Dante Sudah Menikah?

1098 Words
DAMN! Tenggorokan Jena langsung cekat, susah sekali menelan salivanya. Untung saja Dante langsung melipir pergi, sehingga tidak sempat melihat raut wajah Jena yang berubah kecut setelah disindir seperti itu. Mungkin, beginilah cara Dante membalas dendam padanya. Namun Jena juga tidak berdaya, mau bagaimana lagi. Hanya Dante tempatnya bergantung sekarang. Liciknya, Jena tidak pasrah begitu saja, setidaknya dia berkeinginan untuk membalas. Salah satunya, menghabiskan lebih dari 15 juta untuk membeli ponsel dan beberapa baju. “Ah, leganya. Lagian, dia sendiri yang kasih tau sandinya. Niatku kan cuma masukin ke kranjang, biar dia yang cek out.” Jena menyibikkan bibirnya, ada rasa puas yang tersirat di sana. “Siapa suruh, cewek belanja sendiri. Ya kalap.” Tenang saja, uang 15 juta bukan nominal besar bagi seorang Dante Miller. Menurut kabar yang beredar, pria yang berprofesi sebagai dokter bedah itu, digadang-gadang akan menjadi penerus Novena Grub. Salah satu Holding Company yang cukup sukses. Menakjubkan bukan? TING Jena hendak meletakkan ponsel Dante ke atas nakas, tapi satu pesan muncul di layar pop-it. Matanya yang sejak awal terfokus pada ponsel secara tidak sengaja membacanya. “Pak, istri Anda ngambek, ngak mau makan. Kayaknya perutnya sakit.” DEGH Istri … Dia punya istri? Lalu, buat apa pacar kontrak? Jena tertegun. Tatapannya nanar setelah beberapa kali mencuri pandang isi pesan di layar pop-it. Dia tidak berspekulasi apapun, justru terjebak dalam rasa penasaran. Kenapa, apa alasannya? Fakta bahwa Dante membenci dirinya saja sudah cukup membuat rasa penasarannya mencuat saat mendengar tawaran pria itu. Dan sekarang malah ditambah statusnya yang ternyata bukan pria lajang. Bajingan sekali dia. Jena awalnya memang tidak peduli lagi dengan harga diri itu, dan menerima tawaran Dante demi balas dendamnya. Dia bahkan sudah menyiapkan mental jika suatu saat nanti, dia akan berhadapan dengan wanita itu. Namun sekarang, situasinya berbeda. Yang akan dia hadapi bukan hanya wanita itu, tapi juga istrinya. Dante telah menikah, dia suami orang, bukan pria lajang. “Bagaimana ini, kenapa malah jadi runyam?” Jena menunduk, menghela napas kasar. Pikirannya menjadi kacau, cukup rumit sampai membuat kepalanya pening. Menimbang nimbang antara dendam dan harga dirinya, mana yang akan dipilih? Agak sedikit lucu, jika dia rela menjadi pihak ketiga di dalam rumah tangga orang lain. Padahal dia baru saja dibunuh oleh suami dan Indira yang menjadi pihak ketiga dalam hubungannya. Benar kan? Lalu bagaimana? Jena tiba-tiba terkekeh sumbang. Lagi-lagi dipermainkan oleh takdir. Rasanya seperti, jatuh tertimpa tangga. Saat ingin melangkah, eh malah tersandung. Apesnya dobel. Mau disalahkan, juga tidak sepenuhnya salahnya. Situasinya mendesak, dan lagi … jika pria itu memang sudah beristri, kenapa mengajukan tawaran seperti itu? Menyebalkan. Jena jadi mengulum bibirnya karena kesal. “Prof Erga sudah mengijinkan kamu pulang, tapi masih perlu MRI lagi.” Suara samar terdengar dari ambang pintu. Setelah pergi dan mengobrol dengan Prof Erga selama lebih dari 1 jam, Dante kembali sambil menenteng satu paper bag. Senyum samar Jena kontan mengembang, tipis, nyaris tak terlihat. Tanpa membahas pesan yang sempat ia baca, Jena menyerahkan ponselnya. Berniat untuk tutup mulut dan bungkam. Setelah termenung beberapa saat, dia memutuskan untuk tetap meneruskannya. Toh, hubungan mereka tidak akan berkembang sampai ke arah — CLBK, jelas tidak mungkin. Jena menolak keras bagian itu, hubungannya akan berakhir sampai dendamnya selesai. Lagi pula, Dante juga sangat membencinya, jadi tidak mungkin pria itu jatuh cinta padanya. Begitu pikir Jena. “Itu ….” Jena menatap paper bag yang dibawa Dante, mencoba mengalihkan isi pikirannya. “Sudah sampai, ya?” tebaknya asal. Dante mengangguk singkat. Dia meletakkan paper bag di atas nakas, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan memberikannya pada Jena. “Nih! Sudah ada SIM Card, dompet digital juga ada. Kalau butuh apa-apa, tinggal pesan lewat sana, alamat pengiriman juga sudah ditulis.” Sambil mengangguk, Jena mengambil ponsel. Dia tidak berbicara apapun, juga tidak bertanya. Lalu mulai sibuk mengotak atik ponsel yang baru saja dia beli. Jemarinya berselancar bebas, manik matanya terfokus, membaca berita tentang dirinya di sosial media. Berbagai spekulasi dari netizen terkumpul di kolom komentar. Lebih dari seratus orang mengira Jena kabur dengan pria lain, perampokan hanyalah dalih semata. Namun dari semua itu, tidak sedikit pula yang menebak dengan benar. Jena Saraswati dibunuh suaminya sendiri. Motifnya apa? Sudut bibir Jena tiba-tiba tersungging naik. Membaca berbagai macam persepsi di kolom komentar membuatnya begiding ngeri. Tidak menyangka, kalau pemikiran mereka bisa terarah ke sana. Meski hanya sekedar asumsi belaka, tapi Jena yang membaca menjadi takjub. “Apa yang menarik?” Dante tiba-tiba bertanya, rupanya pria itu diam-diam mencuri pandang, memperhatikan ekspresi Jena yang kerap berubah. “O-oh. Ini ….” Jena mengangkat ponselnya sedikit sambil menegadah, tak disangka, Dante sudah berdiri di dekatnya. Netra mata mereka bertemu sejenak. Saling memandang singkat, bayang kenangan masa lalu tiba-tiba terlintas di kepala Jena. Kenangan yang tidak pernah bisa ia lupakan. Bahkan sampai 5 tahun berlalu pun, kenangannya masih tersimpan dalam relung hati terdalam. Ritme detak jantungnya menjadi naik, bersamaan dengan napas hangat dari Dante yang menyentuh ujung hidungnya. Jena mendadak tercekat, padahal ia sudah membuka mulut, hendak menjawab. Tapi suaranya tidak keluar. “Permisi, kita MRI dulu ya.” Suara Ners yang datang membuat Dante langsung menegakkan punggungnya. Jena pun langsung membuang wajahnya, buru-buru menyembunyikan rona wajahnya yang entah sejak kapan telah berubah. Merah, seperti ceri yang matang di pohon. “Dokter Dante bisa langsung urus kepulangan pasien, ya. Profesor Erga ada di depan,” ucap ners seraya menurunkan kunci di roda brankar. “Oke. Nanti, tolong bantu dia ganti pakaian juga ya. Lukanya jangan kena air dulu, seka saja pelan-pelan.” Begitu pesan Dante sebelum akhirnya dia pergi. Setelah mengangguk, dua ners wanita mendorong bed melewati lorong panjang, membawa Jena pergi ke ruang radiologi untuk menjalankan beberapa pemeriksaan. Entah ada angin apa yang melintas, salah satu ners tiba-tiba bertanya. “Dokter Dante perhatian sama Kakak, ya. Padahal kalau sama pasien-pasiennya jarang banget care begitu.” Jena mengangkat satu alisnya, “Oh, ya? Mungkin karena beliau wali saya, Sus,” jawabnya diakhiri tawa sumbang. Kedua ners pun menanggapi tawa Jena, tapi salah seorang dari mereka kemudian menyangkal jawaban Jena, “Kayaknya sih, bukan itu, Kak. Dokter Dante sering bawa pasien tanpa identitas kemari, tapi setelah diserahkan ke IGD, beliau langsung pergi. Balik lagi ke Pelita. Jarang sekali mau jadi wali seperti sekarang." Terkesiap, Jena mencoba mencerna satu persatu perkataan perawat. “Dokter Dante, bukan dokter disini ya, Sus?” “Dulu iya, Kak. Tapi cuma satu tahun, setelah itu beliau pindah ke rumah sakit Pelita. Banyak banget senior yang protes, Pelita kan tempatnya di sekitar gunung, agak pelosok gitu. Terus, lokasinya rawan banget kecelakaan, jadi sesekali beliau datang buat rujuk pasien.” Tunggu, pelosok daerah pegunungan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD