Jawaban aneh dari Pak Indra masih terngiang. Dia bilang katanya sudah dewasa dan tentu sudah punya pacar. Aku jadi penasaran, pacarannya Pak Indra kayak gimana ya? Apa seperti di film-film? Bebas gitu?
"Kalau cuci piring jangan melamun!" tepukan ringan membuyarkan lamunanku.
Bang Zein datang dengan cengiran lebarnya lalu meletakkan piring kotor satu lagi di wastafel.
"Apaan sih, Bang? Bikin kaget aja! Dih, kenapa ditambahin? Cuci sendiri sana!" sungutku kesal.
"Jangan melamun, ntar kesambet demit baru tahu rasa! Ck, ini namanya nambahin pahala!"
"Eh, Bang, aku boleh nanya gak?"
"Nanya apaan?" Bang Zein. duduk sila di atas kursi lalu mengambil buah apel di atas meja.
"Emangnya kalau pria sudah dewasa itu pasti punya pacar ya?"
"Ya tergantung. Emang kenapa?"
"Aku penasaran, apa cara pacaran orang dewasa itu pasti melakukan hal intim?"
Bang Zein nampak terkejut dengan pertanyaan dariku dan tidak buru-buru menjawab.
"Apa Indra memintamu melakukan itu?"
Aku dan Bang Zein menoleh. Rupanya Bang Fatih yang bersuara. Abang tertuaku itu masih merapikan dasinya lalu ikut duduk dengan Bang Zein.
"Ah, tidak juga. Aku hanya ingin tahu saja." jawabku.
"Kalau Indra memintamu untuk melakukan itu, jangan lakukan!" Bang Fatih nampak tidak suka.
"Lho, mereka kan sudah tunangan, Bang?" tanya Bang Zein dengan kening berkerut.
"Tunangan bukan berarti sah melakukan hubungan suami istri. Lagi pula, Ica belum selesai sekolah. Kamu mau adikmu jadi gunjingan karena hamil saat jadi pelajar?" tanya Bang Fatih yang dijawab gelengan cepat dari Bang Zein.
"Walaupun si Ica kadang nyebelin, tapi kalau dia diejekin temannya aku gak terima. Hanya aku yang boleh mengejeknya." Bang Zein nyengir.
"Dih apaan sih kalian berdua? Aku cuma nanya kok, lagian juga aku cukup mengerti. Gak mungkin lah aku sebodoh itu," Aku manyun sama kedua abangku yang malah adu mulut.
"Ada apa ribut-ribut? Ca, ini udah siang, kenapa belum mandi?" Mama datang dari belakang. Seperti biasa, Mama yang menyiapkan sarapan dan aku yang cuci piring.
"Ini piringnya masih ada yang belum dicuci, Ma. Itu tuh Bang Zein malah nambahin lagi," ucapku kesal.
"Oh jadi belum beres ya? Ya udah, beresin dulu cuci piringnya!" ucap Mama. Lah, di luar ekspektasi, aku kira Mama akan bilang, 'Ya udah biarin aja, jangan dicuci!' tahunya malah tetap saja aku yang menyelesaikan.
"Nah, bener itu kata Mama, beresin ya?" Bang Zein cengengesan.
"Kamu juga, harusnya kamu cuci sendiri, bukan malah nambahin kerjaan adikmu." Mama langsung melotot ke arah Bang Zein.
Aku tersenyum bahagia. "Tuh dengerin!"
"Lain kali, kamu bantu pekerjaan Ica, kasihan dia," Bang Fatih ikut membela.
"Ck, iya, iya, kalau gitu aku nanti bantu cuci piring. Tapi Ica berangkat ke sekolah sendiri!" Bang Zein nyengir lalu berdiri dan pergi.
"Hei, Bang! Tunggu! Mana bisa begitu?" Aku jelas gak terima. Masa ke sekolah naik ojek sih? Ntar bekal jajanku bisa tekor dong?
Ah ya, sekedar informasi, Bang Zein adalah ojek pribadiku, haha. Dia ditugaskan Mama untuk mengantarku kemana-mana. Termasuk ke sekolah atau saat ada kerja kelompok. Sedangkan Bang Fatih sendiri fokus bekerja di perusahaan milik mendiang Papa. Ya walaupun perusahaannya belum besar, tapi hasilnya bisa membiayai hidup keluarga kami. Bang Zein sendiri masih kuliah.
Mama mengajarkan kami hidup sederhana. Tidak manja atau bergelimang kemewahan. Mama bilang, biar nanti sudah dewasa, kami siap menghadapi kehidupan.
***
"Ca, lo beneran gak mau nerima cintanya si Alex?" bisik Kia saat kami sedang duduk menunggu giliran olahraga.
"Gak ah, anaknya banyak pacar begitu. Ngeri gue."
"Dia anak basket lho, Ca? Yakin gak nyesel?" Kia masih jadi kompor meleduk.
"Ck, enggak ah! Ntar batangnya dia udah dicelupin kemana-mana, gimana? Kan serem tuh!"
"Teh kali ah dicelupin. Lo gak ada yang lagi disukai sekarang?"
"Gak ada, belum ada yang kayak Abang gue, haha! Aduh!"
Kia memukul lenganku cukup keras. "Nyebut lo! Masa lo suka sama Abang lo sendiri sih?"
"Ish, kagak lah, cuma gue mau punya pacar yang setidaknya keren kayak Abang gue."
"Bang Zein?"
"Bukan! Dia mah nyebelin! Bang Fatih lah, ntar kalau punya suami, gue mau yang sifatnya kayak Bang Fatih."
"Lah, bukannya Abang lo yang satu itu jarang ngomong dan pendiam?"
"Iya, tapi perhatian dan penyayang. Beda sama Bang Zein, dia mah ngejajah gue mulu."
"AZKIA! ANNISA!"
Busyet! Toa bunyi kenceng amat! Seketika obrolan kami terhenti.
"Ya, Pak?" Kia tersenyum kikuk ke arah Pak Indra yang menatap kami.
"Ke depan!"
"Lho, bukannya kami belum giliran, Pak?" Kia protes.
"Saya yang mengatur!" Pak Indra mulai mengeluarkan nada tegasnya. Udah mirip kayak tentara yang lagi ospek anak buahnya aja.
"Elo sih, pake ngajakin ngobrol!" bisikku kesal.
"Lah, elo ikut jawab, Nyet!" Kia balas berbisik.
"Squat jump sepuluh kali!"
Anjay! Apaan ini? Cuma ngobrol doang dihukum seberat ini? Walau dengan muka ditekuk, akhirnya aku dan Kia melakukan hukuman dari manusia menyebalkan ini.
Sejak aku tahu kalau guru PJOK yang sok tegas itu jadi suamiku, aku makin malas pelajaran olahraga.
"Lo kenapa sih? Sepanjang pelajaran olahraga, muka lo kusam kayak baju dekil kusut gak dicuci berbulan-bulan?"
Aku dan Kia berjalan beriringan menuju kantin.
"Gurunya nyebelin!" jawabku singkat. Lalu kami duduk di bangku panjang kantin dan mengambil beberapa macam jajanan.
"Tapi ganteng lho, Ca! Haha, mayan lah, sejak Pak Barno pensiun dan diganti Pak Indra, semangat olahraga gue naik pesat!"
"Ganteng sih, tapi bikin naik darah!" ucapku ketus.
"Eh, pria modelan Pak Indra pasti banyak penggemarnya ya?"
"Maksud lo?"
"Biasanya nih ya, pacarnya banyak!"
"Masa?"
"Iya lah, modelan Pak Panji aja pacarnya dua. Apalagi Pak Indra ya kan?"
Aku hanya mengangkat bahu. Masa sih? Ah Pak Panji adalah guru seni di sekolah ini. Walau gantengnya kalah dari Pak Indra, tapi karena Pak Panji sangat ramah, banyak juga yang suka.
"Ganteng kalau sangar dan dingin sih percuma, Kia."
"Justru yang begini bikin penasaran tahu! Noh, lo lihat deh, Bu Nuri juga sepertinya suka tuh sama Pak Indra."
Kia menunjuk ke arah lapang basket. Nampak di sana Pak Indra sedang duduk santai. Di sampingnya ada Bu Nuri yang juga sedang duduk.
"Dasar playboy cap teri!" sungutku.
"Heh, lo ngumpatin Pak Indra? Cemburu kan?"
"Ngapain gue cemburu, a***y! Dia bukan siapa-siapa gue."
"Haha, iya, gue percaya. Lagian juga tipe cowok kayak Pak Indra, seleranya pasti kelas VVIP."
"Maksud lo?"
"Ya cowok keren begitu mesti sukanya sama cewek cantik juga lah. Yang seksi dan menggoda, ugh!"
Aku diam. Apa benar begitu? Kalau mendengar penjelasan Kia, rasanya aku memang masih anak kecil sedangkan Pak Indra sudah dewasa.