Pukul 4 pagi Alisha terbangun dari tidurnya akibat mimpi buruk yang terus menghantuinya selama beberapa tahun terakhir ini. Napas wanita berusia 27 tahun itu naik turun disertai keringat yang telah membasahi baju tidur dan wajahnya.
Tangannya terulur meraih gelas di nakas yang telah kosong. Alisha menurunkan kakinya dari ranjang hingga menyentuh lantai kamar yang dingin. Perlahan dia melangkahkan kaki keluar menuju dapur untuk mengambil air minum.
Ketika sampai di dapur, Alisha menyalakan lampu dan seketika ruangan memasak itu pun terang benderang. Mengambil air dari dispenser dan meneguknya hingga tandas. Kemudian gadis berambut panjang itu mengambil panci kecil dan mulai menjerang air untuk membuat teh melati favoritnya.
Air di panci mulai dipenuhi gelembung dan uap panas, gegas Alisha pun menuangnya langsung ke dalam mug yang sudah terisi satu kantong teh celup dan sedikit gula.
Suasana masih sangat gelap di luar, suara jangkrik masih terdengar riuh bersahutan. Alisha menyesap sedikit-sedikit teh melati yang dibuatnya seketika rasa hangat menjalar di tenggorokannya.
"Pagi sekali, Sha." Terdengar suara wanita di belakang gadis itu menyapanya. "Mimpi buruk lagi?"
"Ehem." Alisha hanya membalas Karina, Ibu angkatnya dengan gumaman.
Tanpa Alisha mengatakannya langsung pun Karina sudah paham dengan mimpi buruk yang dialami oleh anak angkatnya itu.
"Mau coba datang?"
Alisha menggeleng.
"Sha," ucap Karina mengusap punggung gadis yang telah menemaninya sepuluh tahun ini.
"Alisha belum siap, Tan," lirih Alisha.
"Kau bisa membawa Kyara, pasti mereka senang," ujar Karina mencoba memberi saran.
Kyara adalah gadis kecil berusia sembilan tahun, anak kandung Alisha, yang telah diangkat sebagai anak oleh Karina.
"Entahlah, Tan, aku masih memikirkannya," balas Alisha.
.
.
Pagi ini terlihat cerah, seperti biasa setelah membantu Karina membuka toko, Alisha akan mengantar Kyara untuk ke sekolah.
Setelah mengantar Kyara ke sekolahnya, tanpa sengaja Alisha singgah ke sebuah rumah yang beberapa tahun ini hanya bisa dipandanginya dari jarak jauh. Rumah itu masih terlihat asri dengan beberapa pepohonan yang tumbuh terawat.
Hati gadis itu sesak, mengingat kejadian sepuluh tahun lalu yang membuat murka keluarganya. Alisha belum siap untuk kembali ke rumah itu, dia belum mengumpulkan keberanian untuk menampakan diri di hadapan seluruh keluarganya.
Kembali, gadis itu menyalakan mesin kendaraan roda duanya dan menyusuri jalan menuju toko kue milik Karina. Sekitar tiga puluh menit berkendara, Alisha pun tiba di toko kue yang sepuluh tahun ini sudah membantu menopang hidupnya.
"Itu Alisha baru datang," kata Karina kepada seorang pria muda dari balik konter yang memajang beberapa macam-macam kue.
Pria yang bernama Evan itu menoleh ke belakang dan mendapati Alisha tengah berjalan ke arahnya. Seulas senyum dia sunggingkan menyambut kedatangan gadis pujaannya itu.
"Sudah lama?" tanya Alisha menyapa Evan yang saat ini memakai kaus berwarna putih yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak kecil warna biru.
"Belum lama," ucap Evan seraya mengangkat cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas.
Karina meninggalkan kedua muda mudi itu masuk kembali ke kitchen. Toko kue milik Karina saat ini telah menjelma menjadi sebuah toko kue dan cafe, ada beberapa meja dan kursi yang tersedia di sini untuk sekadar berbincang dan minum kopi.
Toko kue ini terletak di lokasi strategis, ada sebuah kampus dan beberapa perusahaan kecil yang berada di daerah ini. Bila siang hari ada beberapa mahasiswa dan para pekerja kantor yang singgah untuk melepas penat sambil menikmati roti manis dan beraneka macam minuman yang tersedia.
Toko kue ini berlantai dua, di lantai atas merupakan tempat tinggal Karina, Alisha, dan Kyara. Toko mulai buka pukul 09.00 pagi sampai pukul 21.00 malam, bisa lebih bila banyak pengunjung.
"Tante memberitahuku kau mengalami mimpi buruk lagi?" tanya Evan setelah menyesap kopinya.
"Ya, seperti biasa," balas Alisha lemah.
"Cobalah datang, jangan hanya memandangi dari jauh. Mereka pasti menunggumu."
Alisha memang sudah menceritakan semua masa lalunya kepada Evan, pria yang dia kenal sejak empat tahun ini. Sekitar beberapa tahun yang lalu pria itu pindah dan menetap di kota ini untuk urusan pekerjaan.
Saat itu hujan deras, Evan singgah ke toko kue ini dengan pakaian yang sudah basah kuyup. Karina yang saat itu merasa iba, meminta Alisha untuk mengambilkan handuk agar pria itu tidak terlalu kedinginan. Dan semenjak saat itu mereka mulai saling mengenal satu sama lain.
Evan juga membantu mempromosikan toko milik Karina sehingga kini banyak yang sudah mengenal keberadaan toko dan cafe yang sempat redup karena sepi pengunjung.
"Ini sudah sepuluh tahun, Al," kata Evan mengingatkan. "Butuh berapa lama lagi?"
Alisha bergeming di tempatnya. Rasa takut mengalahkan rasa rindu bertemu keluarganya. Kemarahan sang Ayah di masa lalu masih membekas di relung hatinya, yang mengakibatkan dirinya dilema berkepanjangan.
"Alisha," panggil Evan lembut.
Alisha pun mengembangkan senyum dan mengangguk mantap. Dia akan mencoba untuk mengalahkan egonya. Pria itu pun menggenggam erat jemari gadis di depannya.
Sore harinya.
Taksi online yang membawa Alisha berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sudah sangat dia kenal. Dia sudah menguatkan hatinya untuk datang dan memohon ampunan pada keluarganya. Apa pun yang terjadi nanti dia akan menanggungnya kembali seperti masa lalu.
Alisha mengeluarkan uang lembaran berwarna biru dan menyerahkannya kepada driver taksi. Perlahan gadis itu turun. Kakinya melangkah menyusuri halaman rumah masa kecilnya yang sama sekali tidak berubah.
Alisha sudah berada di depan pintu kayu jati, tangannya terangkat untuk mengetuk. Seketika jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Gadis itu memejamkan matanya, berdoa memohon kekuatan.
"Maaf cari siapa?"
Mata Alisha sontak terbuka, mendengar suara yang telah lama dia rindukan, menyapa di belakangnya.
"Ibu," lirihnya. Alisha menggigit bibirnya, kelopak matanya telah dipenuhi air mata yang tak lama lagi akan tumpah.
"Alisha ...."
Alisha berbalik ke arah wanita yang telah melahirkannya dua puluh tujuh tahun yang lalu. Seketika wajah gadis itu telah basah dengan air mata.
Wanita paruh baya itu menatap tak percaya dengan apa yang dia lihat di hadapannya. Putri kesayangan yang pergi darinya sepuluh tahun lalu, kini kembali.
"Ibu." Suara Alisha terdengar serak, tangis gadis itu pecah.
Widya, Ibunda Alisha, memangkas jarak di antara mereka. Alisha masih menangis di tempatnya berdiri, tak berbeda dengan sang Ibu yang menangis tertahan. Widya pun merengkuh tubuh anak gadis kesayangannya. Wanita itu merindukan putri satu-satunya yang menghilang dari hidupnya selama beberapa tahun ini.
"Maafkan, Sha, Bu. Maaf," ucap Alisha dalam dekapan sang Ibu.
Alisha berulang kali mengucapkan maaf dalam rengkuhan wanita yang selama ini selalu hadir dalam mimpinya.
"Maafkan Ibu juga, Sayang," kata Widya dengan suara tertahan.
Keduanya lama berpelukan di teras rumah. Widya pun melepas rengkuhannya dan mengajak Alisha untuk masuk ke rumah. Namun, gadis itu ketakutan.
"Tidak apa-apa," kata Widya meyakinkan putrinya, kali ini dia akan memasang badan.
Akhirnya Alisha menurut. Widya membuka pintu lebar-lebar.
"Masuk, Sayang," ajak Widya.
Alisha melangkahkan kakinya masuk melewati pintu yang telah terbuka. Mata gadis itu memindai ruangan yang sudah berubah dari yang dia ingat dulu.
"Sudah pulang, Bu?" Tubuh Alisha menegang mendengar suara bariton itu. Dia tak berani menoleh ke arah suara di mana si pemilik suara berat itu berdiri.
"Yah, ini ...." Widya menarik Alisha agar berdiri di sampingnya.
Wajah Sofyan, Ayah Alisha, berubah murka.
"Keluar kau dari rumahku!"