4. PDKT

1610 Words
Amanda memasuki ruangan kerjanya sembari memijat keningnya yang sedikit pusing. Pertemuannya dengan Jeffrey baru saja membuat beban pikiran Amanda semakin bertambah. Jeffrey berjanji akan menutupi kedekatan mereka berdua, asal Amanda mau menjadi Babysitter Gavin setiap hari sabtu dan minggu. Mau tidak mau, Amanda harus menuruti keinginan Jeffrey. Karena jika tidak, Jeffrey tidak segan untuk menyebarkan kedekatan mereka berdua. Dan itu akan berdampak buruk bagi Amanda, karena para penggemar Jeffrey pasti akan menyerangnya. "Kenapa, Nda?" tanya Sari, saat melihat wajah lesu Amanda. "Nggak papa." Amanda menggeleng sambil tersenyum. Ia lantas duduk di kursinya, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. "Gimana keadaan Ayah kamu, Nda?" tanya Panji. "Belum membaik. Mungkin satu minggu lagi baru bisa pulang," jawab Amanda. "Apanya yang luka, Nda?" sahut Sari. "Patah tulang dipunggung belakang, sama luka kecil dikepala." "Ya ampun! Semoga cepat sembuh ya, Nda. Kita sebenarnya pengen jenguk ke sana, tapi kerjaan masih banyak," ujar Sari. "Nggak usah, Mbak. Di doain aja biar cepet sembuh," balas Amanda seraya tersenyum manis. "Nanti kamu ke sana lagi, kalau udah pulang kerja?" tanya Panji, yang hanya diangguki oleh Amanda. "Salam ya, buat Ayah sama Ibu kamu," ujar Sari. "Ibu yang mana nih? Ibu kandung apa Ibu tiri?" tanya Amanda seraya tertawa kecil. Namun membuat Panji dan Sari sedikit terkejut. "Oh, maaf. Udah cerai ya?" tanya Sari dengan hati-hati, takut melukai perasaan Amanda. Namun Amanda malah tertawa, melihat ekspresi canggung Sari dan Panji. "Tenang aja, Mbak. Aku nggak bakal tersinggung. Mereka udah cerai sejak aku masih SD," balas Amanda. "Terus, kamu ikut Ayah atau Ibu kamu?" tanya Panji. "Nggak ikut dua- duanya," jawab Amanda santai, seakan tidak ada beban diwajahnya. "Hah? Terus tinggal sama siapa?" tanya Sari yang kembali terkejut. "Sendiri dong. Kan wanita mandiri," balas Amanda, sembari menunjukkan wajah songongnya yang berhasil membuat Panji dan Sari tertawa. Jarang sekali, mereka melihat Amanda bersikap tengil seperti ini, karena selama ini Amanda selalu bersikap kalem dan anggun di depan mereka. "Ya ampun. Semoga kamu bahagia terus ya Nda," ucap Sari, seraya tersenyum penuh haru. "Pasti dong. Nggak ada alasan buat nggak bahagia," balas Amanda, seraya mengacungkan jempolnya dan tersenyum lebar. Berbeda dengan wajahnya yang terlihat ceria. Hati Amanda justru berdenyut nyeri, setelah berkata seperti itu. Luka itu kembali menghantui Amanda, seakan menghalanginya untuk hidup bahagia. "By the way, Arumi sama Reyhan kemana?" tanya Amanda. "Ada tugas di lapangan," sahut Panji, yang hanya diangguki oleh Amanda. *** Setelah berkutat dengan pekerjaan selama satu jam, Amanda akhirnya bisa bernapas lega. Menjadi seorang karyawan di perusahaan besar memang tidaklah mudah, banyak sekali tugas berat dan tanggung jawab yang harus diemban. Namun Amanda tidak menjadikan itu sebagai beban, ia jalani semuanya dengan hati ikhlas dan bahagia. Sebelum pulang ke rumah, Amanda mampir ke dapur kantor untuk membuat kopi. Matanya sudah lelah sekali dan ingin segera tidur. Jika tidak meminum kopi, bisa- bisa Amanda tertidur di kendaraan umum. "Sore Mbak." Amanda menyapa seorang wanita yang bekerja sebagai Kitchen staff. "Sore," balas wanita itu dengan ramah. Amanda mengambil gelas dan langsung menyeduh kopinya. Kemudian wanita itu duduk kursi, menikmati kopi panasnya sambil asik bermain handphone. "Amanda..." panggil wanita itu yang bernama Ola. "Iya Mbak?" Amanda memutar kepalanya, menghadap Ola yang sedang berdiri di depan toilet. "Saya lagi mules. Boleh minta tolong nggak?" Ola meringis sambil memegang perutnya, menahan sesuatu yang ingin segera keluar. Sontak saja Amanda langsung mengangguk. "Boleh," jawabnya. "Tolong anterin minuman Presdir ke ruangannya," ujar Ola, membuat Amanda sedikit terkejut. "Pokoknya kamu cari aja, ruangan yang paling gede di lantai sepuluh. Depannya ada taman kecil sama air mancur," ujarnya lagi. Belum sempat Amanda membalas ucapannya, Ola langsung masuk ke dalam toilet. Amanda berdecak kesal, niat hati ingin segera pulang agar tidak bertemu Jeffrey, tapi malah berakhir seperti ini. Ingin menolak, tapi tidak tega dengan Ola. Tak ingin berlama-lama lagi, Amanda segera membawa minuman tersebut ke ruangan Jeffrey. Setelah sampai di depan ruangan Jeffrey, Amanda lantas memencet belnya. Sambil menunggu respon dari Jeffrey, mata Amanda melihat sekeliling ruangan Jeffrey yang terlihat sangat indah dan menyejukkan mata. Tepat di depan ruangannya, terdapat taman kecil yang dihiasi dengan air mancur dan kolam ikan. Amanda berpikir, jika lantai 10 ini hanya diisi orang-orang penting di perusahaan. Karena terlihat sangat hening dan sunyi. Hanya ada beberapa ruangan saja di lantai itu, dan yang paling besar adalah ruangan Jeffrey. Setelah tiga kali memencet bel, akhirnya pintu ruangan terbuka. Keluarlah seorang lelaki dengan membawa setumpuk berkas. "Mau nganterin minuman Presdir ya?" tanya lelaki itu, yang langsung diangguki oleh Amanda. "Masuk aja. Presdir masih di kamar mandi," ujar lelaki itu. "Nggak papa?" tanya Amanda ragu. Pasalnya, baru pertama kali ini ia memasuki ruangan atasannya. "Nggak papa. Taruh aja di meja," jawab lelaki itu. "Saya permisi dulu ya," lanjutnya. Kemudian langsung berlalu pergi meninggalkan Amanda yang masih berdiri di depan pintu. Dengan sedikit ragu, Amanda membuka pintu ruangan tersebut. Di dalam, sudah ada Jeffrey yang duduk santai di kursinya sembari bermain handphone. Amanda menutup pintunya kembali, kemudian berjalan mendekati Jeffrey yang masih serius dengan ponselnya. Amanda meletakkan minumannya di meja Jeffrey, membuat Jeffrey langsung menatapnya terkejut. "Kok nggak mencet bel dulu?" tanya Jeffrey kaget. Amanda memutarkan bola matanya malas. Apakah lelaki di depannya ini tuli? Berapa kali ia harus memencet bel? "Apakah memencet bel tiga kali itu tidak cukup?" tanya Amanda ketus. Jeffrey terkekeh melihat wajah kesal Amanda. Ia lantas berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Amanda. "Udah makan?" tanya Jeffrey. Amanda mengangguk. Matanya terfokus pada ruangan Jeffrey yang terlihat sangat mewah. Amanda jadi penasaran, berapa biaya yang dikeluarkan oleh Jeffrey untuk menghias ruangan ini. "Mau pulang ke rumah atau ke rumah sakit?" tanya Jeffrey lagi. "Ke rumah dulu," jawab Amanda tanpa menatap Jeffrey. Pandangannya masih terpaku dengan ruangan Jeffrey yang terlihat sangat indah bak Hotel bintang lima. "Mau bareng nggak?" tawar Jeffrey. "Nggak! Saya takut dikeroyok sama fans kamu," balas Amanda, membuat Jeffrey langsung tertawa kecil. Terkadang, Amanda sedikit heran dengan sifat Jeffrey. Arumi bilang, Jeffrey selalu bersikap dingin di depan umum. Lelaki itu hampir tidak pernah memperlihatkan senyuman manisnya di depan semua orang. Bahkan, lelaki itu jarang berinteraksi dengan para karyawan jika tidak ada sesuatu yang penting. Berbeda sekali dengan sosok Jeffrey yang Amanda kenal. Sejak pertama kali mereka bertemu, Jeffrey selalu menunjukkan sikap hangatnya, meskipun terkadang sesekali menyebalkan. Jeffrey juga kerap tersenyum dan tertawa di depan Amanda. Bahkan lelaki itu itu pernah melakukan hal konyol yang membuat Amanda tertawa sampai sakit perut. Jika perkataan Arumi itu benar. Bisa Amanda simpulkan, bahwa Jeffrey memiliki dua kepribadian. "Gavin vidcall," ucap Jeffrey, seraya mengarahkan kameranya ke arah Amanda. Terlihat wajah Gavin yang memenuhi layar handphone Jeffrey. Sontak saja Amanda langsung merebut handphone itu, dan