3. Pertemuan tak terduga di kantor

1183 Words
Hati Amanda kembali berdebar saat Jeffrey mendekatinya dan duduk di sebelahnya. "Kamu kenapa ada di sini?" tanya Jeffrey. Amanda berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Duduk sedekat ini dengan Jeffrey benar-benar membuat jantungnya tidak sehat. "Ayahku di rawat di sini," jawab Amanda. "Bapak sendiri kenapa ada di sini?" lanjut Amanda, membuat Jeffrey menatapnya tak suka. "Kenapa?" tanya Amanda bingung. "Saya bukan bapakmu, Amanda," tegas Jeffrey. "Terus? Saya harus panggil Om?" sahut Amanda spontan. Jeffrey mengusap wajahnya. Seumur hidup, baru kali ini ada yang memanggilnya "Om". Bukan karena tidak suka, tapi karena merasa belum sepantas itu untuk dipanggil Om. "Panggil Jeffrey aja." Amanda menggeleng. "Nggak sopan." "Ya udah, panggil Mas." Amanda terbelalak. "Nanti dimarahi istri Bapak." "Saya nggak punya istri." Amanda kaget. Bagaimana mungkin? Punya anak tapi tidak punya istri? "Terus Gavin?" tanyanya bingung. "Anak saya." "Anak angkat?" "Anak kandung." Amanda terdiam sejenak, mencoba mencerna. Mungkinkah Jeffrey duda? Atau bercerai dan mendapatkan hak asuh? "Istri saya meninggal waktu melahirkan Gavin," ucap Jeffrey pelan, seakan mengerti apa yang dipikirkan Amanda. Amanda membelalak kaget, menutup mulutnya yang menganga. "Turut berduka cita, Pak," ucapnya lirih. Jeffrey tersenyum pahit. Ia menatap langit-langit kantin, mengenang kejadian setahun lalu. "Istri saya keras kepala. Dokter menyarankan operasi caesar, tapi dia bersikeras ingin melahirkan normal karena takut operasi." "Kenapa nggak dibius aja?" tanya Amanda. "Ada dokter yang bilang masih bisa normal. Katanya kalaupun koma, hanya beberapa hari. Tapi nyatanya? Istri saya pendarahan hebat, dan malamnya langsung meninggal." Mata Jeffrey berkaca-kaca. Kenangan itu masih membekas. Ia masih ingat jelas tubuh istrinya yang terbujur kaku. Tangis keluarga mereka, jerit kehilangan, semua masih segar di benaknya. Amanda menyentuh pundak Jeffrey pelan, mencoba menguatkannya. "Dia belum sempat lihat Gavin, belum sempat menggendong atau menyusui. Tapi Tuhan sudah lebih dulu memanggilnya. Saya tahu, kematian nggak ada di kalender. Tapi itu terlalu mendadak," lirih Jeffrey. Mendengar ucapan Jeffrey, Amanda tiba-tiba menegang. Usapan tangannya dipundak Jeffrey pun terlepas. Membuat Jeffrey menatapnya heran. "Kenapa?" tanya Jeffrey bingung, saat melihat wajah tegang Amanda. "Ah, enggak. Saya cuma sedih dengar cerita Bapak." "Maaf ya, jadi cerita banyak. Padahal sejak istri saya meninggal, saya nggak pernah cerita ke siapa pun." Amanda tersenyum lembut. "Nggak apa-apa. Mulai sekarang, Bapak bisa cerita ke saya. Anggap aja kita teman lama." Jeffrey menghela napas. "Berapa kali saya bilang, jangan panggil saya Bapak." "Oke, Om Jeffrey," ledek Amanda. "Saya masih dua puluh tujuh tahun!" "Pas banget dipanggil Om," sahut Amanda santai. Jeffrey menyerah. Berdebat dengan wanita, ujungnya pasti kalah. Om kenapa ada di sini? Siapa yang sakit?" "Gavin," jawab Jeffrey. "Kenapa nggak bilang dari tadi!" geram Amanda, sambil memukul lengan Jeffrey. "Aww," ringis Jeffrey. "Ayo. Anterin saya ke kamar Gavin!" *** Amanda membuka pintu kamar rawat Gavin perlahan. Di dalamnya, terlihat dua wanita paruh baya sedang menenangkan Gavin yang menangis. Begitu mendengar suara tangisan, Jeffrey segera masuk dan menggendong anaknya. "Anak Papa kenapa nangis?" tanya Jeffrey, seraya mengambil alih Gavin dari gendongan ibunya. "Muntah, Pak, pas disuapin makan," sahut salah satu ART di rumah Jeffrey. Jeffrey menenangkan Gavin, lalu menunjuk Amanda. "Lihat, siapa yang datang." Kedua wanita itu baru sadar akan kehadiran Amanda. "Eh, ada cewek cantik. Sini, Neng. Duduk," ucap ibu Jeffrey ramah. Amanda tersenyum dan menyalami sang Ibu. "Pacarnya Jeff, ya?" goda sang Ibu. "Bukan, Ma. Itu teman Jeff," sahut Jeffrey. "Teman dekat apa teman hidup?" goda sang Ibu, membuat Amanda hanya bisa tertawa canggung. "Teman biasa Ma," bantah Jeffrey yang terlihat mulai kesal, membuat sang Ibu hanya tertawa saja. Gavin yang melihat Amanda langsung merentangkan tangan, minta untuk digendong. Dan Amanda dengan senang hati langsung menggendongnya. Melihat