“Aku akan mencari jalannya, Bu. Tapi jangan terlalu cepat, mungkin bisa diundur,” pinta Vartan, suaranya berat penuh kegelisahan. Ia mencoba menahan nada protes itu agar tidak terdengar menentang.
Namun ibunya langsung menggeleng tegas. “Tidak, Vartan. Kamu tidak boleh mencari jalan sendiri. Kami sudah menyiapkan semua.”
Jantung Vartan seolah berhenti berdetak sejenak. “Apa maksud Ibu?” tanyanya, berusaha memastikan.
Ibunya menatap penuh wibawa, sementara sang ayah hanya diam, namun jelas menyetujui. “Kami sudah mempunyai calon untukmu.”
Kalimat itu membuat Vartan terperanjat. Jika memang harus menikah, hatinya hanya tertuju pada Neva. Namun kenyataan yang ia dengar justru sebaliknya. Hatinya remuk, tangannya mengepal di atas lutut. “Lalu...siapa yang Ibu maksud akan dinikahkan denganku?”
Ibunya menarik napas dalam sebelum akhirnya menyebutkan nama seseorang. “Diana.”
Mata Vartan melebar, tubuhnya membeku. Nama itu terasa asing. Bahkan ia tidak tahu siapa wanita itu. Hanya saja, nada ibunya begitu tegas, seakan tak ada ruang untuk menolak.
“Diana? Aku bahkan tidak mengenalnya, kenapa aku harus menikah dengannya?” Suaranya pecah, campuran marah dan tidak percaya.
Ibunya mencondongkan tubuh, menatap tajam. “Karena ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang keluarga kita, tentang masa depan dan kehormatan. Diana adalah putri dari keluarga yang punya hubungan penting dengan perusahaan ayahmu. Pernikahan ini akan menguntungkan banyak pihak.”
Vartan tercekat. Kini semuanya jelas, ia hanyalah bidak dalam permainan besar keluarga. Hatinya meronta, karena cinta yang ia jaga bersama Neva kini terancam musnah, terkubur di bawah kata kewajiban.
“Aku nggak mau menikah dengan orang yang bahkan nggak kukenal! Aku ingin menikah karena cinta! Aku sudah punya kekasih!” suara Vartan meninggi, penuh penolakan dan luka.
Namun ibunya tidak bertanya siapa kekasih Vartan, malahan membalas dengan tatapan dingin yang menusuk. “Tidak bisa, Vartan. Kamu tidak bisa menentukan sendiri. Cinta bukan hal utama dalam pernikahan. Cinta akan tumbuh seiring waktu. Yang penting adalah nama baik keluarga kita, posisi, dan masa depanmu.”
Ayahnya yang sejak tadi diam akhirnya menambahkan, suaranya berat. “Lagipula, Diana adalah seorang dokter. Dia sepadan denganmu, seorang pilot. Pernikahan ini akan menjadikan kita keluarga terpandang.”
Hati Vartan mencelos seketika. Seolah ada batu besar menghantam dadanya. Tangannya gemetar, bukan hanya karena marah, tetapi juga karena putus asa. Ia menunduk, mencoba menenangkan dirinya, tapi pandangannya kabur, dipenuhi wajah Neva, wanita yang seharusnya menggenggam tangannya di pelaminan.
Di ruang tamu rumah mewah itu, suasana kaku menyesakkan. Vartan merasa dirinya terjebak, seolah semua pintu tertutup rapat. Nafasnya memburu, dan suara ibunya kembali menusuk telinga. “Kamu hanya perlu patuh. Jangan buat kami malu.”
Seketika itu, Vartan sadar bila ia tidak bisa memenuhi keinginan hatinya sendiri, maka ia hanya akan menjadi boneka keluarga. Sementara cinta sejatinya, Neva akan terkubur sebagai rahasia yang tak boleh terungkap tanpa seorang pun yang tahu.
Matanya berkilat, separuh marah, separuh putus asa. Hatinya berteriak. 'Aku tidak bisa menyerah. Aku tidak akan membiarkan mereka merenggut Neva dariku.'
**
Neva duduk termenung di kamar mungilnya yang rapi. Di dinding, sebuah kertas jadwal penerbangan baru saja ia tempelkan. Deretan kota—Singapura, Bali, Kuala Lumpur, dan Jakarta—tertera dengan jelas. Senyumnya merekah tipis. Neva Ayu, pramugari cerdas yang lahir 25 tahun silam ini sangat menyukai profesinya. Dari profesinya inilah dia bertemu dengan Vartan Kurniawan, pilot berusia tiga tahun di atasnya. Dia menjalin hubungan kasih dengannya selama dua tahun.
“Jadwal selama seminggu ke depan, aku akan bertemu dengan Vartan,” lirihnya, mata berbinar penuh harapan. Hatinya berdesir hangat mengingat setiap kali mereka berada dalam satu penerbangan, ada momen kecil yang terasa istimewa, tatapan rahasia, percakapan singkat di kokpit, atau hanya sekadar senyum yang menyelipkan semangat.
Neva berbalik, tubuhnya terhempas ringan ke atas kasur empuk. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal. Ia menyalakan layar, berharap ada pesan singkat dari pria yang telah dua tahun terakhir menjadi bagian hidupnya. Namun, layar itu kosong. Tidak ada notifikasi masuk. Tidak ada nama Vartan Kurniawan yang muncul.
Alis Neva mengernyit. “Tumben sekali dia belum kirim pesan.” Biasanya, meski hanya sekadar menuliskan sudah makan atau selamat istirahat, Vartan selalu memastikan kehadirannya. Malam ini terasa berbeda.
Neva menarik nafas panjang, mencoba mengusir rasa resah yang mulai menyelinap. “Apa mungkin dia masih ada di rumah orang tuanya? Ya, pasti begitu,” gumamnya, berusaha meyakinkan diri. Ia menaruh kembali ponselnya di samping, lalu membaringkan tubuhnya.
Langit-langit kamar dipandanginya, seolah mencari jawaban. Dalam diam, Neva memilih berpikir positif, meski hatinya samar-samar merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Sebelum matanya terpejam, senyum tipis kembali tersungging—ia menunggu, berharap pesan itu akhirnya datang.
**
Ruang ganti awak pesawat masih lengang pagi itu. Hanya ada lampu neon yang menyala redup, dan aroma khas parfum pramugari yang tersisa di udara. Neva masuk lebih dulu, mengenakan seragam rapi, lalu mendapati Vartan yang sedang berdiri di depan cermin, merapikan seragam pilotnya. Belum ada staf lain, suasana benar-benar sunyi.
Neva tersenyum kecil lalu mendekat. Tangannya refleks merapikan dasi di leher Vartan. “Bagaimana pertemuan dengan orang tuamu kemarin?” tanyanya lembut.
Sekejap, ekspresi Vartan berubah. Wajahnya menegang, matanya seakan menghindari tatapan Neva. Neva langsung merasakan sesuatu yang tak beres. Hatinya berdegup cemas. “Something bad?” ujarnya, suara bergetar.
Vartan menarik napas panjang, berat, lalu menatap Neva dalam-dalam. “Neva, dengarkan aku. Aku sangat mencintaimu. Sampai kapanpun, hanya kamu yang ada di hatiku. Tapi, satu bulan lagi aku harus menikah dengan seorang wanita pilihan orang tuaku. Semua demi menjaga status keluarga.”
Sejenak Neva serasa berhenti bernapas. Kata-kata itu seperti hantaman keras di dadanya. Tubuhnya menegang, wajahnya memucat lalu berubah merah oleh amarah. “Vartan, kamu nggak bisa begitu!” serunya tajam. Mata Neva berkaca-kaca namun penuh bara. “Bukankah kamu bilang cinta padaku? Kenapa nggak perjuangin aku?”
Tangan Neva mendorong da-da Vartan dengan keras hingga tubuh pria itu terdesak ke dinding pesawat. Suara hantaman kecil terdengar, tapi Neva tak peduli. Tatapannya menusuk, marah bercampur luka. “Kalau cintamu benar, buktikan! Jangan jadi pengecut yang hanya tunduk pada status dan nama baik keluarga!” ujarnya, suaranya bergetar antara tangis dan kemarahan.
Neva berbalik hendak meninggalkan ruang ganti itu, langkahnya cepat dan penuh emosi. Namun tiba-tiba, lengan kuat Vartan meraih tangannya dari belakang. Dengan segera, ia menarik tubuh Neva ke dalam pelukannya. Dagu Vartan bertumpu di bahu Neva, suaranya lirih penuh getaran.
“Jangan pergi,tetaplah di sisiku, please,” ucapnya, nyaris seperti bisikan. “Aku akan cari cara agar kita bisa tetap bersama.”
Pelukan itu erat, seolah Vartan takut kehilangan selamanya. Tubuh Neva bergetar dalam dekapannya, marah dan sedih bercampur menjadi satu. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang dingin.
“Kamu hanya membuatku bingung, Vartan,” lirih Neva, berusaha menolak tapi lemah di dalam genggamannya.
“Percayalah padaku,” lanjut Vartan, suaranya parau, “Aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku tidak akan biarkan mereka memisahkan kita.”
Neva terdiam, hatinya berperang antara ingin percaya dan takut tersakiti lebih dalam. Ia tetap diam di pelukan itu, sementara hatinya makin remuk mendengar semua itu.