"Uncle J!" Bricia segera menghambur ke teras ketika mendengar suara motor Juro memasuki halaman rumah.
"Hello, Princess!" Juro melepas helmnya, turun dari motor dan segera membawa Bricia ke dalam gendongannya. Tidak lupa memberikan kecupan mesra untuk gadis kecil kesayangannya itu.
"Cia, Om Juro-nya baru sampe. Kasian Om-nya capek tuh. Turun dulu, Sayang." Mayang meminta Bricia untuk turun dari gendongan Juro.
"Nggak apa-apa, Ma. Aku nggak capek kok." Juro berjalan masuk ke rumahnya sambil tetap menggendong Bricia.
"Iya, tapi tetep aja. Ayo, Cia turun dulu. Om Juro masih bau itu."
"Uncle J nggak bau kok Eyang!" Bukannya turun, Bricia malah memeluk leher Juro dengan erat, dan menenggelamkan wajahnya di leher Juro. Bricia yang sudah berkali-kali diajari untuk memanggil Om Juro, tetap berkeras untuk memanggil Uncle J seperti yang Juro ajarkan padanya.
"Ih, Princess-nya Uncle emang paling baik!" Juro menciumi wajah Bricia hingga gadis kecil itu terkikik geli.
Mayang hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah putra bungsu dan cucunya itu. "Kalian itu kompaknya ngalahin ayah sama anak beneran. Aneh Mama tuh liat kalian."
"Jangan ngomel mulu, Ma. Itu keriput tambah jadi. Percuma Mama face lift kalo tiap hari cemberut terus."
"Sembarangan kamu! Siapa yang face lift segala?" protes Mayang tidak terima. Mayang itu menjaga kecantikan kulitnya secara alami dan tradisional, tidak dengan cara-cara instan yang banyak dipilih generasi muda masa kini.
"Iya sih ya, Ma. Udah tua mah tua aja ya?" ledek Juro sembarangan.
"Ampun ini anak. Mulut kamu tuh ga bisa manis dikit apa, J?" Mayang mendelik kesal.
"Susah, Ma. Dari sananya udah begini cetakannya. Gombalin cewek aja ga bisa."
"Nggak heran kamu ditinggal kawin sama Rae. Netes bareng, melek bareng, kawinnya ditinggal." Mayang balas mengejek anaknya itu.
"Tuh, tuh! Liat siapa yang mulutnya pedes!" seru Juro.
"Berisik ah, J! Sana mandi dulu, abis itu makan sama-sama. Cia nggak mau makan dari tadi, mau nungguin kamu katanya."
"Princess, Uncle mandi dulu boleh ya?" bujuk Juro lembut agar Bricia mau turun dari gendongannya. Setelah mendapat izin dari Bricia, Juro segera mandi dan kembali tidak sampai tiga puluh menit kemudian.
"Masak apa, Ma?" Juro menarik kursi makan tepat di sebelah Bricia.
"Kesukaan kalian." Mayang membuka tudung saji dan memperlihatkan masakannya hari ini. Mata Juro berbinar senang ketika melihat Pepes Ikan Nila, Perkedel Jagung, dan Sayur Asem, dilengkapi dengan Sambal Terasi buatan Mayang.
"Asik. Mama emang paling tahu cara mencerdaskan anak bangsa," puji Juro sambil mengacungkan dua jempolnya ke arah Mayang. "Princess, makannya lomba yuk sama Uncle!"
"Oke!" Bricia kesenangan mendapatkan ajakan berlomba dari Juro, karena pada akhirnya Juro pasti akan selalu mengalah agar Bricia memenangkan perlombaan mereka.
Untuk beberapa saat, ketiganya sibuk menikmati hidangan mereka.
"Eyang, enak banget! Cia mau tambah lagi boleh?" pinta Bricia menyorongkan piringnya yang sudah kosong.
"Boleh dong, Sayang. Sini Eyang ambilin lagi." Mayang menyendokkan kembali nasi untuk Bricia beserta lauknya.
"Cia, awas ada durinya! Pelan-pelan makannya, Princess." Juro memperingatkan Bricia yang sedang makan dengan sangat lahap.
Mayang menggeleng tidak percaya menyaksikan interaksi yang terjalin di antara Juro dan Bricia. Putranya yang serampangan itu, bisa sedemikian lembut dan telaten mengurusi Bricia. Dilihatnya Juro yang sebentar-sebentar akan melihat piring Bricia untuk memastikan tidak ada duri ikan yang akan tertelan oleh gadis kecil itu. Belum lagi Juro yang sibuk merapikan rambut Bricia agar tidak ikut masuk ke dalam piring.
Ini bener-bener aneh. Dia ini udah cocok banget jadi Bapak, tapi nggak ada cocok-cocoknya jadi suami. Ckck!
"Uncle, Cia mau bobo sama Uncle J. Boleh?" tanya Cia penuh harap.
"Boleh dong, Princess!" Juro langsung menyanggupi tanpa perlu berpikir dulu.
"Kamu ini, J! Besok kan kamu kerja, nanti ngantuk di kantor," tegur Mayang tidak setuju.
"Ya ampun, Ma. Kan Cia cuma tidur di kamar aku, bukan ngajak aku begadang." Juro menanggapi kekhawatiran Mayang yang berlebihan.
"Tapi kan kamu nanti nggak pules kalo tidurnya ada orang lain. Udah Cia bobo sama Eyang aja ya?" bujuk Mayang pada cucunya.
"Nggak mau! Cia maunya sama Uncle J!" Kini mata gadis kecil itu mulai berkaca-kaca.
Udahlah, Ma. Juro berbicara hanya dengan gerakan bibir saja. "Iya, Cia boleh bobo sama Uncle. Sekarang abisin dulu ya makannya."
***
"Doa dulu, Princess." Meski Juro bukan orang yang sangat taat beribadah, namun dia selalu ingat untuk menanamkan kebiasaan yang baik pada Bricia.
Dilihatnya Bricia melipat tangan dan menutup matanya, mengucapkan doa sederhana layaknya seorang gadis kecil berusia enam tahun.
"Amin." Bricia membuka matanya. "Udah, Uncle."
"Ayo, sekarang kita bobo." Juro merentangkan tangannya dan Bricia segera menelusuk ke pelukan pria itu. "Good night, Princess. Sweet dream, Baby Girl!"
Juro memeluk Bricia sedemikian erat, mengecup puncak kepala gadis kecil itu berulang-ulang. Tidak lupa bersenandung kecil untuk membuai Bricia.
Mayang yang memperhatikan dari celah kecil di ambang pintu kamar Juro yang terbuka, hanya dapat menahan rasa haru yang menyeruak dalam hatinya.
Sampai kapan kamu sanggup menggantikan posisinya, J? Terima kasih karena sudah mencoba sekeras ini untuk membahagiakan Cia dan untuk mengisi kekosongan di hatinya.
Setelah memastikan Bricia benar-benar sudah terlelap, Juro bangkit untuk meninggalkan kamarnya. Dilihatnya Mayang yang tengah terduduk dengan pandangan menerawang di ruang tengah rumah mereka. Juro bukan tidak tahu bahwa Mayang begitu terbeban dengan semua masalah yang menimpa keluarga mereka, namun dia tidak ingin membahasnya dan membuat mereka terus berlarut-larut dalam kesedihan. Juro lebih memilih untuk bersikap cuek dan santai, agar setidaknya suasana rumah ini tetap ceria.
"Ma, malem Jumat gini, katanya kalo ngelamun bisa digondol sama yang rambutnya panjang-panjang lho!" Juro duduk di sebelah Mayang dan menyenggol pundak ibunya.
"Hush! Kalo ngomong jangan sompral, J!" Mayang mendelik sebal.
"Lagian, Mama. Malem-malem begini, duduk sendiri sambil bengong. Gak enak liatnya, Ma." Juro mendekap Mayang dalam pelukannya.
"Lah daripada Mama konser sambil nandak-nandak pake lagu Via Valen, kan lebih aneh lagi. Nanti kamu bilang Mama otaknya ketinggalan setengah di kukusan bareng bungkus pepes." Mayang ini meski usianya sudah menginjak 57 tahun, namun masih berjiwa muda. Bicaranya saja bisa mengimbangi Juro yang tata bahasanya entah mengadaptasi dari mana.
"Nggak lah, Ma. Masa ketinggalan di kukusan. Lebih mungkin ketinggalan di pasar, buat bayar ikan yang Mama beli tadi pagi," balas Juro tidak kalah asal.
"Wis sak karepmu, Le!" Mayang menepuk paha Juro dengan sayang.
Keduanya terbahak bersama, entah menertawakan apa sebenarnya. Mungkin secara tidak langsung menertawakan kehidupan mereka yang miris.
"J?" panggil Mayang.
"Hmm?" Juro menunduk untuk memperhatikan raut wajah ibunya.
"Kamu nggak mau nikah?" tembak Mayang.
"Ah, si Mama. Dibahas lagi." Juro berpura-pura menghela napas sekeras-kerasnya.
"Abis dari terakhir kali Mama tanya, sampe hari ini gak ada perkembangan sih. Tetep aja kamu masih setia jadi jones."
"Santai, Ma. Aku tuh memapankan diri dulu, supaya nanti bisa bawa anak gadis orang untuk hidup dengan layak," balas Juro sok bijaksana, membuat Mayang mencebik mendengar penuturannya.
Mayang segera memegang kening Juro. "Waras kamu?"
"Hah?" Juro melongo.
"Tumben ngomongnya bener." Mayang menatapnya curiga.
"Tuh kan si Mama. Aku ngomong ngaco dikatain sarap! Aku ngomong bener ditanyain waras apa nggak. Mama maunya apa sih?"
"Mau kamu nikah," jawab Mayang santai namun mengena.
"Santailah Ma. Umur aku juga masih muda."
"Dua bulan lagi kamu udah 31, masih ngaku-ngaku muda."
"Ma, laki-laki tuh makin tua makin mateng, makin seksi."
"Iya, tapi kalo kematengan, namanya bonyok! Gak bisa dimakan lagi, bagusnya tinggal dibuang. Umur udah segini, pacaran sekali juga belum pernah. Kamu sih keasikan menikmati friendzone sama Rae. Begini nih jadinya."
"Ma, apa sih? Kenapa jadi nyambung ke Rae lagi. Rae kan udah nikah."
"Ya, justru. Rae udah nikah, gak usah ngarep lagi. Move on dong, J!"
"Astaga, Mama! Mama gaulnya sama siapa sih?" Juro menggeleng tidak percaya mendengar perbendaharaan kata ibunya yang sangat kekinian.
"Sama kamu."
Skakmat!
Selama ini Juro memang membiarkan saja semua orang bersepkulasi bahwa dirinya mencintai Ranice, sahabatnya sejak kecil, secara diam-diam. Padahal Juro berani bersumpah demi apa pun, bahwa tidak pernah sekalipun timbul rasa terselubung terhadap sahabatnya itu. Juro murni menyayangi Ranice sebagai sahabatnya, sebagai adik kecilnya, tidak lebih.
Tidak pernah ada yang tahu bahwa ketakutannya menjalin hubungan dengan lawan jenis adalah karena kegagalan rumah tangga yang dialami ibu dan kakaknya sendiri. Juro tidak ingin mengalami hal yang sama, dan membuat sebuah nyawa kecil tidak berdosa yang harus menanggungnya. Seperti dirinya dan juga Bricia.
Hal itu pula yang membuat Juro bersedia menunggu Ranice. Jika suatu saat Ranice akan bercerai dari suaminya, dia siap menikahi wanita itu dan menjadi ayah bagi putranya. Setidaknya, dia tahu Ranice tidak akan pernah menyakitinya, dan dia bisa menyelamatkan kehidupan Ranice serta putranya. Karena di balik semua sikap Juro yang sering seenaknya sendiri, sesungguhnya dia memiliki kepedulian yang amat besar bagi orang-orang terdekatnya.
***
--- to be continue ---