itu, tentu saja Ibu Jeffrey terheran-heran. Baru kali ini, ia melihat cucunya luluh ditangan orang lain. Biasanya, Gavin selalu rewel jika dipegang atau digendong orang lain. Itu juga yang menjadi salah satu alasan, mengapa Gavin belum memiliki pengasuh sampai saat ini. Amanda membawa Gavin ke depan jendela kamar untuk melihat pemandangan di luar. Kemudian ia menimang bocah itu, sambil menyanyikan lagu pengantar tidur. "Kamu ketemu dia di mana, Jeff?" tanya sang Ibu. "Di tempat makan," jawab Jeffrey. "Udah kenal berapa lama? Kok dia bisa dekat sama Gavin?" "Baru tadi malam," jawabnya, membuat sang Ibu langsung menatapnya kaget. "Kok bisa langsung dekat?" tanya sang Ibu heran. Jeffrey mengendikkan bahunya. Kemudian menjawab, "Aku juga heran." Setelah berhasil menidurkan Gavin, Amanda membaringkan bocah itu di kasurnya. Kemudian ia ikut bergabung bersama Ibu Jeffrey di sofa. "Kamu udah makan?" tanya Ibu Jeffrey. "Udah Tante," jawab Amanda, sambil tersenyum lembut. "Nama kamu siapa?" tanya Ibu Jeffrey. "Amanda," jawab Amanda sambil mengulurkan tangannya. Ibu Jeffrey membalas uluran tangan Amanda sambil tersenyum manis. "Saya Saskia. Panggil aja Tante Kia," ucapnya. Saat ini Amanda mengerti mengapa wajah Jeffrey begitu sempurna, layaknya pangeran dalam dongeng. Ibunya saja masih tampak sangat cantik meski usianya tak lagi muda. Amanda jadi penasaran, seperti apa rupa ayah Jeffrey, hingga bisa mewarisi gen setampan ini pada Jeffrey. *** Tiga hari kemudian... Sudah tiga hari Ayah Amanda dirawat di rumah sakit. Setelah mendapat izin satu hari dari kantor, Amanda kembali menjalankan rutinitasnya sebagai karyawan di Food World Company. Pagi tadi, sebelum berangkat kerja, ia sempat merawat sang Ayah, menyuapinya makan dan membantu ke kamar mandi. Sempat terasa canggung di antara mereka, namun Amanda berusaha mencairkan suasana dengan terus mengajaknya berbicara. Sesampainya di kantor, Amanda segera menuju ke toilet umum. Namun saat hendak masuk ke toilet wanita, ia tidak sengaja berpapasan dengan seorang pria yang tampak familiar. Pria itu masuk ke toilet pria yang berada tepat di sebelahnya. Karena merasa penasaran, Amanda memutuskan menahan keinginannya buang air kecil. Ia berdiri di depan pintu toilet wanita, menunggu pria tadi keluar. Untungnya, area toilet saat itu sedang sepi. Lima menit berlalu. Pria itu akhirnya keluar sambil menunduk, memeriksa jam tangannya. Tanpa pikir panjang, Amanda langsung mendekatinya, dan keduanya sontak terkejut saat saling menyadari kehadiran satu sama lain. "Astaga! Om Jeff? Kenapa ada di sini?" seru Amanda sambil memegangi dadanya yang masih berdebar. "Kamu ini! Bikin kaget aja!" sahut Jeffrey, terlihat kesal. Amanda menatapnya tak percaya. "Om Jeff kerja di sini?" Jeffrey mengernyit, lalu menjawab santai, "Ini kantor saya. Wajar dong kalau saya ada di sini." Mata Amanda membulat. Mulutnya terbuka lebar. "Apa? Ini kantor Om?" Jeffrey mengangguk sambil menatap heran wajah Amanda yang kini penuh kebingungan. Setelah beberapa detik berpikir, ia pun akhirnya menyadari sesuatu. "Kamu juga kerja di sini?" tanyanya tak kalah terkejut. Amanda mengangguk pelan. "Dunia sempit banget ya..." gumamnya. "Om kerja di bagian apa?" tanya Amanda polos. Jeffrey menatapnya dengan senyum miring. "Saya nggak tahu, Presiden Direktur itu masuk departemen apa." Mendengar itu, Amanda langsung menutup mulutnya dengan tangan. Matanya membelalak. Ia benar-benar syok. Jeffrey, duda yang ia temui beberapa hari lalu, ternyata adalah Presiden Direktur dari perusahaan tempatnya bekerja. Pria yang selama ini disanjung-sanjung oleh Arumi dan Sari, dua sahabatnya, adalah Jeffrey Antonio, lelaki yang secara tak terduga mulai mencuri perhatiannya. Amanda tidak yakin, apakah ini sebuah keberuntungan… atau justru malapetaka. Jika Arumi dan Sari tahu bahwa ia mengenal sosok idola mereka secara pribadi, bukan tidak mungkin Amanda akan jadi sasaran amukan. "Om, tolong banget. Jangan bilang siapa-siapa ya, kalau kita saling kenal," pinta Amanda dengan wajah memelas. Namun bukannya menjawab, Jeffrey justru menatapnya sambil tersenyum miring, seolah menikmati situasi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD