Kepopuleran Isabella

1813 Words
Mata Beryl hampir melompat keluar. Sungguh dia tidak tahu dihadapannya ini bidadari atau dewi kecantikan. Membuat seluruh atensi Beryl sepenuhnya terarah pada orang ini. "Beryl, lo kenapa?" Anjani melambaikan tangan. Pasalnya Beryl menatap Anjani tanpa berkedip. Sungguh Anjani menjadi bingung sendiri. Apakah ada yang salah dengan penampilannya hari ini. Beryl langsung tersadar dari lamunan. Anjani berhasil mengubah penampilannya. Dari yang awalnya terlihat sangat tomboy dengan beberapa tindik di area wajah seperti hidung, lidah. Lalu tato di leher dan juga tangannya sudah hilang entah kemana. Apakah di depannya benar-benar Anjani? "Kenapa? Gue cantik ya?" tanyanya menggoda Berly. Anjani merasa percaya diri dengan penampilannya kali ini. Tidak sia-sia dia menghapus tato meskipun belum sepenuhnya hilang. Berly memantulkan bola basket. "Cantik banget." katanya berlalu meninggalkan Anjani untuk memasukkan bola ke ring Mulut Anjani menganga, sungguh dia hanya bercanda soal pertanyaan itu. Kenapa Beryl menanggapinya serius. Pipi Anjani bersemu merah. Malu sekaligus senang karena mendapat pujian Beryl. Bolehkah Anjani berharap lebih untuk kali ini? Beryl kembali mendekati Anjani. Dia sendiri juga bingung kenapa begitu blak-blakan mengatakan soal kecantikan Anjani. Kalau boleh jujur, Anjani memang sangat cantik di matanya. Masih sama seperti pada waktu mereka berjumpa dengan keadaan Anjani yang sangat kacau. Beryl menoleh pada Anjani "Kenapa tuh pipi?" Anjani memegang kedua pipi, Apakah pipinya ketika memerah terlihat jelas. Sungguh menyebalkan. "Bercandannya dikurangin deh, Ber." "Gue serius." "Ih, nyebelin." Pipi Anjani semakin merona akibat jawaban Beryl. Dan mereka berdua tertawa Di tengah kebahagiaan keduannya seorang perempuan mendatangi mereka. Tidak---dia sepertinya berjalan lurus kearah Beryl. Dia mendatangi Beryl dan.. Plak, Satu tamparan kembali mendarat sempurna di pipi Beryl tanpa bisa dielak. Oh apakah semua perempuan punya hobi menampar dan mengamuk seperti dia? "Jangan pernah ganggu hidup gue lagi." "Cukup kemarin adalah hal pertama dan terakhir yang lo lakuin. Jangan sok jadi pahlawan. Cari sesuatu yang lebih berguna dari pada ngurusin hidup orang." Beryl menatap kepergian Isabella dengan mulut terkunci. Sial, dia sebagai laki-laki kehabisan kata-kata. Seharusnya dia punya jawaban dari amukan Isabella dan mengantisipasi kedatangan perempuan gila itu. Tapi yang terjadi justru Beryl diam kicep tanpa suara. Beryl menoleh ke samping dimana keberadaan Anjani sempat dia lupakan beberapa menit akibat kedatangan Isabella. "Dia Isabella, kan?" Beryl mengangguk kecil, dari mana Anjani tahu soal Isabella. Mereka tidak satu kampus. Apa iya kepopuleran Isabella sampai ke kampus seberang dimana Anjani berkuliah. Kalau memang iya sungguh luar biasa pesona perempuan itu. "Lo kenal Bella?" Begitulah akhirnya pertanyaan yang keluar dari mulut Beryl saat keduannya memutuskan untuk makan disebuah rumah makan padang. Sebenarnya Beryl tidak enak menanyakan soal Isabella tapi mulutnya hari ini sungguh kurang ajar, sulit diajak kompromi. Anjani meminum es teh dan tangannya bergerak mengambil tissue untuk Beryl. "Nggak sebegitu kenal. Dia cukup popular dikalangan teman-teman gue. Mungkin tujuh dari sepuluh orang cowok di kampus gue kenal sama Isabella." Benar sekali dugaan Beryl. Perempuan itu punya aura memikat. Apa dia memanfaatkan semua laki-laki untuk diajak tidur bersamannya. Sepertinya Beryl sedang melakukan hipotesis dan membutuhkan pembuktian nyata. Tugas dari Prof Warsono sungguh membuatnya gila tanpa dasar. "Kalau boleh tahu apa hubungan kalian?! Kenapa tadi dia menamparmu, Ber?" "Kita satu kampus dan kebetulan ada sedikit salah paham. Mungkin nanti akan gue luruskan." "Kalian pacaran?" Pertanyaan Anjani menunjukkan seakan dia sedang cemburu. Beryl suka dan tersenyum tidak jelas seperti orang gila. "Cemburu?" "Nggak." Bantah Anjani "Kalau iya juga tidak apa-apa." "Gue lagi dekat sama seseorang, Ber." ** Isabella mengambil masker dari dalam tas mungilnya. Setelah acara menampar Beryl tadi dia akan segera menemui Om Warsono. Orang tua itu harus diberi tahu bahwa tidak selamanya bisa mengatur hidupnya. Dia hanya dititipkan bukan berarti bebas berbuat sesukannya. Isabella membencinya. Sungguh "Kenapa harus menyuruh orang lain buat mata-matain saya, Om?! Ini sudah yang kesekian kalinya dan selalu berakhir sama. Sudahlah menyerah saja. Nggak ada untungnya juga selalu ikut campur dan mengatur apa yang saya lakukan. Saya seperti ini buat Diana bukan buat saya sendiri." Dosen yang terkenal killer tersebut lantas tersenyum, mengangguk seperti mengerti apa yang diinginkan oleh keponakannya. "Hanya menjagamu. Tidak membatasi ruang gerakmu." Isabella menajamkan pendengarannya. Apa barusan dia mengatakan tidak membatasi ruang geraknya? Dia melakukan kesenangannya saja selalu diganggu oleh Beryl. Padahal malam itu adalah malam dimana kesempatan emas itu datang. Isabella akan dengan sangat mulus melancarkan aksinya tentu tanpa diganggu oleh mahasiswa suruhan Om Warsono. Isabella tidak habis pikir bagaimana cara berpikir dosen satu ini. "Gara-gara dia semua rusak. Aisshhh..." Isabella hampis mengumpat namun dia sadar posisi mereka sekarang berada di area kampus. "Uang bulanan kamu sudah saya transfer. Seperti biasanya." Isabella menatap malas, "Saya sudah bisa cari uang sendiri." Katanya angkuh. Benar dia sudah bisa mendapatkan uang saku sendiri dengan usahanya tentunya "Berhenti melakukan hal bodoh, Bella. Kamu adalah perempuan berpendidikan. Perlihatkan itu dalam tingkah lakumu. Berhentilah berbuat sesukamu." Suara Prof Warsono sudah meninggi itu artinya dia mulai terbawa emosi meladeni tingkah Isabella yang kelewat nakal. "Kalau kamu memang menginginkan laki-laki. Carilah yang serius dan segera menikah. Itu akan jauh lebih baik." "Anda meminta saya menikah dengan siapa lagi?" Isabella menantang Prof Warsono. Sorot matanya benar-benar mengibarkan permusuhan "Selamat siang, Prof..." Beryl kembali keluar. Dia tidak tahu jika di dalam ruangan Prof Warsono ada Isabella yang sedang melihatnya dengan sorot benci. Isabella tertawa meremehkan, "Menikah dengan manusia sok ini?" Prof Warsono diam, matanya menginstruksikan Beryl untuk masuk dan bergabung. "Dia terllau berharga untuk bisa bersanding denganmu, Bella." Sialan, laki-laki tua ini meremehkan dirinya. Dia sangat menyayangi asistennya ini sampai membuat harga dirinya anjlok seketika. Isabella hampir menampar Beryl namun laki-laki itu terburu menghindar. "Berhenti untuk main tangan." ujar Beryl dengan suara dingin. Beryl kesal setengah mati pada perempuan ini. Gara-gara dia semua kacau. Semuanya tanpa terkecuali. Termasuk soal bagaimana respon Anjani pun Beryl menyalahkan Isabella sepenuhnya. Biarlah dia diumpankan. Itu sepadan dengan tiga kali tamparan. "Ada apa Beryl?" Prof Warsono melihat dua tumpukan kertas hasil koreksi yang sudah Beryl lakukan. Dosen itu tersenyum senang. "Silahkan duduk, Beryl." Beryl menatap remeh pada Isabella. Seolah wajahnya mengatakan bahwa Prof Warsono adalah sekutunya. Dan Isabella adalah musuhnya. Isabella mendelik kesal. "Lo..." Tunjuk Bella tepat di depan mata Beryl "Hanya karena dia mempersilakan Lo duduk. Kepala lo sudah terbang jauh sampai ke bulan. Gue nggak pernah merasa terintimidasi atas kehadiran manusia macam lo ini. Gue lebih berhak atas diri gue sendiri." Prof Warsono yang melihat amukan keponakannya menggeleng takjub. Isabella dan segala tingkahnya memang tiada duanya. Isabella ingin keluar namun tertahan akibat perkataan Prof Warsono. "Kamu bolum boleh pulang, Bella." "Beryl akan mengantarmu." DUARRR... Beryl dan Isabella kompak menatap Prof Warsono. Kemudian saling tatap dan menyambar aura permusuhan di ruangan tersebut. "Nggak perlu saya..." "Tolong antarkan pulang, Isabella. Saya tidak mau hari ini dia harus berakhir di tangan laki-laki yang berbeda lagi." "Tapi Prof..." "Perintah Beryl!" Prof Warsono mengatakan dengan kalimat tegas. Beryl mengangguk pasrah. "Untuk hasil penilaian tugas sudah saya kirim melalui email, Prof." "Terima kasih Beryl. Kalian bisa langsung pulang." *** Isabella mendahului Beryl kemudian berjalan menuju gerbang kampus sendirian. Dia tidak sudi harus satu mobil dengan Beryl. Membuatnya secara tidak langsung gatal kepanasan. "Lo yakin mau pulang sendiri?" Beryl mengekor dibelakang sembari menatap Isabella yang misuh-misuh tanpa henti Hebat, "Lo sendiri bukannya ogak berurusan sama gue. Jadi cukup buat drama di depan manusia tua itu tadi. Lalu keluar tanpa beban." "Maksudnya?" "Lo hanya cukup berpura-pura di depan dia. Selebihnya tidak usah menjalankan apa yang dia minta. Lo bisa pergi sesukanya. Jalan-jalan, ngemal, atau belajar seperti mahasiswa pintar di kelas. Oh gue lupa lo emang pintar." Beryl mencekal tangan Isabella. "Bell, gue benci banget sama elo." Isabella menatap wajah Beryl. Untuk apa dia mengatakan kebencian itu. Padahal tanpa diutarakan semua sudah nampak jelas bahwa aura kebencian mendominasi hubungan mereka. "Gue tahu. Sayangnya gue nggak seperduli itu juga." "Berhentilah bersikap bahwa tingkahmu adalah versi terbaik dari dirimu. Lo sungguh keterlaluan melibatkan gue dalam drama gila ini. Lo keterlaluan jadi perempuan, Bella. Lo bicara kasar dan segudang umpatan yang selalu lo ucapin di depan Prof Wasono. Setidaknya hargai dia sedikit. Dia satu-satunya yang lo punya bukan?! Sungguh dari kacamata orang lain lo terlihat liar tanpa pendidikan." "Bukannya Prof Warsono sudah melakukan banyak hal buat menjaga keponakannya ini. Tapi lo sama sekali nggak punya hati dan melihat dengan mata tentang seberapa besar Profesor sekaligus Om lo itu memiliki kasih sayang yang tulus." Beryl menekankan setiap kalimat yang dia ucapkan. Hari ini setidaknya perempuan gila ini harus diberikan suapan motivasi hidup Isabella diam dan mengangguk. "Hanya saja ini tubuh gue, Beryl. Gue berhak untuk melakukan apapun sesukanya. Termasuk melukai atau membunuh tubuh gue sekalipun." "Gue mohon. Terakhir kali gue peringatin. Jangan kembali masuk lalu jadi pahlawan kesiangan dalam setiap rencana yang udah gue susun. Lo bisa menolaknya Beryl. Gue tahu ini tidak sesuai sama visi misi hidup yang udah lo jalani. Berhenti dan jadilan seperti versi terbaik yang lo punya." Beryl tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Isabella justru membuatnya menjadi galau tanpa berkesudahan. Setelah acara perdebatan yang serius di depan gerbang kampus mereka akhirnya memilih berpisah. Isabella pergi dan menghilang entah kemana. Dan Beryl disini, diam membisu di perpustakaan dengan layar laptop menyala tanpa berniat menyentuhnya. Sungguh berhadapan dengan Isabella menjadikan dia semakin tidak waras. Sebenarnya siapa yang salah siapa yang harusnya instrospeksi diri, sih?! Seseorang tiba-tiba masuk dan duduk dihadapan Beryl. Siapa lagi kalau bukan Azlio dan satu kantong plastik yang baru saja dia keluarkan dari tas besarnya. "Lo gila. Nggak boleh makan disini." Beryl menunjuk pengumuman bertulisan larangan untuk membawa makanan ke dalam perpustakaan. Azlio memberikan isyarat pada Beryl untuk diam dengan meletakkan jari diatas bibir. "Jangan bilang-bilang." ucapnya sangat amat pelan Beryl dengan sangat gabutnya memainkan kursor laptop tanpa tahu apa yang harus dia lakukan. Padahal tugas perkuliahan semester ini tidak main-main, selalu ada ditiap pertemuan. Koreksi hasil tugas teman-teman juga belum dia lakukan, dan terkahir membuat power point untuk bahan mengajar juga belum dia tuntaskan semalam. Sesibuk ini dan Beryl masih mengikuti Organisasi Kemahasiswaan. Kurang sibuk apa lagi dirinya. Satu lagi jangan dilupakan. Tugas penting menyangkut Isabella adalah pekerjaan paling memberatkan bagi Beryl sekarang. "Nih, biar nggak ngantuk." Azlio memberinya minuman. Fruit tea Apple Beryl menatap sekelilingnya. Berharap tidak ada yang melihat aksinya kali ini. Diminumnya teh botol tersebut lalu memberikan kembali pada Azli. "Buat lo. Gue masih punya satu." Azlio mengatakan sembari mengunyah kacang kulit. Lalu matanya fokus pada coretan kertas yang setahu Beryl adalah hasil ringkasan yang sengaja di foto copy oleh teman-teman sekelas guna mempermudah mereka belajar. "Gue nggak bisa nyusun latar belakang dari penelitian gue, Ber. Nyerah gue. Semalem rasanya otak mau pecah gara-gara diajak bertempur." Beryl menatap Azlio, "Yang semalem pap foto di grup kelas lagi pergi ngemall siapa?" Azlio tersedak kacang kulit. Nyengir sebagai respon pertanyaan Beryl barusan. Dia lupa jika semalam pergi menonton. Apakah dia mulai amnesia dan bermimpi tengah mengerjakan laporan penelitian. Sepertinya iya. Beryl mulai memainkan keyboard dan hanyut pada pengerjaan tugas kuliah miliknya. Lalu tatapannya terhenti saat Azlio menujuk grub khusus miliknya tengah membahas soal dirinya. Beberapa orang mengatakan dia dan Isabella tengah menjalin kasih? Oh sial, Beryl lupa seberapa populernya perempuan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD