Sore itu Isabella pergi ke ATM terdekat guna mengambil uang untuk keperluan membeli pakaian baru. Dia sangat suka berbelanja. Tidak pernah dalam kamus hidup Isabella menomor duakan penampilan. Matanya mendelik kaget. Saldo tabungannya berkurang drastis. Dia tidak boleh menggunakan uang pemberian Om Warsono untuk rencananya dengan Nando. Tidak boleh
Isabella memutar otak dengan memikirkan bagaimana caranya dia bisa mendapat uang banyak menggunakan cara instan. Isabella membuang nafas kasar. Untuk kali ini dia tidak boleh menyerah di tengah jalan. Harus berhasil. Pikirannya melayang, satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah meminta bantuan Nena. Tapi apakah mungkin akan berhasil.
Isabella menatap penampilannya hari ini. Kaos pendek berlapis sweater plus celana jeans dengan model robek dibeberapa bagian. Apakah orang-orang berduit itu akan mau tertarik pada tubuhnya? Siapa yang tahu tanpa mencobannya lebih dulu
Nena terkesiap melihat kedatangan Isabella, “Kenapa kesini anak manis?”
Asap rokok menerpa wajah Isabella. Baunya cukup menyengat, membuatnya merasa pusing. Isabella tahu konsekuensi bertemu Nena akan berhadapan dengan wajah tegas bercampur aura menakutkan itu. Bisa dibilang Nena adalah teman gila Isabella selama satu tahun ini. Meski sudah berkepala empat tapi Nena masih terlihat sangat cantik untuk ukuran wanita seumurannya. Wajah awet muda, body aduhai dan mungkin sedikit lemak dibagian perut. Jelas itu bukan masalah. Memangnya siapa laki-laki hidung belang yang tidak mau dengan Nena. Perempuan itu terlalu sempurna untuk dijabarkan. Isabella merasa kalah saing
“Kau mau ambil pekerjaanmu malam ini, cantik?” Oh tentu saja Isabella mengangguk senang, memang itu tujuan datang ke tempat seperti ini. Uang dan kesenangan selalu saja berkaitan dihidup Isabella
Nena menatap setiap inci penampilan Isabella, jemari lentik yang selalu dijamah oleh perawatan itu menerpa kulit Isabella. Mengusapnya lembut seperti mencari celah kekurangan Isabella.
“Kau sudah cantik.” Nena tersenyum penuh tanda tanya. “Wajahmu perlu sedikit dipoles.”
____________________________________
Isabella kembali menatap penampilannya di cermin. Perempuan itu cukup puas dengan hasil make up dari Irene. Salah satu orang kepercayaan Nena. “Thanks Irene.” katanya sebelum berlalu dan mulai pada tugas pertamanya
Sebenarnya Isabella tidak suka terlihat mencolok, tapi apa boleh buat. Dimanapun dia berada selalu saja menjadi pusat perhatian. Entah karena kecantikan wajahnya, penampilannya yang spektakuler, atau karena orang-orang selama ini tidak pernah melihat bentuk kesempurnaan itu. Kalau begitu, tidak salah bukan jika sekarang Isabella berbangga diri untuk semua yang ada pada dirinya. Ini anugerah
“Ken…” sapa Isabella ceria begitu mereka berpapasan. Kenand laki-laki kaya raya yang selalu rutin memberikan kucuran dana pada Isabella ketika dilanda kekosongan keunganan. Isabella menatap Kenand adalah laki-laki penuh ambisi.
Kenand tersenyum manis, mengisyaratkan Isabella untuk menemaninya malam ini. “Temani aku minum.” Perintahnya sementara tangannya sudah mengeluarkan isi dompet.
Kesempatan emas, Isabella.
Perempuan itu terlihat sumringah. Uang adalah hidupnya.
Tangan Isabella dengan cekatan menuang botol minuman sesuai yang pesanan Kenand, tentu saja ini dibanderol sangat mahal.
“You okay?” Isabella melihat guratan kesedihan atau apalah itu dari wajah Kenand. Jelas laki-laki ini sedang tidak baik-baik saja
“Hmmm…” gumamnya sembari menerima gelas dari Isabella. “Kamu cantik,” pujinya kemudian
“Aku tahu.” kata Isabella sembari tertawa hambar.
Ekor mata Isabella melirik laki-laki di dekat pintu yang tengah berbincang dengan Danis. Dia adalah makhluk tukang halu tempo hari secara sengaja melecehkannya.
Isabella tahu ketika berada di klub dia tidak bisa berbuat banyak. Ini adalah tempat orang bersenang-senang guna melampiaskan masalah menggunakan berbagai macam cara. Isabella juga menyadari dia bukan tipe perempuan baik-baik sama seperti yang diungkapkan oleh Om Warsono. Isabella tidak mencerminkan apa itu perempuan berpendidikan.
“Dia siapa, Bella?” Kenand bertanya setelah menenggak habis minumannya. Sedari tadi memang fokus Isabella adalah pada dua orang laki-laki yang baru saja duduk di meja bartender
“Entah. Tidak tahu,” Jawabnya.
Isabella tidak mungkin mengatakan bahwa laki-laki yang duduk di depan meja bartender adalah Beryl. Orang kepercayaan Om Warsono untuk menjaga sekaligus memata-matainya. Itu memalukan
“Aku akan bercerai dengan istriku.” Kata Kenand tiba-tiba
Mata Isabella membola, dia memang tahu Kenand sudah menikah tapi pernikahan mereka kalau tidak salah baru berjalan dua bulan. Mengapa secepat itu berakhir?!
Mata kucing Isabella memincing, “Lo pikir pernikahan mainan, Kend?! Baru dua bulan kenapa secepat itu?” Isabella takut jawaban Kenand hendak bercerai adalah karena ingin menikahinya. Bisa gawat jika itu terjadi. Secara tidak langsung penyebab perceraian mereka adalah dirinya. Isabella tidak mau dilabeli sebagai pelakor.
“Kami tidak benar-benar menikah, Isabella. Sebelum pernikahan terjadi kami sudah membicarakan soal masalah ini. Sekarang adalah waktunya.”
Isabella rasa tidak akan memberikan sebuah nasihat dan saran kepada Kenand. Akan memperburuk keadaan. Masalah pribadinya saja sudah sangat merumitkan, ditambah kehadiran Beryl terus memata-matainya. “Yang terbaik untuk kalian, deh.” pesan Isabella selayaknya teman
Kenand mendekati Isabella, “Aku merindukanmu, Bella.”
Perlahan tapi pasti tangan Isabella mendorong pelan bahu Kenand. “Ingat, kita hanya minum. Bukan untuk tidur.” Isabella tidak sudi tidur dengan berbagai macam laki-laki. Dia hanya pernah melakukannya dengan Nando. Itu juga terjadi untuk memuluskan rencanannya kedepan bukan semata-mata karena jatuh cinta.
Kenand kecewa, “Selama ini hanya Nando di hatimu, Bella?” Isabella mengiyakan. Memang pusat dari apapaun yang dilakukan adalah Nando. Selebihnya bukan hal penting untuk Isabella.
“Haruskah aku perlu mengatakan bahwa Nando bukan lelaki baik-baik?”
Memangnya Kenand pikir dia salah satu laki-laki baik begitukah?! Jika Kenand termasuk baik tentu tidak mungkin berada di klub ini bersamanya bukan? Hendak bercerai pula. Sungguh membeli kaca untuk diri sendiri memang sesulit itu.
Isabella mengedikkan bahu, “Entah. Gue juga nggak peduli.”
”Ayolah…” pintanya memohon. Demi apapun Isabella risih dengan rengekan Kenand. Sudah tua tapi tidak sadar umur. Masih saja ingin terus bermanja-manja. Ingin sekali Isabella menonjok muka Kenand jika tidak ingat dia adalah pembeli di tempat Nena
“Isabella.” Nena menghampiri Isabella memintannya dengan segera mengikutinya. “Kenand, Angela akan menemanimu. Aku ada perlu dengan Isabella.”
Kenand menggeleng, menolak ucapan Nena. “Aku lebih membutuhkannya, Nena.” Kenand terlihat kesal namun sepercik kemudian dia pasrah mengikuti tarikan Angela keluar klub. Dasar laki-laki
“Kenapa, Nen?” Isabella menatap penasaran pada perempuan yang cocok dia panggil ibu ini
Tangan Nena menepuk bahu Isabella, “Aku ada pekerjaan untukmu, cantik.” Matanya melirik kearah meja bartender, kemudian tersenyum penuh harapan. “Temani laki-laki di depan bartender. Aku akan langsung memberikanmu bonus sangat besar.”
Apa yang dimaksud Nena adalah Beryl?! Sungguh ini mengejutkan Isabella
“Aku tidak mau, Nena.” Sudah gila apa dia akan menjamu dan menemani Beryl. Isabella saja sangat membenci keberadaan laki-laki penguntit itu. Bagaimana ceritanya dia akan bersikap baik. Bukankah semakin besar kepala lah si Beryl karena berhasil membelinya jika Isabella setuju.
“Hanya perlu duduk dan menuangkan minuman, Bella. Dia tidak sampai menyentuhmu.” Nena meyakinkan Isabella.
Tapi sebenarnya bukan itu yang dia takutkan.Tapi hubungan mereka. Ah, menyebalkan. Kenapa Beryl selalu merusak malam indahnya. Semua karena perintah orang tua sialan itu. Padahal Isabella sudah mengamuknya di kampus kemarin tetap saja perintah itu selalu datang. Lebih menyebalkan lagi saat Beryl berceramah dan dengan sok mengatakan bahwa itu adalah perintah dari Prof.Warsono.
“Aku akan dengan suka cita melakukan pekerjaanku dengan baik, tapi bukan dengan laki-laki itu, Nena. Aku tidak mau. Sama sekali tidak berminat.” Isabella kekeuh dengan penolakannya
Nena mulai menampilkan wajah serius, “Kamu bekerja kepadaku, Isabella. Lakukan apa yang kuperintahkan dan setelah itu bersenang-senanglah dengan uangmu. Apa kau tidak mau melakukan itu?”
“Kenapa harus aku, Nena?” Isabella jengah
“Karena dia hanya mau kamu, Isabellaku sayang.” Nena seperti membaca kegundahan Isabella, “Dia itu sangat polos. Kau pikir dia berani menyentuhmu, begitu. Aku sama sekali tidak yakin.” Nena berbisik dan terus memaksa Isabella melakukan pekerjaannya.
“Apakah perlu kehancurkan kepolosan itu?” Pikiran macam apa yang berkecamuk di otakmu, Isabella
“Lakukanlah jika itu membuatnya senang.” Nena berlalu setelah memberi semangat Isabella. Sama sekali ini tidak lucu.
Untuk sementara Isabella diam mematung memandangi tubuh Beryl dari belakang. Dia bingung harus memulai semuannya dari mana. Biasanya Isabella akan gampang menggoda lalu bersikap genit pada laki-laki hidung belang. Lantas kenapa malam ini rasanya sangat sulit.
“Haruskah aku merayunya?”