5. Pecah Perawan

1192 Words
"Happy Bird-Die, Neng Luna!" seru Domi di telinga Luna. "Monyong, lo Domo!" protes Luna kesal. Tangannya terangkat untuk mengusap telinganya yang pekak, kemudian bergerak menggebah Domi dari area pandanganya. Luna lebih memilih menyambut Jill yang sudah siap menanti di belakang Domi. "Happy Birthday, Luna Sayang!" Jill memeluk Luna dan mengecup kedua belah pipi gadis itu. "Thank you, Jill. Kalian lama banget sih? Udah maksa gue ke sini, malah ngaret datengnya!" protes Luna sebal. Dia sudah tiba sejak empat puluh menit yang lalu dan terpaksa menunggu keduanya sendirian. "Kita nyari cowok dulu buat lo, supaya lo bisa pecah perawan malem ini," ujar Domi menggoda Luna. "Eh, Sinting! Laki aja gak ada, gimana gue mau pecah perawan?" Luna mendelik sebal. "Kan gue bilang kita tadi nyariin dulu buat lo." Domi berjalan santai dan mengambil posisi duduk berseberangan dengan Luna. "Trus dapet?" tanya Luna mengejek. "Sayangnya belum." "Jangan dengerin, Lu. Kita tadi kejebak macet, ada kecelakaan gak jauh dari Forty Media." Jill segera menyela sebelum Domi berbicara semakin ngawur. "Oke. Jadi kalian mau apa minta gue ke sini?" Luna menatap penuh curiga pada Domi. "Ya jelas mo rayain ulang taun lo, Dodol! Gitu aja ditanyain." Domi menoyor jidat Luna dengan ponsel di tangannya. Luna segera menepis tangan Domi beserta ponselnya. "Jangan bikin gue teler ya?" "Napa? Tumben lo takut." Mereka sering menghabiskan waktu untuk berkumpul di tempat ini, sekadar melepas kepenatan namun tidak pernah melampaui batas. "Besok gue masih mesti ngajar, Domo!" "Oops, sorry! Lupa gue." Domi berlagak menyesal. "Songong lo! Belaga lupa! Mentang-mentang kerjanya sore." "Lu, kamu gak ngajak siapa-siapa?" tanya Jill heran karena Luna benar-benar datang sendiri. "Emang siapa maksudnya?" balas Luna heran. "Ya, temen kerja kamu mungkin. Masa gak ada yang akrab?" "Bukan gak ada yang akrab, Jill. Tapi ya kali di bawa ke sini. Bisa jantungan semua mereka." Luna tidak bisa membayangkan reaksi para ibu guru baik hati nan lembut di Nada Pesona jika dia mengajak mereka berkumpul di tempat semacam ini. Mungkin mereka akan segera melakukan ritual pengusiran roh jahat terhadap dirinya seketika itu juga. "Itu kan yang cewek, yang cowok mah hayu aja kali diajak ke sini juga?" Jill masih penasaran, memang sealim apa rekan-rekan kerja Luna ini. "Masalahnya gak ada yang ketampangan buat gue ajak ke sini, Jill." Luna menjawabnya malas. "Gak ada yang ganteng gitu?" Jill memicingkan matanya. "Nope!" Luna menggeleng. "Yang masih muda lah seenggaknya, masa gak ada?" kembali Jill bertanya. "Nope!" Luna masih setia menggeleng. "Ya kali Gurun Sahara banget," celetuk Domi gatal. "Emang. Tandus. Gersang. Butuh penghijauan gue." Luna tertawa miris. "Asli, Lu? Gak ada yang bening di sana? Sama sekali?" tanya Domi tidak percaya. "Asli, Domo. Kalo ada juga paling bokap-bokap yang suka jemput anaknya noh!" "Serius?" Domi mulai terdengar tertarik. "Iya!" balas Luna ketus. "Ih wow! Gue mau dong satu." Domi mengedipkan matanya dengan menggoda. "Sarap, lo Domo! Itu kan udah pada kawin," tegur Luna terkejut. "Ga papa lah. Kali aja ada yang duda," balas Domi asal. "Selera lo, Dom." "Ih seksi tau. Cowo matang nan mapan. Daddy-able banget lah pokoknya." Domi tetap keras kepala. "Dom, kamu kebanyakan gaul sama Jovi deh. Jadi ngaco pikirannya." Jill mengomentari tingkah Domi yang aneh ini. Meski mereka bukan gadis alim, tetapi prinsip mereka tidak sudi menjadi perusak hubungan orang lain. "Bodo ah! Lu, gue penasaran nih. Jadi pengen main ke tempat lo." "Dateng aja. Ada tuh, duda songong yang ampir tiap hari jemput anaknya telat mulu." "Ganteng gak?" tanya Domi semangat. "Mayan lah." "Tajir gak?" "Matre lo!" sentak Luna. "Serius, tajir gak?" desak Domi tidak sabar. "Gak tau." Luna mengangkat bahunya tidak peduli. "Kalo jemput pake apa?" "Mobil." "Mobil apaan?" "Range Rover." "Widih, tajir dong. Udah tajir, duda, ganteng lagi. Lo gak mau nih?" Mata Domi sudah berbinar-binar kesenangan. "Kaga minat. Buat lo aja, tapi siap-siap dijadiin pengasuh anaknya." "Ah gak masalah. Ngurus anak mah gampang. Lagian gue sih gak pilih-pilih, yang penting lepas status jomblo dulu." Domi mengibaskan tangannya di udara. "Btw, di sekolah gak ada yang coba deket sama kamu, Lu?" Entah mengapa tiba-tiba Jill merasa penasaran. "Hmm?" Luna mendelik malas. "Ada ya? Cerita dong," pinta Jill penuh harap. "Pasti ada, cuma ni anak aja yang kelewat pemilih!" Domi berkomentar dengan sok tahu. "Gimana gue nggak pilih-pilih kalo yang nyosor gue sejenis titisan Dedemit!" seru Luna kesal. "Siapa, Lu? Guru juga?" Jill benar-benar penasaran. "Ho-oh." "Ih keren dong!" Jill bersorak gembira. "Keren apanya, Jill? Bentuknya aja gak jelas, kelakuannya lebih parah lagi." Luna membalas dengan malas. Sahabatnya yang satu ini memang mempunyai imajinasi yang terlalu manis dalam kepalanya. "Separah apa sih?" "Separah lem tikus yang kelamaan dipentang sampe akhirnya kering sendiri karena gak ada tikus yang kejebak biarpun udah ditaro umpan paling mantab." "a***y! Separah itu?" Domi terbahak mendengar penuturan Luna. "Lo bayangin aja, lima taon dia kerja di NP, dua puluh tiga kali deketin guru cewek, sampe sekarang gak ada satu juga yang gol." "Emang rusak banget tampangnya?" Domi menggeleng kasihan. "Honestly, muka jelek masih bisa ditolong. Tapi kelakuan minus, itu udah kartu mati," tandas Luna kejam. "Ya, ampun! Rusak bayangan aku soal guru ganteng zaman sekolah dulu." Wajah Jill berubah muram. "Hah? Jangan-jangan lo pernah naksir sama guru waktu sekolah?" tuduh Domi. "Emang kalian nggak? Ngaku aja deh. Kayaknya tiap perempuan pasti pernah punya guru cowok yang ditaksir, atau seengganya dikagumin lah," balas Jill yakin. "Iya juga sih, Jill! Dulu gue pernah tuh naksir guru musik gue pas SMA. Betah banget gue tiap kelas musik, kalo perlu tiap hari aja pelajarannya dia." Domi teringat guru musiknya yang tampan dan dikagumi para siswi di sekolahnya. "Ya itu sih jaman kita masih ingusan. Tapi sekarang sih buang jauh-jauh tuh mimpi. Bangun Girls! Apa kerennya pacaran sama seorang guru?" ujar Luna tanpa perasaan. Kata siapa pacaran sama guru itu keren? Siapa yang waktu masih pake rok biru sama rok abu suka terkagum-kagum sama guru pria di sekolahnya? Oke! Katakanlah waktu kita masih sekolah dulu, guru pria berstatus single itu terlihat keren. Apalagi kalau memang wajah dan body-nya bisa dibanggakan. Bisa dekat dengan sang guru pasti jadi kebanggaan tersendiri. Tetapi lain halnya kalau kita bekerja di sekolah, lalu didekati oleh rekan sesama guru. Itu rasanya sesuatu. Coba pikir, apa yang bisa diharapkan? Kalau di usianya yang sudah menjelang senja dia masih mengejar wanita, bisa disimpulkan orang itu tidak laku. "Emang apa salahnya?" balas Jill tidak mengerti. "Pertama guru cowok yang masih available itu, biasanya karena emang gak laku-laku. Yang potensial itu pasti udah pada ada betinanya. Kedua, cewek model kalian, gak akan sanggup idup sama cowok dengan pendapatan standar. Harga satu tas si Domo aja mungkin sama dengan uang makan tuh cowok selama sebulan." Luna mencoba menjelaskan. Dia tahu seperti apa gaya hidup Dominique yang memang berasal dari keluarga berada. "Tumben otak lo lurus, Lu." Begitulah cara Domi memuji. "Otak gue emang lurus, lo-nya aja yang miring, makanya gak pernah connect!" sembur Luna pedas. "Oke! Stop dulu pembahasan soal ini. Lu, tiup lilin dulu yuk!" "Masih harus pake tiup lilin segala ya?" "Iyalah!" Jill mengeluarkan kue ulang tahun yang tadi mereka beli sebelum ke sini dan memasangkan lilin berangka dua dan empat di atasnya. "Make a wish, Luna Sayang!" Semoga gue bisa secepetnya keluar dari neraka mini berbentuk sekolahan! *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD