Jena terdiam, netra matanya membulat. Susah payah mengerahkan kemampuan otaknya untuk menganalisa. Dante memang tidak menjelaskan bagaimana dia bisa berada di rumah sakit. Hanya bercerita tentang Pak Tino yang menemukannya.
Mengira dirinya langsung dibawa kemari dan mendapatkan pertolongan. Lalu secara kebetulan bertemu dengan Dante yang bekerja di rumah sakit ini. Tapi ternyata, masih ada sederet cerita yang tidak ia ketahui.
Dia kerja di rumah sakit yang terletak di pegunungan, jauh dari keramain, terpencil. Kenapa, kenapa bisa? Bukankah dia pewaris? Lalu, istrinya, apa dia juga tinggal di daerah sana?
Jena bertanya-tanya dalam hati, mulai berspekulasi tentang mantan kekasihnya.
“Jadi, Dokter Dante tinggal di sekitar rumah sakit Pelita juga, ya? Sama istrinya?”
Wajah salah satu ners terlihat kaget, “Ah? Dokter Dante belum —”
Belum sempat dijawab, petugas radiologi lebih dulu memanggilnya, “Suster Ana, tolong isi data ini dulu ya,”
Dokter Dante belum apa? Belum tinggal di tempat itu maksudnya? Atau belum tinggal bersama istrinya?
Jena menoleh, melihat punggung Ners Ana yang perlahan menjauh. Pasrah, ada keinginan untuk berteriak, memintanya melanjutkan kalimat yang terpotong. Namun dia sendiri sudah masuk ke ruang MRI, bahkan sudah di bantu ners lain untuk naik ke bed.
“Sus, tau lanjutannya yang tadi nggak? Maksudnya belum apa, ya?”
“Maaf, Kak. Saya baru disini, kurang mengenal Dokter lama, termasuk Dokter Dante.”
Kecewa, Jena langsung menghela napas kasar. Rasa penasaran memang bisa membuat hati menjadi gundah gulana, tak nyaman, sakit kepala, bahkan pening. Tak heran jika Jena sampai bertekad menanyakan kelanjutannya begitu pemeriksaan sudah selesai.
Namun, ekspektasi sering sekali berbanding terbalik dengan realita.
“Oh suster Ana ya. Dia sedang menyiapkan data-data kepulangan Kakak. Jadi sebagai gantinya, saya yang mengantar ya.”
Ah ……
Raut wajah Jena terlihat kusut. Sejak kembali dari ruang radiologi, dia duduk di pinggiran bed sambil melamun, memikirkan perkataan Ners Ana yang terjeda. Isi kepalanya mulai menyusun, kata lanjutan yang akan diucapkan Ners Ana. Namun yang ada di kepalanya hanya asumsi tak berdasar.
Hela napas panjang pun lolos, membuat Dante seketika menoleh ke arahnya. Memandangi wajah Jena di tekuk tiga bagian, membuatnya sedikit penasaran.
“Kenapa, kamu nggak rela pulang? Betah disini?”
Hela napas Jena makin panjang lagi setelah mendengar pertanyaan Dante. Tidak, tidak betah sama sekali. Dia hanya ingin bertemu Ners Ana sebelum pulang, ingin menuntaskan rasa penasaran yang sejak tadi membuat moodnya semrawut.
Tapi sayang … Ners Ana tidak kembali sama sekali, bahkan batang hidungnya juga tak nampak.
“Padahal tadi sudah dapat amanah, malah nggak kembali.”
Gerutunya lirih, nyaris tak bisa didengar oleh Dante. Meski begitu, Dante yang melihat Jena manyun sambil komat kamit menggerakkan bibir langsung menebak. “Pasti lagi ngomel.”
Begitulah kebiasaan Jena yang masih dia ingat dengan sangat baik. Namun, pria itu tidak peduli dengan masalah yang mengganggu Jena. Justru ia merasa senang melihat wanita itu mengomel sendiri.
“Kalau sudah selesai, ayo pergi!”
— — —
Dari rumah sakit JCI yang terletak di pusat kota, mereka bergerak ke arah timur menggunakan sedan putih milik Dante. Terus melaju sekitar 15 kilometer dari pintu keluar Tol.
Sampai akhirnya mereka melewati jalanan berliku dan sedikit terjal. Pohon pinus yang tumbuh di sisi kanan kirinya, membawa kesan pegunungan yang asri. Kabut tipis yang turun bercampur dengan hembusan angin, membawa aroma pinus serta tanah basah yang menenangkan.
Jena bisa menciumnya dari jendela kaca yang terbuka. Bahkan secara terang-terangan menghirup aromanya berkali-kali. Benar-benar menenangkan pikirannya yang sempat semrawut.
Namun perjalanan mereka tidak berakhir sampai disana. Dante masih terus melajukan sedan putihnya, sampai akhirnya tiba di kawasan padat penduduk. Ada pasar tradisional, toko swalayan, bahkan mall dengan tiga lantai.
Diantara gedung-gedung itu, Dante memasuki salah satunya. Gedung lima lantai mirip seperti apartemen, tapi tidak bisa dikatakan begitu juga. Gedungnya terlihat sederhana, ada foodcourt dan supermarket di lantai dasar.
Jena tidak bertanya apapun, pasrah begitu saja mengikuti Dante. Bahkan saat pria berkaos polo hitam memarkirkan mobilnya di basement.
“Ayo, udah sampai,” ajaknya sambil mengulurkan tangan, membantu Jena turun.
Manik mata Jena mulai mengedar, menelisik, dan mengamati dengan seksama. Gedungnya memang terlihat sederhana, tapi setiap sudutnya nampak bersih. Tidak ada sampah yang sengaja dibiarkan menumpuk, bahkan tempat ini memiliki lift untuk akses naik dan turun.
Untuk ukuran tempat tinggal seorang pewaris, tempat ini terlalu sederhana. Sungguh tidak sebanding dengan apartemen yang pernah Jena datangi saat mereka masih bersama dulu.
Namun dari semua itu, dia justru terpikirkan perkataan Ners Ana.
Bukannya dia kerja di Pelita?
Tempat itu masih agak jauh dari sini.
Jena mulai menerka sesuka hati, tentang alasan Dante membawanya ke tempat yang cukup jauh dari Rumah Sakit Pelita, tempatnya bekerja. Namun setelah dipikir-pikir, pilihan Dante dirasa cukup bagus. Sebagai seorang suami yang memiliki simpanan, memang lebih baik menjauhkannya kan?
Ah, Jena jadi teringat tentang suami dan selingkuhannya yang b******n itu.
“Tempatnya agak sepi, tapi di bawah ada foodcourt. Kamu tinggal pesan, mereka langsung antar ke atas.” Dante bicara lebih dulu, memecah keheningan di antara mereka berdua.
Jena pun mengangguk paham. Meski sempat terperangkap dalam pemikirannya, dia masih bisa mendengar perkataan Dante.
“Saldo dompet digital juga sudah aku isi, mau pesan apa bisa langsung pesan, nggak perlu nanya.”
Kali ini Jena tidak mengangguk, justru bertanya dengan suara lirih, “Terus, soal layanan yang kemarin?”
Hening, Dante tidak langsung menjawab. Seakan sedang berpikir dan menata kalimat yang akan keluar dari bibirnya.
“Em … pertama-tama, tugasmu jaga rumah, bersih-bersih juga. Mau masak juga boleh, aku pulangnya seminggu dua atau tiga kali. Selama itu, masak buatku.”
Jena makin bingung, tidak mengerti dengan cara pikir Dante. Pekerjaan receh seperti ini, apa bedanya dia dengan pembantu?
Pembantu ….
Ah, Jena akhirnya memahami kata dari ‘layanan’ yang diucapkan Dante. Jadi, pria itu hanya ingin dibalas dengan begini saja?
“Sumpah, aku masih nggak ngerti jalan pikiranmu. Kamu kasih aku uang, tempat tinggal, juga bantu balas dendam, tapi timbal baliknya … aku cuma jadi pembantu?” Jena berkomentar.
Dia bukan tidak terima diperlakukan seperti itu oleh mantan pacarnya. Toh, dia bisa sampai disini juga karena Dante juga. Hanya saja, dia merasa semua itu tidak akan sebanding.
“Sebenarnya, niatmu itu apa, sih?”
Jena sedikit mempertajam sorot matanya, menatap Dante yang memasang ekspresi dingin penuh intimidasi. Beberapa hari ini Jena telah menerka banyak hal, salah satunya adalah tujuan Dante membantu wanita yang begitu ia benci. Dan di titik ini, dia mulai jengah menerka dan ingin menanyakannya secara gamblang.
Dua pasang mata mereka saling bertemu, berusaha menembus ke dalam pikiran satu sama lain. Namun Jena tidak berhasil melihat apapun di sana. Yang tersisa hanyalah ekspresi dinginnya.
“Jawab dong, kamu diam aja! Sebenarnya apa alasanmu, selama ini kamu membenciku kan?” ujarnya lagi.