Keesokan harinya, Amanda bersama Panji— rekan kerjanya, mendapat tugas memimpin acara launching produk makanan instan terbaru, yaitu Tteokbokki, hidangan khas dari Negeri Ginseng.
Food World Company memang selalu mengikuti tren kuliner yang sedang populer. Kali ini, mereka menghadirkan Tteokbokki sebagai salah satu menu baru yang ditujukan untuk para pecinta K-Pop dan K-Drama, terutama kalangan anak muda.
"Amanda, sudah siap? Siaran pers dimulai sepuluh menit lagi," ujar seorang wanita paruh baya yang menjabat sebagai manajer pemasaran.
Amanda mengangguk sambil tersenyum. Sudah satu minggu ia bekerja di Food World Company, dan ini adalah kali pertama ia menjalankan tugasnya sebagai Public Relations. Wajar jika jantungnya berdebar kencang. Hari ini akan menjadi pengalaman pertamanya tampil di depan publik secara profesional.
"Deg- degan ya, Nda?" goda Panji, mencuri perhatian Amanda yang tengah merapikan berkas di tangannya.
Amanda tersenyum canggung. "Banget. Aku takut ada yang salah."
"Tenang aja. Ini bukan sidang skripsi," ujar Panji santai, membuat Amanda tertawa kecil.
"Emang setiap launching produk baru selalu ada konferensi persnya, ya?" tanya Amanda kemudian.
"Iya, kamu tahu sendiri kan, Food World itu perusahaan perfeksionis. Setiap kali rilis produk baru, mereka pasti bikin acara kayak gini. Makanya nggak heran kalau semua produknya bisa tembus pasar internasional," jelas Panji.
Tak lama kemudian, jajaran petinggi perusahaan mulai memasuki ruang konferensi dan menempati tempat duduk masing-masing. Amanda dan Panji pun naik ke atas panggung, lalu membungkuk sopan untuk memberi hormat kepada para pimpinan yang hadir.
Acara akan segera dimulai. Kilatan lampu kamera mulai memenuhi ruangan, membuat jantung Amanda berdetak lebih cepat. Menyadari kegelisahan Amanda, Panji menepuk pundaknya pelan, mencoba memberikan ketenangan.
"Presdir belum hadir ya?" tanya sang manajer pemasaran.
"Presdir tidak bisa hadir. Anaknya sedang sakit," sahut seorang pria muda yang merupakan asisten pribadi Presdir.
Amanda dan Panji hanya diam mendengarkan percakapan tersebut. Amanda sedikit kecewa. Ia sebenarnya sangat penasaran dengan sosok Presiden Direktur yang kerap dipuja-puja oleh rekan-rekannya.
Arumi, teman satu divisinya, sering berkata bahwa ketampanan sang Presdir mampu mengalahkan artis-artis Korea. Wajahnya sempurna bak Dewa yunani, dan tubuhnya gagah bak atlet olahraga.
Sayangnya, hari ini Amanda tak bisa membuktikannya sendiri.
***
Konferensi pers berlangsung lancar selama kurang lebih satu jam. Setelah acara selesai, para petinggi perusahaan satu per satu meninggalkan ruangan. Kini, hanya tersisa Amanda, Panji, dan beberapa staf lainnya yang tengah membereskan peralatan.
"Mau makan di luar, Nda?" tawar Panji sambil merapikan map di tangannya.
"Di mana?" tanya Amanda.
"Mie Aceh depan kantor."
Amanda mengangguk pelan. "Boleh. Tapi aku telepon Arumi dulu, ya. Dia juga belum makan."
Setelah selesai menelepon, Amanda dan Panji berjalan beriringan keluar gedung menuju kedai Mie Aceh yang letaknya tak jauh dari kantor. Sementara itu, Arumi masih menunggu temannya yang sedang ke toilet. Mungkin lima menit lagi mereka akan menyusul.
"Nasi goreng apa Mie, Nda?" tanya Panji sambil menatap papan menu.
Kini mereka sudah duduk di kedai yang tampak padat pengunjung, aroma rempah-rempah khas Mie Aceh memenuhi udara.
"Mie aja," jawab Amanda.
"Pedas?"
"Enggak. Aku punya maag."
"Yaudah. Kamu duduk aja, biar aku yang pesen."
Tak lama kemudian, Arumi datang bersama dua temannya dan langsung menghampiri Amanda yang tengah duduk sendirian sambil bermain ponsel.
"Halo, Bro!" sapa pria bernama Reyhan sambil menepuk meja cukup keras, membuat Amanda tersentak kaget.
"Astaga!" desis Amanda sambil memegang dadanya.
"Kebiasaan banget bikin orang kaget," omel Arumi sambil memukul lengan Reyhan dengan kesal. Reyhan hanya nyengir dan mengangkat dua jari membentuk tanda peace.
"Udah pesan?" tanya Amanda sambil menatap mereka satu per satu.
"Udah, tadi Panji yang pesenin," jawab Arumi.
Lima belas menit kemudian, makanan mereka akhirnya datang. Suasana pun jadi lebih santai. Tawa dan obrolan ringan mengiringi waktu makan siang mereka. Namun, di tengah kebersamaan itu, Amanda mendadak mendapat telepon dari ibu tirinya.
Wajah Amanda langsung berubah tegang saat mendengar kabar dari seberang sana. "Guys, aku harus ke rumah sakit sekarang. Ayahku kecelakaan," ucap Amanda tergesa.
"Ya Tuhan! Hati-hati ya Nda," ucap Arumi cemas.
"Mau aku anterin?" tawar Panji dengan sigap.
Amanda menggeleng. "Nggak usah, aku naik ojek aja. Biar cepat."
Tanpa membuang waktu, Amanda berlari keluar dari kedai untuk mencari ojek online. Pikirannya kacau, bayangan tentang kondisi ayahnya membuatnya gelisah. Walaupun jarang bertemu, Amanda tetap menyayangi ayahnya.
Ayah dan ibunya telah bercerai sejak Amanda berusia sepuluh tahun. Ia memilih tinggal bersama kakek dan neneknya yang selalu memberinya kehangatan. Namun setelah mereka meninggal, Amanda menjalani hidup sendiri.
Sesampainya di rumah sakit, Amanda segera berlari menuju ruangan tempat ayahnya dirawat. Di depan pintu, ia melihat ibu tirinya duduk di kursi dengan tangan terlipat di d**a, wajahnya tampak kesal dan tak ramah.
Begitu melihat kehadiran Amanda, wanita itu langsung berdiri dan menatapnya tajam.
“Gimana keadaan Ayah, Tante?” tanya Amanda. Ia memang tak pernah memanggil wanita itu dengan sebutan "Ibu". Luka lama yang ditorehkan perselingkuhan ayahnya bersama wanita itu masih membekas jelas di hatinya.
“Urus sendiri tuh ayah kamu! Nyusahin aja,” ketus wanita itu, membuat Amanda mengerutkan kening bingung.
“Maksud Tante?”
"Ayah kamu jatuh karena kecerobohannya sendiri. Coba aja kalau dia nggak buru-buru turun tangga, pasti nggak bakal kayak gini. Biaya rumah sakit mahal, belum lagi capeknya saya harus jagain dia setiap hari. Untung saya masih punya hati, kalau nggak? Udah saya tinggalin dari tadi!”
Amanda menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. Ini bukan tempat untuk berdebat, dan ia tidak mau mempermalukan dirinya sendiri dengan bertengkar di ruang publik. Ia tahu kapan harus bicara, dan kapan harus diam.
“Tante, yang namanya musibah itu nggak bisa diprediksi. Kalau takdir bisa dipilih, Ayah juga pasti nggak mau jatuh dari tangga,” balas Amanda dengan lembut. Ia masih berusaha bersabar, meski hatinya mulai mendidih.
“Halah! Pokoknya saya nggak mau tahu. Urus sendiri tuh ayah kamu! Sekalian bayar semua biaya rumah sakitnya!” bentak wanita itu tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Cukup. Kesabaran Amanda sudah mencapai batasnya. Ia tak bisa lagi diam menghadapi kata-kata tajam dari wanita yang telah menghancurkan keluarganya.
"Kenapa harus saya? Selama ini yang durus dan biayai Aya kan Tante dan anak Tante. Tapi sekarang, begitu Ayah sakit, tiba-tiba tanggung jawabnya dilimpahkan ke saya? Nggak adil, dong?" protes Amanda.
"Selama ini saya hidup tanpa nafkah dan tanpa kasih sayang dari orang tua, kalau Tante lupa," lanjutnya, sambil menatap tajam wanita di depannya.
Wanita itu terdiam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya, karena semua yang dikatakan Amanda adalah kebenaran yang sulit terbantahkan.
Beberapa detik kemudian, ia berbalik dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan satu kata pun.
Masa bodoh. Amanda tak peduli. Berlama-lama dengan wanita gila itu hanya akan membuatnya semakin emosi.
Amanda mengintip ke dalam ruangan melalui jendela kecil di pintu. Di balik kaca itu, ia melihat sosok ayahnya yang kini terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya tampak pucat, tubuhnya tampak ringkih, jauh berbeda dari sosok yang dulu ia kenal.
Perasaan kasihan perlahan merayap di hati Amanda. Namun di balik itu, luka-luka lama kembali menguak. Kenangan akan kejahatan, pengkhianatan dan pengabaian begitu jelas di benaknya
Karena tidak mau mengganggu Ayahnya yang masih tertidur pulas, Amanda memilih untuk menenangkan diri di kantin.
Saat sedang melamun sambil menyeruput segelas es teh, tiba-tiba Amanda dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil namanya.
"Amanda?"
Ia menoleh cepat. Matanya membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok pria yang tak asing berdiri beberapa langkah di depannya.
"Pak Jeffrey?" gumam Amanda, masih dengan ekspresi terkejut yang belum juga surut.