh dari Shasha. Silvia merasa perlu melindungi Shasha dari orang-orang yang tidak dikenal, terutama setelah kejadian yang baru saja terjadi. Ia tidak ingin Shasha diganggu lagi oleh orang-orang yang hanya ingin memanfaatkan popularitasnya. Ia bertekad untuk selalu ada di samping Shasha dan membantunya melewati semuanya. Silvia menatap Shasha dengan penuh perhatian, memberikan senyuman hangat untuk menenangkannya. "Tenang saja, Sha, aku akan selalu ada untukmu," bisik Silvia lembut. "Kamu belum tahu Bastian? Dia pemeran utama kedua di film ini, lho. Nanti juga bakal ambil adegan dengan Shasha," jelas Andreas, aktor muda itu pada Silvia. "Lihat, itu dia di sana, sedang memperhatikan kita," tambahnya sambil menunjuk ke arah samping. Andreas melanjutkan, "Bastian ini lagi naik daun banget, banyak yang mengidolakannya. Aktingnya juga bagus, pantas dapat peran penting di film ini bareng Rainer dan Shasha." Silvia pun menoleh ke arah yang ditunjuk Andreas. Shasha hanya menatap datar ke depan, tidak berminat sama sekali melirik ke samping, sedangkan Silvia melihat seorang pria dengan wajah tampan dan postur tubuh yang tegap. Dia memang terlihat seperti aktor pendatang baru yang sedang populer. Silvia, dengan senyum manisnya, berkata, "Wah, iya, tampan sekali. Kalau dia berani ke sini, aku akan berikan nomor telepon Shasha padanya." Silvia mengedipkan mata pada Shasha, menambahkan, "Siapa tahu kalian bisa cocok, kan?" "Benarkah? Tadinya dia memang ingin menghampiri kita, tapi dia sedang dirias. Sebentar lagi dia akan melakukan pengambilan gambar dengan Audy," kata Andreas, menjelaskan alasan Bastian belum bergabung dengan mereka. Rainer, yang sedari tadi ada di belakang, mendengarkan percakapan mereka dengan seksama. Tatapannya tertuju pada Bastian yang terlihat sesekali melirik ke arah Shasha. Rainer mengepalkan tangannya erat-erat. Perasaan tidak suka mulai menguasai dirinya. "Shasha hanya milikku. Tidak ada orang lain yang boleh mendekatinya, apalagi Bastian," batin Rainer. Ia merasa cemburu dan posesif terhadap Shasha. Rainer tidak ingin ada pria lain yang merebut perhatian Shasha darinya. Ia merasa Shasha adalah miliknya, dan ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Shasha Kehadiran Bastian membuatnya merasa terancam, terlihat jelas jika aktor baru itu terpikat oleh daya pesona Shasha. "Sha, nanti setelah syuting selesai, aku mau ajak kamu ketemu Papa. Katanya dia kangen banget sama kamu, lho," ujar Rainer tiba-tiba, membuat semua orang yang ada di lokasi syuting menatapnya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, termasuk Bastian dan Andreas. Beberapa orang saling berbisik dan melirik ke arah Shasha, menunggu reaksinya. Shasha sendiri terlihat sedikit terkejut dengan pernyataan Rainer yang tiba-tiba itu. Suasana di lokasi syuting mendadak hening, semua orang seakan menahan napas menantikan kelanjutan percakapan mereka. "What? Sejak kapan Shasha kenal Papa kamu, Rai?" tanya Silvia penasaran. Ia menyipitkan mata, menatap Rainer dan Shasha bergantian. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD