bc

My Office Romance

book_age16+
16.4K
FOLLOW
62.0K
READ
family
HE
friends to lovers
boss
drama
bxg
mystery
brilliant
assistant
like
intro-logo
Blurb

-PROSES REVISI-

Tidak pernah terbayangkan dalam hidup Amanda, bisa menjadi seorang kekasih dari Presiden Direktur di perusahaannya sendiri. Sedangkan ia sendiri hanyalah seorang karyawan biasa yang yang termasuk dalam golongan menengah ke bawah.

Banyaknya penggemar Jeffrey di kantor, membuat ia harus bersusah payah dalam menyembunyikan hubungannya. Lantaran takut mendapat serangan dari mereka yang tergolong sangat fanatik.

Hubungannya dengan Jeffrey tentu saja tidak semulus jalan tol. Banyak sekali kendala yang membuat hubungan mereka berada diambang kehancuran. Apalagi, Amanda memiliki masa lalu yang sangat misterius.

Selain itu, Kakek Jeffrey juga menentang keras hubungan mereka. Karena perbedaan kasta mereka yang sangatlah jauh.

Lantas, mampukah mereka bertahan dan berhasil mengambil hati sang Kakek? Simak saja ceritanya.

chap-preview
Free preview
1. Awal dari kisah
"Aww!" "Ah, maaf! Kamu nggak apa-apa?" Amanda menoleh cepat, menatap pria yang tak sengaja menginjak sandalnya yang kebesaran dari belakang. Salahnya juga, pergi ke tempat umum pakai sandal longgar. Amanda tersenyum tipis dan mengangguk. "I'm okay," ujarnya singkat. Saat ini, Amanda tengah mengantre di kedai makanan viral yang sedang jadi perbincangan semua media sosial. Pengunjung membludak, dan antreannya sepanjang tembok China. Meski tubuhnya sudah lelah, tapi rasa penasaran akan cita rasa makanan yang sedang viral itu membuatnya enggan beranjak. "Huaaa..." Tangisan nyaring seorang balita membuat Amanda menoleh. Di belakangnya, pria itu tampak kewalahan menenangkan anak laki-laki kecil yang terus menangis dalam gendongannya. Entah karena dorongan empati atau apa, Amanda tanpa pikir panjang berkata, "Boleh saya gendong anaknya?" Pria itu terlihat ragu. Matanya menatap Amanda, seolah menimbang-nimbang keputusan besar. Amanda memahami keraguan itu. Ia tersenyum lembut. "Don't worry. Saya bukan penculik anak," ujarnya. Tanpa menunggu jawaban, Amanda mengambil alih si kecil dari pelukan ayahnya. "Cup cup, anak ganteng. Udah ya, jangan nangis lagi," ujarnya sambil mengayun pelan balita itu. Ajaib. Anak itu langsung terdiam. Matanya menatap Amanda dengan polos, lalu senyum kecil mulai menghiasi wajah mungilnya. Amanda terkekeh, lalu mencium kening bocah itu. "Aduh, gemes banget sih kamu! Pipinya kayak mochi, hidungnya mancung, matanya bulat, bibirnya mungil. Aunty pengen gigit kamu deh!" Mendengar celotehan Amanda, si kecil tertawa renyah. Suaranya begitu jernih, membuat Amanda makin terpikat. Melihat interaksi antara anaknya dengan wanita lain, lelaki itu hanya terdiam seraya tersenyum kecil. Banyak sorot mata yang melihat ke arah mereka, mungkin orang-orang berpikir jika mereka adalah keluarga bahagia. Sementara itu, sang ayah hanya menatap mereka sambil tersenyum kecil. Orang-orang di sekitar pun mulai melirik. Orang-orang di sekitar mulai melirik, mungkin mengira mereka adalah pasangan muda dengan satu anak lucu. Pria itu berdehem pelan, menarik perhatian Amanda. "Kamu duduk aja sama anak saya. Biar saya yang antre makanan." Tanpa pikir panjang, Amanda mengangguk. Kakinya benar-benar butuh istirahat. "Mau pesan apa?" tanya pria itu. "Ramen yang lagi viral sama es teh manis," jawab Amanda. "Oke, Tunggu di sana, ya." Amanda lalu mencari tempat duduk kosong. Kedai ini memang ramai luar biasa. Tempatnya instagenic, makanannya viral, dan bahkan menyediakan playground mini. Ia menemukan meja kecil yang cukup untuk dua orang, lalu mendudukkan balita itu di kursi, menghadap ke arahnya. "Dingin ya? Adek nggak bawa jaket?" tanya Amanda sambil membenahi posisi duduk si kecil. Si kecil merespons dengan celoteh yang tak jelas tapi menggemaskan. Amanda tertawa kecil sambil mencubit pipinya. "Gemes banget sih, ya ampun!" Tak lama, pria itu datang membawa nampan berisi minuman. "Ramennya belum?" tanya Amanda. "Belum. Nanti diantar," jawabnya sambil duduk di hadapan Amanda. "Sini, sama Papa." Ia mengulurkan tangan, mencoba mengambil kembali anaknya. Namun si kecil malah menangis keras saat berpindah ke pelukan ayahnya. Amanda buru-buru mengambilnya kembali. "Hey... udah, Sayang. Jangan nangis. Iya, Aunty gendong lagi ya." Anak itu kembali tenang, bahkan tertawa sambil memainkan rambut Amanda. Pria di hadapannya terdiam. Pandangannya menatap Amanda dengan cara yang sulit ditebak. "Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. "Amanda," jawab Amanda, masih menimang si kecil. "Umur?" "24." "Kerja?" Amanda mengangguk tanpa banyak bicara, ia fokus bermain dengan bocah itu. Satu minggu yang lalu, Amanda baru saja direkrut oleh Food World Company, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan. Ia bekerja sebagai Public Relations, dengan tugas utama membangun dan menjaga citra positif perusahaan melalui berbagai kampanye publikasi. Selain itu, Amanda juga bertanggung jawab dalam merancang strategi kampanye, menyusun materi presentasi untuk siaran pers, serta mengatur dan menghadiri berbagai acara seperti promosi produk, konferensi pers, pameran, hingga kunjungan perusahaan. "Kamu suka anak kecil?" tanya pria itu lagi. Amanda hanya mengangguk, ia masih asyik bermain dengan bocah kecil di pangkuannya. Merasa diabaikan, pria itu akhirnya membuka ponselnya dan mulai sibuk sendiri. Tak lama kemudian, pesanan mereka pun datang. "Dua ramen dan dua dimsum, ya, Pak, Bu," ucap pegawai kedai sambil meletakkan makanan di atas meja. "Terima kasih, Mbak," sahut Amanda ramah. "Kamu makan aja. Gavin biar sama saya," ujar pria itu, lalu dengan hati-hati mengambil anak itu dari pelukan Amanda. Untungnya, Gavin tidak menangis saat kembali berada di pangkuan ayahnya. "Oh, namanya Gavin, ya? Saya sampai lupa nanya," kata Amanda sambil tertawa kecil. Ia sempat terdiam, lalu bertanya pelan, "Ngomong-ngomong, ibunya Gavin nggak ikut?" Pria itu tidak langsung menjawab. Ia hanya menggeleng singkat, pandangannya masih tertuju pada layar ponsel. "Emang nggak apa-apa kalau kita makan bareng begini? Takutnya saya malah dikira pelakor," gurau Amanda. "Makan dulu, ramenmu," ucapnya tegas. Amanda cemberut sebentar, lalu segera menyuap ramen yang sudah ditunggu-tunggunya sejak tadi. Sudah lama ia penasaran dengan rasa ramen viral ini. Apalagi setelah melihat banyak influencer ramai-ramai mengulasnya. Malam ini, ia merasa beruntung karena punya waktu luang untuk datang ke tempat yang super ramai ini. Setelah makan selesai, Gavin kembali rewel, menangis sambil merentangkan tangan ke arah Amanda. Tanpa ragu, Amanda langsung menggendongnya lagi. "Gavin kok nggak bawa jaket sih, Nak? Ini dingin banget, loh," ucap Amanda lembut sambil membenahi posisi gendongannya. "Ketinggalan di mobil," jawab pria itu santai. Amanda mengernyit. "Kasihan. Kalau masuk angin gimana?" "Ya tinggal kasih obat," balasnya enteng. Amanda spontan berdecak kesal. Dalam hati, ia menggerutu. Ayah macam apa yang bisa bersikap setenang itu soal kesehatan anaknya? Kalau bukan sedang berada di tempat umum, mungkin pria ini sudah habis dimarahi olehnya. Amanda kemudian melepas cardigan yang ia kenakan, menyisakan dress berlengan sebahu. Kemudian ia melilitkan cardigan itu ke tubuh kecil Gavin, mencoba menghangatkannya dari udara malam yang menusuk. Pria itu menatap Amanda lekat-lekat, dan untuk pertama kalinya, sorot matanya terasa berbeda. Tatapan tajam itu membuat Amanda sedikit tak nyaman. Terlebih saat mata pria itu sempat melirik ke arah bahunya yang kini terekspos. Merasa risih, Amanda buru-buru menutupi bahunya dengan tangan, lalu tersenyum canggung. "Ah, maaf. Saya kasihan sama Gavin, jadi cardigannya saya copot." "No problem. Kamu sendiri nggak kedinginan?" Amanda menggeleng pelan sambil tersenyum. "Nggak kok. Yang penting Gavin nyaman." Pria itu terdiam sejenak, lalu berdehem pelan. Ucapan selanjutnya cukup membuat Amanda terkejut. "Ehm... jadi begini, saya lagi butuh babysitter. Kalau kamu mau, saya akan bayar kamu dua kali lipat dari gaji kamu sekarang." Amanda langsung menggeleng sambil tersenyum sopan. Tak perlu berpikir panjang, ia tahu jawabannya. Pekerjaan yang ia miliki saat ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang tidak mudah. Ia tidak mungkin melepaskan posisi yang sudah lama ia impikan, hanya demi pekerjaan yang meski bergaji besar, tapi tidak sejalan dengan cita-citanya. Meskipun tawaran itu menggiurkan secara finansial, hati Amanda tetap pada pendiriannya. Ia mencintai pekerjaannya, dan itu bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan angka "Maaf. Tapi pekerjaan saya lebih berharga," tolak Amanda tegas. "Memangnya kamu kerja di mana?" "Di perusahaan makanan." "Berapa gajinya?" "Lima juta per bulan." "Saya bayar kamu tiga kali lipat." Amanda kembali menggeleng, senyumnya masih terjaga meski dalam hati mulai kesal. "Empat kali lipat?" pria itu kembali menawar. Amanda menarik napas, lalu menatap pria itu dengan ekspresi yang mulai berubah. "Kenapa memaksa sekali, Pak? Masih banyak babysitter di luar sana yang butuh pekerjaan," ucapnya, kini terdengar jengkel. "Gavin udah nyaman sama kamu." "Maaf, Pak. Saya tetap nggak bisa," balas Amanda, mencoba tetap sopan. Pria itu menatapnya serius. "Bukannya uang itu lebih penting dari pekerjaan? Tinggal lepas aja pekerjaanmu, terus terima tawaran saya." Amanda langsung menoleh, menatapnya dengan pandangan tak suka. Kata-kata pria itu terasa meremehkan perjuangan yang selama ini ia lakukan. Susah payah Amanda menyelesaikan jurnal, proposal, hingga skripsi semasa kuliah demi meraih gelar yang bisa mengantarkannya ke posisi saat ini. Tapi begitu mudahnya, pria asing itu memintanya meninggalkan pekerjaan yang sangat ia cintai. Pria itu lalu mengeluarkan ID card dari saku celananya dan menyerahkannya pada Amanda. Di sana tertera nama Jeffrey Antonio, lengkap dengan nomor telepon, email, dan alamat rumah. Tepat di bawah namanya, tercantum jabatan Presiden Direktur, meski tanpa keterangan nama perusahaan. "Hubungi saya kalau kamu berubah pikiran," ucap Jeffrey sembari mengangkat Gavin yang sudah tertidur di pangkuan Amanda. "Terima kasih atas tawarannya, Pak Jeffrey. Tapi maaf, saya benar-benar tidak bisa," balas Amanda dengan senyum tipis, lalu mengembalikan kartu itu padanya. "Bawa saja. Siapa tahu nanti butuh," ujar Jeffrey datar. Amanda menghela napas berat. Lelah rasanya menghadapi orang sekeras kepala itu. "Saya pulang dulu," pamit Jeffrey, yang hanya dibalas anggukan singkat dari Amanda. Setelah pria itu pergi, Amanda memijat kening yang mendadak terasa nyut-nyutan. Bertemu pria setampan dan segagah Jeffrey memang sempat membuat hatinya bergetar. Ia tak bisa memungkiri bahwa selama duduk bersama tadi, matanya beberapa kali mencuri pandang hanya untuk menikmati wajah pria itu yang nyaris sempurna. Tapi begitu mengingat bahwa Jeffrey sudah memiliki anak, Amanda buru-buru menepis semua rasa yang mulai tumbuh. Ia tidak ingin terjebak perasaan pada pria yang mungkin sudah beristri. Ia menatap ID card yang masih berada di tangannya, lalu memasukkannya ke dalam tas. Sudah saatnya pulang dan beristirahat. Besok pagi ia harus bersiap untuk konferensi pers bersama para petinggi perusahaan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
32.3K
bc

Petaka Semalam di Kamar Adik Ipar

read
7.3K
bc

Terjebak Pemuas Hasrat Om Maven

read
41.9K
bc

Rayuan Sang Casanova

read
4.3K
bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
9.2K
bc

Desahan Sang Biduan

read
43.9K
bc

Benih Cinta Sang CEO 2

read
20.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook