DEGH
Ritme jantung Dante tiba-tiba mencuat. Pikirannya mulai menerka banyak hal terkait koper dan sidik jari. Dia sangat penasaran, ingin sekali bertanya, tapi melihat mata Jena yang memerah, dia menahannya pertanyaannya.
“Oke, aku akan mencari dan mengamankannya.”
— — —
Keadaan Jena semakin hari semakin membaik. Dia sudah bertemu Profesor Erga, selaku dokter bedah yang menangani operasinya. Juga, sudah berterima kasih pada pria paruh baya itu dengan sungguh-sungguh.
Masalah nama pasien dan identitas Jena, pria itu juga yang mengurusnya. Tentu setelah Dante meminta tolong secara langsung. Namun untuk alasannya, Dante tidak mengatakannya, Erga sendiri juga tidak penasaran.
“Keadaanmu sudah membaik. Mau sekalian buat jadwal untuk operasi kaki?” Dante tiba-tiba bertanya begitu masuk ke kamar rawat. Membuka paper bag dan mengeluarkan beberapa buah.
“Operasi lagi?” Jena masih enggan menatap Dante, lebih memilih menatap apel yang terlihat mulus di depannya.
“Urat tendon di kaki kirimu putus. Kalau mau jalan normal lagi, itu mesti disambung.”
“Tunda dulu bisa nggak? Jahitan ku belum kering, masa iya mau nambah lagi?”
Dante mengangguk sejenak. Kemudian mengambil ponsel dalam saku dan menghubungi seseorang. Dia berdiri sedikit menjauh, hingga suaranya hanya terdengar samar di telinga Jena.
Tidak lebih dari 2 menit, Dante kembali. “Oke, operasi lututnya bisa ditunda. Konsekuensinya, kamu nggak bisa lari atau kerja berat dan tetap fisioterapi.”
Jena mengangguk paham. Dua jam sebelum Dante datang, dokter bedah tulang dan saraf sudah lebih dulu datang berkunjung dan menjelaskan kondisi kakinya. Mungkin karena Jena masih bisa berjalan normal, serta luka di lututnya tidak begitu menyakitkan. Sehingga ia ingin menjadwalkan operasi kedua setelah balas dendamnya selesai.
Suasana mendadak hening.
Hampir tidak ada suara selain suara televisi yang sejak tadi memang menyala. Setelah pembicaraan tentang balas dendam dan pacar kontrak, dua insan itu jarang terlibat pembicaraan penting.
“Em, anu.” Jena memulai pembicaraan dengan canggung. Membuat Dante yang sibuk dengan ipad berdehem sejenak.
“Heemm.”
“Soal … pacar kontrak. Kapan selesainya?”
Ah, Dante nyaris lupa. Dia buru-buru ingin menjerat Jena sampai lupa mengurus beberapa hal penting, termasuk masa berakhirnya kontrak.
Segera meletakkan ipad, Dante mendongak, menatap Jena yang duduk di tepi ranjang sambil memegang apel. “Tiga bulan setelah balas dendammu selesai,” singkatnya.
Jena terdiam sejenak, tidak langsung bicara. Dalam hatinya bergejolak, pikirannya mengacak acak beberapa kemungkinan yang sempat terlintas. Ingatan beberapa tahun silam melintas, memacu rasa takut yang perlahan datang dan membuat tubuhnya merinding.
Jena menghela napas pelan, kemudian menatap Dante yang fokusnya langsung kembali pada ipad di tangan. “Kamu, nggak akan mengenalkanku ke publik kan? Atau pada keluargamu?”
Sekali lagi fokusnya berpindah, namun kali ini yang menangkap raut wajah Jena hanya ekor matanya. “Bagaimana aku harus mengenalkanmu?”
Dante bangkit perlahan, meninggalkan ipad di atas sofa. Kaos biru mengetat pada pundak lebarnya. Lengan kekarnya menyembul, memperlihatkan otot kehijaun yang menjulur. Dia berjalan, mendekat pada Jena yang langsung tersentak dengan tatapan dinginnya.
“Haruskah ku bilang, pacarku itu istri orang? Atau ku katakan yang sebenarnya, jika pacarku adalah orang yang dicari oleh polisi karena menghilang secara misterius.”
Benar. Jena dinyatakan hilang dan dalam pencarian polisi, tidak mungkin bagi Dante mengenalkannya kepada publik, apalagi keluarganya dan wanita itu. Mereka tidak akan bertemu, karena Dante pasti menyembunyikannya.
Ini sudah dua hari berlalu sejak Dante menawarkan untuk membantu balas dendamnya. Jika kemarin Jena tidak memiliki waktu untuk berpikir, kali ini dia memanfaatkan waktu selama dua hari untuk berpikir banyak hal. Salah satunya, adalah alasan dibalik tawaran Dante.
Apa tujuannya, kenapa Jena harus menjadi pacar kontraknya?
Dari semua kemungkinan yang terlintas, dia tidak berpikir Dante akan menyiksa atau membunuhnya, meski pria itu membencinya. Ya, bagaimanapun mereka pernah menjalin hubungan yang cukup lama, bahkan lebih lama dibanding pernikahannya. Setidaknya Jena tahu Dante tidak akan sekejam itu padanya.
Jena mengulum bibir. Menyerah untuk menerka nerka sendiri, dan mengubur rasa penasarannya. Lagi pula, mereka telah sepakat, dan tidak mungkin bagi Jena menarik kembali keputusannya.
Pada akhirnya, Jena mengubur semua pertanyaan dan rasa penasarannya. Memilih tidak peduli tujuan Dante atau resiko kemudian hari. Baginya balas dendamnya lebih utama sekarang.
“Kopernya … bagaimana?” tanyanya kemudian.
“Oh, aku lupa bilang. Itu udah ketemu kemarin, perkiraan lokasi yang kamu sebutkan cukup lengkap, jadi gak susah nyarinya,” jawab Dante menoleh sekilas pada Jena, lalu kembali fokus dengan ipad di tangan.
“Kamu … ngak liat dalamnya kan?”
Hela napas Dante terdengar berat, sebelum akhirnya dia menjawab dengan nada ketus, “Memangnya aku kurang kerjaan?”
Jena hanya mendengus setelah mendengar jawaban ketus dari Dante. Mungkin karena dia terbiasa setelah 3 hari ini berhadapan dengan pria itu.
“Keadaan mu hari ini jauh lebih baik. Rehan sudah mengizinkan kamu pulang, hanya tinggal menunggu persetujuan Prof Erga. Setelah ini, kamu tinggal bersamaku.”
Dante tiba-tiba bicara saat keadaan hening sejenak, yang kontan membuat Jena kaget sampai menoleh ke arahnya.
“Kenapa? Kamu ada kepikiran mau tinggal dimana?” Dante bertanya, sedikit sinis.
Jena menggeleng pelan. Sejak ia memutuskan balas dendam dengan bantuan Dante, dia sudah tidak punya tempat untuk kembali. Dia telah meninggalkan semuanya dan pasrah pada mantan pacarnya.
Mau bagaimana lagi. Dia tidak punya apapun selain badan. Jangankan rumah, uang dan ponsel saja tidak ada. Bahkan baju satu-satunya yang ia kenakan juga sudah dibuang.
Selain Dante, dia tidak terpikirkan orang lain lagi. Ingin kembali ke rumah pamannya juga tidak mungkin. Meski dulu pernah menumpang di rumah pamannya selama lebih dari 10 tahun. Tepatnya, setelah kedua orang tua dan kakaknya tewas dalam kecelakaan, dan rumah peninggalan mereka di jual.
Namun setelah Jena mendapat pekerjaan, dia mulai hidup mandiri. Keluar dari rumah pamannya dan memilih menyewa rumah. Sejak saat itu pula, hubungan paman dan keponakan itu renggang.
— — –
Ketukan samar dari perawat membuyarkan keheningan yang sempat menyeruak, seorang ners wanita masuk setelah mendapat izin dari Dante.
“Anu, profesor Erga memanggil Anda, Dok.”
Dante mengangguk, tanpa bertanya alasannya. Mungkin karena dia sudah tahu, hal apa yang ingin dibicarakan pria paruh baya itu. Saat ia hendak melangkah pergi, Jena mencekal ujung kaosnya, membuat Dante seketika berhenti dan menoleh.
“Itu, sebelum pulang, aku boleh beli sesuatu nggak?” Wajah Jena sedikit memerah. Malu sepertinya, tapi dia juga tidak punya pilihan lain.
Mulut Dante sudah terbuka, hendak bertanya. Namun sebelum rangkaian pertanyaan keluar dari mulutnya, matanya lebih terpaku pada baju pasien yang dikenakan Jena. Saat itu barulah ia menyadari, apa yang ingin diminta wanita itu.
Dante segera mengambil ponsel dari saku, lalu menyodorkannya, “Nih, beli HP sekalian. Langsung kirim ke sini, biar aku yang ambil di lobby.”
Jena diam tertegun. Cepat sekali respon pria itu. Padahal dia belum bicara sepatah kata pun.
“Oh, bayar pakai m-banking. Sandinya, tanggal kau mencampakanku!”