Mereka Kenapa?

1228 Words
Pagi yang heboh seperti biasa. Mama dengan suara khasnya berteriak menyuruh ini itu. Apalagi Bang Fatih semalam tidur di rumah. Sarapan disiapkan lebih awal. "Ca, ambil bawang merah di atas!" Aku yang sedang mencari bumbu dapur untuk ku bawa, langsung sigap. Ucapan Mama adalah perintah! Dan itu mutlak! "Siap, Ma!" Penyedap rasa yang kemarin aku beli mana ya? Tanganku masih sibuk mencari di kitchen set yang dipasang memanjang di atas dinding dapur. "Ck, siap apanya sih? Ditungguin kok lama banget?" Nah kan, telat dikit aja langsung kena ceramah. "Iya, Ma. Aku nyariin bumbu penyedap yang aku beli kemarin. Kok gak ada ya?" "Bawangnya dulu ke siniin!" Mama memang sulit dibantah. Akhirnya aku mengambil beberapa butir bawang merah. "Ini, Ma." "Sekalian kupas, Ca. Iris juga." Lah? "Terus bumbu penyedapnya mana, Ma?" tanyaku. "Semalam kepake sama Mama. Kamu beli lagi aja gih ke warung Mak Kiah." "Terus ini bawang gimana?" "Kupas sama potong dulu, baru setelah itu kamu ke warung. Uangnya ambil di atas meja makan. Tadi Mama simpan kembalian di sana." Aku mengangguk. Segera aku eksekusi. "Ini, Ma. Sudah." Mama baru menyadari tampilanku pagi ini. "Kok tumben udah rapi, wangi pula. Kamu udah mandi ya?" "Iya. Kan aku mau berangkat kemping, Ma. Jam enam tiga puluh aku harus sudah siap." "Gak kepagian tuh? Abangmu jam segitu mana mau? Pasti masih rebahan tuh di kamarnya." "Um, itu, Ma. Pak Indra bilang dia akan jemput." "Oh? Baguslah. Memang seharusnya begitu. Kalian harus sering jalan berdua agar bisa membangun kedekatan yang lebih." "Indra mau jemput?" Bang Fatih muncul dengan stelen jasnya yang sudah rapi. Aku tebak, wajah Bang Fatih terlihat kecewa. Apa karena aku dijemput sama Pak Indra ya? Aku ingat kemarin Bang Fatih menyuruh Bang Zein yang mengantarku. "Iya, Bang. Semalam dia menghubungiku." Bang Fatih tidak menjawab. Hanya mengambil air mineral dan duduk lalu minum. Kalau tidak salah sangka, aku lihat Mama seperti menghela nafas panjang. Kenapa ya? Perasaanku jadi gak enak. "Fatih, kamu sudah siap berangkat juga?" tanya Mama. Pagi ini Mama membuat sop sayap ayam kesukaan Bang Fatih. "Iya, Ma. Aku harus pergi lebih awal. Ada sedikit pekerjaan yang harus ku urus sebelum ke kantor." "Sarapan dulu, ya? Sebentar lagi siap, tinggal ditambahin bawang goreng saja." Bang Fatih mengangguk dan duduk dengan patuh. "Ma, aku ke warung dulu ya?" "Ya udah, jangan lama-lama, sekarang sudah jam enam. Jangan sampai gak keburu sarapan, Ca." "Oke, siap! Aku ke warung naik sepeda aja, Ma." "Hati-hati, Ca! Jangan ngebut!" Mama berteriak saat aku sudah keluar dan membawa sepedaku. Udara pagi sangat segar. Apalagi di daerahku masih banyak pepohonan rindang di sepanjang jalan. Warung Mak Kiah tidak terlalu jauh dari rumah. Apalagi dengan menggunakan sepeda. Aku sampai di warung tidak lebih dari tiga menit. "Eh, Caca? Kemana aja? Baru ke warung lagi? Katanya kamu udah tunangan ya?" Mak Kiah langsung menyambut kedatanganku. Ck, ini emak satu, tahu aja gosip terbaru. "Kata siapa, Mak? Aku masih sekolah, kok." "Weh, itu tuh kata Abang Ganteng yang lagi sarapan! Katanya dia tunangan kamu." Mak Kiah mengedipkan sebelah matanya. "Dih, siapa, Mak?" Tatapan mataku mengikuti arah telunjuk Mak Kiah. Anjay! Manusia itu langsung tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya padaku. "Pak Indra?" Aku jelas kaget dong! "Beli apa, Tunanganku?" Busyet! Apa dia bilang? Tunanganku? "Hihi, tuh kan? Apa Emak bilang juga? Kamu ke sini mau jemput calon suami kamu ya, Ca?" Aku bergidik. "Ih, bukan, Mak. Aku ke sini mau beli bumbu penyedap. Setengah renceng ya, Mak!" "Siap. Eh, kenapa dianggurin itu Abang Gantengnya?" Si Emak keukeuh. "Ck, dia bukan siapa-siapa aku, Mak." Aku lihat Pak Indra bangkit dan berjalan ke arahku. "Ayo, kita pulang bareng saja." "Duh, manisnya! Kamu jangan malu-malu, Ca. Gak apa-apa, wajar kok, seusia kamu udah punya pacar. Biar si Wendi gak ngarepin kamu terus." "Pacar apa sih, Mak?" Aku masih mengelak. Lah, kan Pak Indra sendiri yang minta hubungan kami disembunyikan kan? Eh? Tetiba Pak Indra merangkul bahuku, "Biasa, Mak. Ica belum terbiasa. Dia kadang masih malu-malu." "Aw-aw! Emak jadi ikutan seneng." "Udah ah, Mak. Dia hanya bercanda. Oh ya, ini uangnya!" Aku buru-buru membayar belanjaanku dan segera pergi dari sana. "Kamu naik sepeda?" tanya Pak Indra. "Ya, biar cepat. Ada seseorang yang menyuruhku untuk tidak terlambat." Pak Indra tertawa renyah, "Siapa orang itu? Jahat sekali!" Ih, dasar aneh! Bukannya dia sendiri yang menyuruhku? Aku gak jawab lagi, hanya naik sepeda dan mulai mengayuh. Lah, dia mengikuti di belakang. Aku ngebut secepat apapun ya tetap saja kesusul. Wong dia pakai mobil aku pakai sepeda. "Ca, si Wendi itu beneran suka sama kamu ya?" Pak Indra membuka kaca mobilnya. Sengaja mengajakku bicara. "Gak tahu." "Kamu jangan mau sama dia, Ca! Saya lihat otaknya m***m itu anak." "Apaan sih, Pak? Bang Wendi gak begitu." "Ck, kenapa kamu malah belain dia?" "Lagian Anda kenapa malah bilang status kita?" "Lah, kan biar si Wendi gak gangguin kamu lagi, Ca. Harusnya kamu berterima kasih sama saya lho." Apaan sih ini orang? Bang Wendi itu anak tirinya Mak Kiah. Usianya mungkin sekitar dua puluh lima tahun. Memang sering menyapaku setiap aku ke warung. Tapi biasa aja tuh, gak m***m atau genit. "Anda terlalu berlebihan!" "Cie, punya penggemar ya kamu? Eit, jangan harap! Saya akan menyeleksi para penggemar kamu nanti. Itu juga kalau ada." Ih, kesel, ampun! Ganteng sih, tapi bikin emosi terus. Aku gak jawab lagi. Terus fokus ke jalan aja. Mobil Pak Indra juga masih setia mengikutiku. Beruntung masih pagi, jadi jalan masih sepi. Sesampainya di depan rumah, aku segera turun. Nampak Bang Zein baru bangun dan masih sarungan. Dia duduk di kursi teras rumah sambil membawa secangkir kopi. "Ca, mau berangkat jam berapa?" tanya Bang Zein. Aku tidak menjawab. Hanya memberi isyarat dengan bibir mengerucut dan mata melirik sekilas ke arah mobil Pak Indra. "Oh ada pangeran rupanya. Baguslah, aku bisa tidur lagi." Bang Zein menguap dan menggeliat nikmat. "Pangeran apaan? Pangeran kodok kali!" Aku bersungut kesal. Bang Zein malah meledekku. "Cie, yang sudah punya pangeran! Gak butuh abangnya lagi!" "Apaan sih, Bang?" "Pagi, Zein!" Pak Indra yang baru turun dari mobil langsung menyapa Bang Zein. "Pagi, Dra! Oh ya, Bang Fatih ada di rumah. Bukankah kalian berteman?" tanya Bang Zein. "Bukannya Fatih punya rumah sendiri?" tanya Pak Indra. Ada nada tak suka dari suaranya saat mendengar nama Bang Fatih. "Iya. Tapi ini juga rumah orang tuanya kan? Wajar lah kalau sesekali pulang." Bang Zein terlihat tak suka dengan jawaban Pak Indra. Ya, aku juga gak suka. Kenapa pria ini seperti sangat tidak nyaman jika ada Bang Fatih ya? "Hm, kamu benar. Ini rumah orang tua yang membesarkannya." "Eh, Indra? Jemput Ica ya? Mari masuk!" Mama datang menyambut. "Terimakasih, Ma." Pak Indra masuk dan duduk di kursi tamu. "Eh, kok di sini? Ayo ke dapur! Sarapan dulu, Mama udah siapin makan. Ada Fatih juga lagi sarapan. Ayo, Ca! Ajakin Indra!" Aku mengangguk. "Iya, ayo, Pak." Pak Indra terlihat enggan. "Tapi saya udah makan, Ca." "Ikut aja, Pak. Makan walau sedikit untuk menghargai Mama." Pak Indra mengangguk. Meski terlihat sedikit ragu. Bang Fatih menoleh. Ia menatapku lalu menatap Pak Indra. Tiba-tiba dia berdiri. "Lho, mau kemana, Fatih?" tanya Mama. Bang Fatih mengambil tissue. "Aku sudah selesai, Ma." Abangku itu beralih menatapku, "Kamu hati-hati kempingnya, jangan sampai ada yang membuatmu kesal apalagi sedih." "Tentu saja, Bang! Aku akan bersenang-senang dengan teman-temanku." Bang Fatih mengacak rambutku. Lalu pergi begitu saja tanpa menyapa Pak Indra yang konon katanya teman SMA itu. Aku jadi penasaran, sebenarnya ada apa dengan mereka berdua ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD