Hati Amanda kembali berdebar, saat Jeffrey mendekati dirinya dan duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa ada di sini?" tanya Jeffrey.
Amanda berusaha menetralkan jantungnya yang berdegub kencang. Berdekatan dengan Jeffrey, membuat jantungnya benar-benar tidak sehat.
"Ayahku di rawat di sini," jawab Amanda.
"Bapak sendiri, kenapa ada di sini?" tanya Amanda, membuat Jeffrey langsung menatapnya tak suka.
"Kenapa?" tanya Amanda bingung.
"Saya bukan Bapak kamu, Amanda!" tekan Jeffrey.
"Terus? Saya harus manggil Om gitu?"
Jeffrey mengusap wajahnya kasar. Seumur hidupnya, baru kali ini ada yang memanggilnya dengan sebutan "Om". Bukannya tidak suka, tetapi dia merasa belum pantas untuk dipanggil "Om".
"Panggil Jeffrey aja."
Amanda Menggeleng, "Nggak sopan," tolaknya.
"Yaudah. Panggil Mas aja," ucap Jeffrey, membuat mata Amanda langsung melotot lebar.
"Nanti dimarahin istri Bapak."
"Saya nggak punya istri."
Amanda kembali melotot kaget. Bagaimana bisa? Punya anak tapi tidak punya istri?
"Terus Gavin?" tanya Amanda bingung.
"Anak saya," jawabnya enteng.
"Anak angkat?"
"Kandung."
Otak Amanda berputar sebentar. Mencerna perkataan Jeffrey yang sedikit membingungkan dirinya. Lantas, apakah Jeffrey bercerai dengan istrinya? Dan hak asuh Gavin jatuh padanya?
"Istri saya meninggal, waktu melahirkan Gavin," ucap Jeffrey, seakan mengerti apa yang dipikirkan Amanda.
Amanda kembali terkejut saat mendengar penuturan Jeffrey. Wanita itu melotot kaget, sembari menutup mulutnya yang menganga lebar.
"Turut berduka cita ya Pak," lirih Amanda.
Jeffrey tersenyum kecut. Kepalanya menengadah ke atas, mengingat kejadian memilukan satu tahun yang lalu.
"Istri saya itu keras kepala. Dokter menyarankan untuk operasi sesar, tapi dia menolak. Dia pengen melahirkan Gavin secara normal, karena takut melihat pisau operasi katanya. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu, sampai dia nekat lahiran normal."
"Kenapa nggak dibius aja?" tanya Amanda.
Jeffrey menggeleng, "Waktu itu ada satu Dokter yang bilang, kalau istri saya masih bisa lahiran secara normal, tapi mungkin akan koma beberapa hari. Tapi nyatanya? Istri saya pendarahan hebat, dan malamnya langsung meninggal."
Mata Jeffrey berkaca-kaca, kejadian tragis satu tahun yang lalu benar-benar membekas di hati dan pikirannya. Jeffrey masih mengingat dengan jelas, tubuh istrinya yang tergeletak di ranjang tanpa nyawa. Tangisan orang tuanya, jeritan orang tua istrinya, benar-benar memberi luka dan trauma yang mendalam bagi seorang Jeffrey Antonio.
Amanda mengulurkan tangannya untuk mengusap pundak Jeffrey. Ia sangat paham dengan perasaan lelaki itu saat ini. Siapa yang tidak sedih, jika ditinggal orang yang ia sayangi secara mendadak? Apalagi mereka baru saja menikah, dan buah hati mereka baru saja hadir di dunia.
"Dia belom sempat lihat Gavin, belom sempat gendong Gavin, belom sempat menyusui Gavin. Tapi Tuhan udah mengambilnya lebih dulu. Emang sih, hari kematian itu nggak ada di kalender. Tapi itu terlalu mendadak buat saya dan Gavin."
Amanda menegang. Tubuhnya mendadak kaku, ketika mendengar ucapan Jeffrey. Usapan tangannya dipundak Jeffrey juga terlepas. Membuat Jeffrey menatapnya bertanya-tanya.
"Kenapa?" tanya Jeffrey bingung, saat melihat wajah tegang Amanda.
Amanda gelagapan, kemudian menjawab, "Ah, enggak. Saya cuma sedih aja, denger cerita Bapak."
Jeffrey tersenyum pilu, tangannya mengusap air mata yang berhasil lolos setelah ia tahan. "Maaf ya, saya jadi cerita banyak. Padahal sebelumnya, saya nggak pernah sama sekali mengungkit kejadian itu, semenjak istri saya meninggal," ucap Jeffrey, membuat Amanda langsung tersenyum manis.
"No problem. Mulai sekarang, Bapak bisa cerita sepuasnya ke saya. Anggep aja, kita udah berteman lama. Okay..." ujar Amanda
Jeffrey kembali mendengus, "Berapa kali saya harus ngomong? Jangan panggil saya Bapak," ucapnya kesal, membuat Amanda terkekeh geli.
"Okay Om Jeffrey," ledek Amanda, membuat Jeffrey semakin kesal.
"Saya masih 27 tahun loh, Nda!"
"27 tahun itu udah pantes dipanggil Om-om," balas Amanda.
"Terserah kamu lah," kesal Jeffrey yang pada akhirnya mengalah. Ia malas berdebat dengan wanita, karena ujung-ujungnya ia pasti akan kalah. Ya, seperti slogan pada umumnya yang mengatakan bahwa wanita selalu benar.
"Oh iya, Om Jeff kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" tanya Amanda.
"Gavin," jawab Jeffrey, membuat Amanda kembali terkejut.
"Kenapa nggak ngomong dari tadi!" geram Amanda, seraya memukul lengan Jeffrey keras.
"Aww," ringis Jeffrey.
"Ayo. Anterin saya ke kamar Gavin!"
***
Amanda membuka pintu kamar inap Gavin secara perlahan. Di dalam sana, ada dua wanita paruh baya yang berusaha menenangkan Gavin yang sedang menangis.
Mendengar suara tangisan anaknya, Jeffrey langsung menyerobot masuk mendahului Amanda.
"Anak Papa kenapa nangis?" tanya Jeffrey, seraya mengambil alih Gavin dari gendongan ibunya.
"Muntah Pak, pas disuapin makan." Sahut wanita paruh baya yang berstatus sebagai ART di rumah Jeffrey.
Jeffrey mengelus punggung Gavin. Balita itu masih menangis tersedu-sedu, membuat Jeffrey tidak tega melihatnya. Apalagi pipi dan matanya sudah memerah.
"Eh, lihat! Siapa yang datang," ucap Jeffrey seraya menunjuk Amanda yang masih berdiri di depan pintu.
Kedua wanita itu langsung melihat ke arah Amanda. Saking sibuknya, mereka sampai tidak menyadari kehadiran Amanda.
"Eh, ada cewe. Sini Neng duduk," ucap Ibu Jeffrey dengan ramah.
Amanda tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Wanitu itu lantas berjalan mendekati Ibu Jeffrey untuk bersalaman.
"Pacarnya Jeff ya?" tanya Ibu Jeffrey, membuat Amanda langsung melotot kaget.
"Bukan, Ma. Itu teman Jeff," sahut Jeffrey.
"Teman dekat apa teman hidup?" goda sang Ibu, membuat Amanda hanya bisa tertawa canggung.
"Teman biasa Ma," bantah Jeffrey yang terlihat mulai kesal, membuat sang Ibu hanya tertawa saja.
Menyadari keberadaan Amanda, Gavin yang semula menangis, kini langsung terdiam. Balita itu langsung mengulurkan tangannya, meminta untuk digendong Amanda. Dengan senang hati, Amanda langsung menggendong balita itu, lalu menciumi pipi gemasnya.
Melihat itu, tentu saja Ibu Jeffrey terheran-heran. Baru kali ini, ia melihat cucunya luluh ditangan orang lain. Biasanya, Gavin selalu rewel jika dipegang atau digendong orang lain. Itu juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa Gavin belum memiliki pengasuh sampai saat ini.
Amanda membawa Gavin ke depan jendela kamar untuk melihat pemandangan di luar. Kemudian ia menimang balita itu, sembari menyanyikan lagu pengantar tidur.
"Kamu ketemu dia di mana, Jeff?" tanya sang Ibu.
"Di tempat makan," jawab Jeffrey.
"Udah kenal berapa lama? Kok dia bisa dekat sama Gavin?"
"Baru tadi malem," jawabnya, membuat sang Ibu langsung menatapnya kaget.
"Kok bisa langsung deket?" tanya sang Ibu heran.
Jeffrey mengendikkan bahunya. Kemudian menjawab, "Jeffrey juga heran."
Setelah berhasil menidurkan Gavin, Amanda membaringkan balita itu di kasurnya. Kemudian ia ikut bergabung bersama Ibu Jeffrey di sofa.
"Kamu udah makan?" tanya Ibu Jeffrey.
"Udah Tante," jawab Amanda, sembari tersenyum ramah.
"Nama kamu siapa?" tanya Ibu Jeffrey.
"Amanda," jawab Amanda seraya mengulurkan tangannya.
Ibu Jeffrey membalas uluran tangan Amanda seraya tersenyum manis. "Saya Saskia. Panggil aja Tante Kia," ucapnya.
Saat ini Amanda tahu, mengapa wajah Jeffrey begitu sempurna layaknya pangeran dongeng. Ibunya saja masih terlihat sangat cantik, diusianya yang tak lagi muda. Amanda jadi penasaran, seperti apa rupa Ayah Jeffrey. Sampai orang setampan Jeffrey bisa ada di dunia.
***
Sudah tiga hari lamanya, Ayah Amanda dirawat di rumah sakit. Setelah mendapat izin selama satu hari, Amanda kembali menjalankan rutinitasnya sebagai karyawan di Food World Company. Tadi pagi sebelum berangkat, Amanda sempat merawat Ayahnya. Menyuapinya makan dan mengantarkan ke kamar mandi. Sempat ada kecanggungan diantara keduanya, namun Amanda bisa mengatasi itu semua dengan terus mengajak Ayahnya berbicara.
Sesampainya di kantor, Amanda melangkahkan kakinya menuju toilet umum. Namun saat ia akan masuk ke toilet wanita, Amanda tidak sengaja berpapasan dengan seorang lelaki yang tak asing baginya. Lelaki itu masuk ke toilet pria yang letaknya disamping toilet wanita.
Karena sangat penasaran, Amanda memilih untuk menahan air kencingnya. Wanita itu lantas berdiri di depan toilet wanita, menunggu lelaki itu keluar dari toilet pria. Beruntungnya, posisi toilet saat ini sedang sepi.
Lima menit kemudian. Lelaki itu keluar dari toilet dengan kepala yang tertunduk melihat jam. Tanpa basa-basi, Amanda langsung mendekati lelaki itu, membuat keduanya langsung berteriak kaget saat menyadari siapa orang yang berada di depan mereka masing-masing.
"Astaga! Om Jeff kenapa ada di sini?" tanya Amanda, seraya mengusap dadanya yang masih berdegub kencang.
"Kamu ini, bikin kaget aja!" geram Jeffrey.
"Om Jeff kenapa ada di sini?" tanya Amanda lagi.
Jeffrey mengerutkan keningnya. Kemudian menjawab, "Ini kantor saya. Wajar dong, kalau saya ada di sini," balasnya, membuat mulut Amanda langsung terbuka lebar.
"A-apa? Om Jeff kerja di sini?" tanya Amanda gugup.
Jeffrey mengangguk. Menatap aneh wajah Amanda yang terlihat sedang bingung sendiri. Setelah beberapa saat otaknya mencerna, Jeffrey berhasil mengingat ucapan Amanda tiga hari yang lalu, yang mengatakan bahwa wanita itu bekerja di salah satu perusahaan ternama daerah Jakarta.
"Kamu kerja di sini juga?" tanya Jeffrey dengan wajah kagetnya.
Jeffrey sendiri juga tidak menyangka, bisa bertemu Amanda di sini. Tadi saat masih berada di perjalanan, ia memang sudah ingin buang air kecil. Karena sudah tidak bisa menahannya lagi, terpaksa ia harus berlari ke toilet umum.
Amanda mengangguk. "Dunia sempit sekali ya," gumamnya.
"Om kerja di departemen apa?" tanya Amanda.
"Saya nggak tau, Presiden Direktur itu masuk departemen apa," jawab Jeffrey enteng.
Sontak saja, Amanda langsung menutup mulutnya dengan mata yang melotot kaget. Suatu kejadian yang benar- benar di luar dugaan. Jeffrey, seorang duda yang ia temui beberapa hari yang lalu, ternyata seorang Presiden direktur di perusahaan yang menaunginya. Amanda tidak menyangka, seseorang yang selalu disanjung-sanjung oleh teman-temannya adalah Jeffrey Antonio. Lelaki yang sempat mencuri perhatiannya akhir- akhir ini.
Amanda tidak tahu, apakah ini sebuah berkah atau musibah untuknya. Karena jika teman-temannya tahu, bahwa Amanda dekat dengan lelaki ini. Kemungkinan besar, Amanda akan berakhir babak belur. Karena Arumi dan Sari adalah penggemar berat Jeffrey.
"Om, saya mohon. Jangan sampai orang-orang tau ya, kalau kita saling kenal," pinta Amanda dengan wajah memelas. Tetapi malah dibalas Jeffrey dengan senyuman miring.