membawanya duduk di sofa. "Gavin udah makan, Nak?" tanya Amanda. "Udah, Aunty..." sahut Saskia dengan menirukan suara anak kecil. "Makan bubur apa sayur?" tanya Amanda lagi. "Makan bubur ayam sama kentang." Mendengar suara Gavin yang sedang mengoceh, Amanda semakin tidak sabar untuk segera bertemu dengan balita itu. "Aunty kapan ke sini?" tanya Saskia. "Aunty pulang dulu ya, Sayang! Nanti malam, Aunty baru ke rumah sakit," balas Amanda. "Okay. Gavin tunggu ya, Aunty!" Setelah panggilan vidcall terputus, Amanda mengembalikan handphonenya pada Jeffrey. Kemudian wanita itu berniat untuk keluar dari ruangan, namun ditahan oleh Jeffrey. "Jangan pulang dulu," larang Jeffrey, membuat Amanda mengerutkan keningnya heran. "Aku tadi order makanan. Bentar lagi makanannya dateng," ucapnya lagi. "Terus?" tanya Amanda heran. Sejujurnya ia sedikit salah tingkah, saat Jeffrey mengubah panggilannya menjadi aku- kamu. "Bantuin makan. Aku pesen banyak soalnya." "Nggak mau. Aku udah makan." Nah kan, Amanda jadi ikut merubah panggilannya. Tetapi tidak masalah, toh mereka sekarang sudah berteman. Tak lama kemudian, makanan yang dipesan oleh Jeffrey datang, dengan diantar oleh asisten pribadinya. Beruntungnya, saat ini Amanda sedang berada di kamar mandi. Jadi ia tak perlu repot- repot menjelaskan kepada asistennya tentang keberadaan Amanda di ruangannya ini. "Silahkan keluar!" usir Jeffrey. Ia khawatir jika Amanda tiba-tiba keluar dari kamar mandi, dan bertemu dengan asistennya disini. Belum saatnya, Jeffrey mengenalkan Amanda kepada orang-orang terdekatnya. Karena mereka hanya sebatas teman yang baru bertemu beberapa hari yang lalu. "Udah dateng?" tanya Amanda, seraya berjalan menghampiri Jeffrey di sofa. Jeffrey mengangguk. "Sini bantuin," ucapnya. Di atas meja, sudah terjejer beberapa makanan yang Jeffrey pesan. Amanda sampai heran, apa Jeffrey begitu kelaparan? Sampai ia membeli makanan sebanyak itu. "Banyak banget makanannya," gumam Amanda. "Tadinya, aku beli buat Sekretaris aku juga. Tapi dia keburu pulang," sahut Jeffrey. Lelaki itu mengambil dua potong pizza. Satu ia makan, dan satunya lagi ia berikan pada Amanda. Jika mereka terus berbicara, maka makanan di depan mereka akan terabaikan. "Oh... yang tadi bawa berkas banyak itu ya?" tanya Amanda, sembari memakan pizzanya. Jeffrey berpikir sebentar, kemudian mengangguk. "Siapa namanya?" tanya Amanda lagi. "Ken Arya," jawab Jeffrey singkat. Lelaki itu lantas mengambil satu rice box dan gyoza, lalu memakannya dengan lahap. "Ganteng ya. Umur berapa dia?" "25 kalau nggak salah." "Bisa kali, kenalin sama dia," goda Amanda, membuat Jeffrey langsung menatapnya tak suka. "Dia nggak suka perempuan." Seketika mata Amanda langsung melotot dengan mulut yang terbuka lebar. Saking kagetnya, pizza yang ia pegang sampai jatuh ke lantai. "D-dia gay?" tanya Amanda. Sedangkan Jeffrey malah tertawa keras, melihat wajah shock Amanda. "Nggak suka perempuan kayak kamu maksudnya," Celetuk Jeffrey, membuat Amanda langsung menatapnya tajam. Sedetik kemudian, Amanda langsung melayangkan pukulan bertubi- tubi di lengan Jeffrey. Bukannya marah, Jeffrey justru tertawa terbahak-bahak. "Nyebelin banget ih," kesal Amanda. Di tengah-tengah pertengkaran kecil mereka, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dan suara bel yang sangat nyaring. Sontak saja, Amanda dan Jeffrey langsung terdiam dan saling menatap satu sama lain. Sebelum pintu itu terbuka, buru-buru Jeffrey menyuruh Amanda untuk bersembunyi di kolong meja. "Masuk!" teriak Jeffrey, setelah memastikan posisi Amanda aman. Pintu terbuka, menampilkan seorang wanita cantik dengan balutan dress yang sangat anggun. "Jeff..." panggil wanita itu dengan manja, seraya berjalan mendekati Jeffrey.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD