2. Menjamah Arletta

3062 Words
“Nicholasss!” Adrian yang sedang melangkah membawa kopi dari dapur menuju ke ruang kerjanya sontak menghentikan langkah begitu mendengar teriakan nyaring Arletta yang baru saja pulang dari kampus siang ini. “Nichoo—” Teriakan Arletta sontak terhenti begitu ia bersitatap dengan Adrian yang menatapnya heran dengan satu alis terangkat. “Ups, ada Om Adrian ternyata. Nggak kerja, Om?” “Saya yang punya kantor. Jadi bebas mau berangkat ke kantor atau di rumah.” Jawab Adrian dan Arletta hanya menyengir. Cengiran yang membuat Adrian teringat bahwa bayangan tubuh molek dan wajah cantik Arletta inilah yang membuat tangannya pegal karena masturbasi tadi malam. Adrian menyeruput kopinya sejenak untuk mengalihkan pikiran. “Kenapa kamu teriak-teriak panggil Nicholas?” “Nicholas bolos kelas lagi hari ini, Om!” Jawab Arletta teringat tujuannya berteriak memanggil Nicholas. Adrian menghela napas. “Memangnya kenapa? Nicholas memang sering bolos kuliah, kan?” “Ini menyangkut tugas kelompok Arletta tauk, Om.” Jawab Arletta menggebu. “Kelompok Arletta nggak boleh maju presentasi kalau anggotanya enggak lengkap. Nicholas nggak masuk lagi. Sebel.” “Nicholas tidur.” Kata Adrian memberi tahu, kemudian dia melihat Bi Atik—asisten rumah tangganya yang baru saja turun dari kamar Nicholas. “Sudah coba bangunin Nicholas, bik?” “Sudah, Pak.” Jawab Bik Atik dengan wajah ketakutan. “Maaf, Pak. Tapi saya nggak berani. Tadi hampir di lempar lampu tidur sama mas Nicho.” Arletta hanya melirik Adrian. Arletta menggigit bibir bawahnya, sadar akan Nicholas yang memang susah dibangunkan secara paksa. Kasar, suka mengancam dan berakhir melempar barang apapun pada siapapun yang berani membangunkan Nicholas. “Kamu butuh banget aku bangunin Nicholas?” tanya Adrian. Arletta mengangguk cepat. “Banyak tugas kuliah yang harus Adrian kerjain.” “Oke, tolong pegang.” Adrian memberikan gelas kopinya pada Arletta. Kemudian menggulung lengan kaus panjangnya dan mulai menaiki anak tangga ke kamar Nicholas. Arletta hanya mendongak, diam menunggu dari bawah dan tersentak ketika Adrian menutup pintu kamar Nicholas dengan cara dibanting. Arletta meneguk ludah, ngeri ketika mendengar suara barang pecah dari kamar Nicholas. Entah apa yang dilakukan Adrian agar anak bandelnya itu bangun. Arletta sudah hendak keatas menyusul Adrian begitu tidak ada suara—takut kalau Om tampannya itu terluka karena anaknya sendiri. Tapi kemudian yang terjadi adalah, Nicholas membuka pintu kamar dan keluar dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur. Dia menuruni tangga dengan cepat, wajahnya memberengut kesal. “Bangsat.” Umpat Nicholas setelah melewati Arletta, lalu duduk di sofa ruang tengah dengan mata mengantuk, lalu menggaruk rambutnya. “Lo mau apa sih, Letta?!” Adrian lalu turun dari tangga, mengambil gelas kopi dari tangan Arletta dan mengedipkan mata pada Arletta, “selamat mengerjakan tugas.” Arletta meneguk ludahnya sendiri. Dia bisa pingsan akan pesona maskulin Adrian dan sekaligus bentakan Nicholas. “Heh Arletta!” Arletta memaksakan diri berbalik menatap Nicholas. “Ayo ngerjain tugas!” “Yaudah buruan, ambilin laptop sama buku gue dikamar!” Perintah Nicholas seenak jidat, Arletta hanya diam menatapnya sebal. “Nunggu apa lagi Letta lelet? Cepet sana, Let. Lelet.” Ejek Nicholas kemudian, membuat Arletta menghentakkan kaki kesal dan naik ke kamar Nicholas. Diam-diam Nicholas tersenyum miring. Senang menggoda Arletta, membuatnya mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Bibir yang penuh itu membuat Nicholas rasanya ingin menciumnya keras! Tatapan Nicholas beralih pada pantat Arletta yang begitu menggoda geraknya. Nicholas mengulum bibirnya, jika terlalu lama Arletta ada dirumah ini, Nicholas tidak bisa menjamin ia bisa menahan diri untuk tidak meniduri Arletta. *** Arletta yang duduk di karpet berbulu di ruang santai keluarga yang menghadap ke kolam renang hanya bisa menghela napas sabar menghadapi Nicholas yang malah memakan pizza sambil sibuk bermain ponsel. Arletta lalu menaruh Ipad diatas dada Nicholas ketika lelaki itu berbaring santai di sofa. “Coba cari tokoh-tokoh yang berperan dalam filsafat Nepotisme.” “Dih, lo aja, ah!” Nicholas melempar Ipad-nya lagi ke pangkuan Arletta. “Nicholas, aku capek.” Eluh Arletta. Lalu menatap laptop yang masih terbuka dihadapannya. “Dari tadi aku udah buatin tugas makalah public relations punya kamu. Sekarang apa salahnya kamu cari bahan untuk tugas yang lain.” Nicholas berdecak kesal, lalu duduk. Tapi masih sambil mengetikkan balasan chat. “Nic, kamu dengerin aku nggak sih?” “Bacot banget sih lo.” Nicholas lalu berdiri, melangkah ke kamar begitu saja. “Nicho mau kemana?!” Tapi pertanyaan Arletta dihiraukan oleh Nicholas begitu saja. Arletta mengusap wajahnya. Dia kesal, lelah, harus selalu sabar menghadapi tingkah Nicholas. Kalau saja Tante Vivi tidak berpesan padanya untuk memperhatikan Nicholas, membantunya dan bersabar pada Nicholas, maka Arletta bersumpah tidak akan perduli dengan segala tingkah Nicholas. Tapi, apa yang bisa ia lakukan selain pasrah. Akhirnya Arletta kembali mengerjakan tugas milik Nicholas, bersamaan mengerjakan tugas miliknya. Sesekali Arletta menatap kearah luar—kearah kolam renang. Malam ini sesekali ia mendengar suara petir, hingga sekarang sudah mulai muncul gerimis-gerimis kecil yang menghancurkan ketenangan air di kolam renang. Begitu mendengar suara langkah dari tangga, Arletta menengok. Kini mendapati Nicholas dengan kaus berwarna hitam bertuliskan Balenciaga, memakai celana jeans yang sedikit robek dibagian lututnya dan kalung rantai kecil di lehernya. Nicholas terlihat segar dan sangat tampan. Membuat Arletta terpukau untuk beberapa saat, ditambah kini ia dapat menghirup wangi maskulin Nicholas. Kesadaran Arletta kembali ketika Nicholas bersiul santai sambil memainkan kunci mobil di jarinya. “Mau kemana?” “Kemana-mana hatiku senang.” Jawab Nicholas sambil menjulurkan lidahnya. Arletta tarik pikirannya jika ia mengatakan Nicholas tampan! Nyatanya Nicholas tetap menyebalkan. “Tugasmu gimana?” rengek Arletta. “Lo kerjain, lah.” Kata Nicholas. “Gimana sih?! Aku aduin Om Adrian nih ya!” Arletta hendak berteriak memanggil Adrian, tapi Nicholas segera mendekatinya dan mendekap kedua pipinya. Membuat Arletta membulatkan mata ketika berhadapan dengan wajah Nicholas, amat sangat dekat sekali. “Aduin aja. Lo mau teriak ngaduin gue ke bokap? Silahkan.” Desis Adrian. Lalu tersenyum miring dan mendekatkan wajahnya pada wajah cantik Arletta. “Tapi jangan salahin gue kalau setelah itu gue bikin lo teriak-teriak di ranjang.” Arletta memejamkan matanya, sudah ketakutan dengan Nicholas. Menatap wajah cantik Arletta membuat keinginan Nicholas untuk menyetubuhinya makin besar saja. Rasanya ia ingin mengecup bibir Arletta dan meninggalkan bekas di seluruh kulit lembut Arletta ini. Tapi yang bisa Nicholas lakukan setelahnya hanyalah mengecup pipi Arletta. Karena ia sudah berjanji pada mamanya agar tidak macam-macam dan menjaga Arletta. “Jangan suka membangkang dan bentak-bentak gue.” Bisik Nicholas dengan sensual. “Gue mau ke club. Mungkin nggak pulang. Jadi kunci aja pintunya, gue balik pagi-pagi.” “Kenapa nggak pulang?” tanya Arletta ketika Nicholas melangkah ke pintu keluar. “Gue mungkin tidur di apartemen cewek gue.” Nicholas lalu kembali menatap Arletta. “Daripada gue nidurin lo?” Arletta hanya bisa mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat. Lalu memilih fokus ke tugas kuliahnya lagi daripada harus menghadapi Nicholas. Dasar Nicholas, cowok gila! *** Adrian melepaskan kacamatanya setelah menyelesaikan design villa untuk sebuah hotel di Bali. Ia melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Adrian mengusap matanya dan memijat daerah sekitar alisnya pelan. Ia butuh istirahat sejenak dan butuh kopi lagi setelah mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam. Akhirnya Adrian mengambil gelas kopinya, membuka pintu ruang kerjanya dan seperti biasa merasakan hawa sepi di rumahnya. Tapi ketika ia melewati ruang santai, Adrian melihat lampunya masih menyala dan ada suara ketika keyboard laptop disana. Adrian mendekat, mendapati Arletta sedang mengerjakan tugasnya menghadap laptop. Sesekali gadis itu menguap dan mengusap matanya yang sedikit berair. “Tugasmu masih banyak?” Arletta tersentak, mengangkat wajahnya dan mendapati Adrian berdiri tak jauh darinya. “Masih… lumayan lah.” “Nicholas mana?” Arletta menyengir kecil. “Pergi.” “Nggak pulang?” tanya Adrian dan Arletta menggeleng kecil sambil tersenyum. Senyum yang membuat Adrian gemas olehnya. “Mau aku bikinin minuman?” “Nggak usah, Om.  Arletta sendiri aja.” Adrian hanya tersenyum. Lalu berlalu ke dapur begitu saja. Membuat kopi untuknya lagi dan cokelat hangat untuk Arletta. Jika sudah malam seperti ini rumahnya sepi, hanya ada satpam yang menjaga di pos satpam depan rumah. Tak lama kemudian, Adrian kembali ke ruang santai. Meletakkan gelas berisi cokelat hangat di meja kaca disamping laptop Arletta, sedangkan Adrian lebih memilih duduk di sofa yang berada dibelakang punggung Arletta dan menyesap kopinya. “Makasih, Om.” Ucap Arletta dan Adrian hanya mengangguk sambil memperhatikan Arletta mengerjakan tugas. Untuk beberapa saat, suasana hening. Adrian memperhatikan Arletta yang sesekali menyesap cokelat hangat bikinannya sambil lanjut mengetik sebuah makalah. Adrian melihat betapa cekatannya Arletta dalam mengerjakan tugas. “Sudah berapa jam kamu ngerjain tugas?” tanya Adrian. Arletta menghentikkan gerakan jemarinya yang menari diatas keyboard laptop. “Dari kapan ya? Dari sore mungkin?” “Nicholas nggak bantuin?” “Bantuin,” Arletta berbohong. Tangannya mengusap tengkuk dan memijat sendiri bahunya yang terasa pegal. “Bantuin sedikit.” Adrian berdecak. Dia menaruh gelasnya di meja dan memegang kedua bahu terbuka Arletta tiba-tiba, lalu memijatnya lembut. Crop top berwarna putih yang dikenakan Arletta, membuat hanya ada seutas tali dibahunya. “Om, nggak usah—” Arletta tersentak kaget. “Nggak apa-apa. Aku tahu kamu pegel. Relax aja.” Adrian tersenyum kecil. Arletta hanya terdiam, menikmati pijatan lembuat Adrian di bahunya. Nikmat, membuatnya relax. Tapi juga membuat gelanyar aneh dalam perasaan Arletta. Rasanya Arletta ingin tangan Adrian tidak hanya meremas bahunya, tapi meremas bagian tubuhnya yang lain. “Kerjain lagi dong tugasnya.” “I-iya.” Jawab Arletta gugup sambil mulai mengetikkan tugas di laptop. “Ini dikerjain lagi kok.” Adrian terkekeh. “Kamu tuh lucu ya, Arletta.” Adrian terus memijat bahu Arletta, sesekali memijat tengkuk Arletta dan mengusapnya pelan—untuk merasakan betapa lembut dan mulusnya kulit tubuh gadis muda seperti Arletta yang semuanya masih kencang. Selagi memijat, tatapan Adrian dibuat salah fokus oleh belahan dada Arletta yang terlihat dari tempatnya duduk ini. Posisinya duduk yang lebih tinggi dari Arletta membuat Adrian dapat melihat bagian atas gundukan payudara Arletta yang kulitnya putih itu. Adrian diam-diam meneguk salivanya. Menyentuh seinci kulit Arletta saja membuatnya berfantasi secara liar. “Kenapa Om Adrian bisa bilang Arletta lucu?” tanya Arletta tiba-tiba. Adrian berpikir sejenak, remasan pijatannya di bahu Arletta melambat. “Karena kamu kelihatan polos.” “Kelihatan polos ya?” Arletta tertawa kecil, tawa yang indah. Tapi Adrian malah makin fokus pada dua gundukan payudara Arletta. “Arletta… pengen nggak dianggep polos lagi sama Om Adrian.” Diam-diam Arletta menggigit bibir bagian bawahnya ketika telapak tangan kiri Adrian turun dari tengkuknya ke tulang selangkanya dan kemudian turun lagi. Adrian mengarahkan tangannya pelan ke payudara Arletta. Masa bodoh setelah ini Arletta akan menamparnya, atau berteriak kencang, atau mengumpat keras di depan wajahnya. Adrian hanya ingin merasakan kelembutan payudara Arletta yang selalu dalam bayang-bayangnya. Dan Adrian terdiam ketika telapak tangannya masuk kebalik baju Arletta, langsung menyentuh memenuhi payudara kiri Arletta. Telapak tangannya merasakan kehangatan payudara itu dan merasakan tonjolan puting Arletta secara langsung. Jantung Adrian berdegup kencang, ia mencoba meremas pelan payudara kiri Arletta dan Arletta memejamkan matanya sambil mengulum bibirnya. Walaupun sejujurnya jantung Arletta berdegup kencang, tak percaya seorang Adrian Julian Pratama menyentuhnya. Meremas payudaranya dengan gerakan sensual. “Arletta kamu…” suara Adrian terdengar serak ketika kedua tangannya masuk kebalik baju Arletta dan meremas-remas kedua payudara Arletta yang terasa lebih besar dari milik Vivi, lebih kencang dan sangat lembut. “Kamu begitu lembut.” “Eumhhh,” gumaman nikmat Arletta seolah menjawab segala keraguan Adrian untuk menyentuh Arletta lebih jauh. Arletta menyukai sentuhannya. Adrian menarik cepat pinggang Arletta ke pangkuannya dan Adrian langsung meremas lebih kencang payudara Arletta—karena ia gemas dan sangat menyukainya, kemudian mengecupi lidah Arletta. “Aaahh, Om Adrian,” Arletta mendesah ketika bibir lembab Adrian mengecup tengkuknya, kemudian lidahnya menjilat tengkuk Arletta dan bibir Adrian terbuka menghisap kulit leher Arletta dan menggigit kecil disana. “Eumhhh…” Tangan Arletta terangkat ketika Adrian menarik lepas crop top-nya dan melepaskan bra-nya. Membuat payudaranya sedikit jatuh tanpa penopang. Tangan Adrian segera meraih payudara itu dan meremasnya lagi, membuat Arletta mendesis nikmat. Rasa geli dan nikmat bercampur menjadi satu ketika telapak tangan Adrian memutar putingnya, ketika jari telunjuk Adrian menarik-narik putingnya, memilinnya dan menekannya—lalu meremasnya lagi dengan cukup keras. Arletta mengulum bibir, sesekali bibirnya terbuka mengeluarkan desahan nikmat ketika Adrian meremas payudaranya kencang. Rasa penasaran Adrian akan tubuh Arletta makin besar. Perlahan telapak tangan kiri Adrian turun mengusap perut rata Arletta, sedang tangan kanannya masih bergantian memainkan puting dan meremas payudara memukau Arletta. Tangan Adrian terus turun menelusup masuk ke hotpants yang dipakai Arletta dan masuk ke celana dalam Arletta. Adrian baru saja menyentuh kewanitaan Arletta yang mulus. Adrian mengusapnya naik-turun, menebak kewanitaan Arletta bersih tanpa bulu. Ketika makin menekan masuk, Adrian dapat merasakan cairan hangat di bibir kewanitaan Arletta. “Kamu sudah basah.” Bisik Adrian sensual sambil mengulum daun telinga Arletta. Arletta menggigit bibir bawahnya ketika jari tengah Adrian memaksa masuk ke sela kewanitaannya. “Buka kakimu lebih lebar, baby.” Arletta menuruti, membuka kakinya lebih lebar perlahan dan ia langsung membekap mulutnya ketika terkesiap saat jari Adrian mengusap klitorisnya dengan cepat. “Om,” napas Arletta tersenggal. Ia menyentuh tangan Adrian. “Pelan-pelan.” “Tenang, sayang.” Jemari Adrian makin masuk menekan klitoris Arletta yang terasa lembab dan panas. “Ini akan berubah nikmat.” “Eummhh, ahhh,” napas Arletta tersenggal ketika jari telunjuk Adrian bergerak naik turun membelai klitorisnya. Beberapa kali berusaha menusuk masuk ke lubang kewanitaan Arletta tapi Arletta bergerak tidak nyaman dan mengernyitkan dahinya. Arletta terus mendesah ketika kocokan jemari Adrian makin cepat di bibir kewanitaannya. Mengocok di dalam sana, mempermainkan jarinya pada klitoris Arletta yang mampu menaikan libido Arletta. Tubuh Arletta mengejang, napasnya makin tersenggal ketika Adrian mempercepat gerakan jemarinya mengocok kewanitaan Arletta. Jantung Arletta berdegup kencang ketika merasakan sesuatu mendesak keluar dari inti kewanitaannya. “Jangan ditahan, Arletta.” Napas Adrian juga tersenggal karena tubuh Arletta yang bergerak-gerak di pangkuannya membuat pantat Arletta terus menggesek kejantanannya yang sudah menegang ini. “Keluarkan saja.” “Arletta—” napas Arletta tersenggal, ia meraih tengkuk Adrian dan meraih bibir Adrian untuk dilumatnya dengan keras. Adrian mendapatkan ciuman Arletta, ia memejamkan matanya dan terus mengoyak kewanitaan Arletta walaupun Arletta membekap teriakannya dalam ciuman mereka berdua. Adrian dapat merasakan tubuh Arletta yang mengejang dan kakinya yang bergetar saat gadis itu mendapatkan orgasme pertamanya. Napas Arletta putus-putus ketika Adrian melepaskan ciumannya dan memperlambat gerakan jemarinya di klitoris Arletta. Kini jemari Adrian merasakan kental dan hangatnya cairan orgasme Arletta. Jantung Arletta berdegup kencang seusai orgasme. Hanya suara deru napas mereka berdua yang memenuhi rumah yang sepi ini. Arletta membenarkan posisi duduknya dan merasakan sesuatu yang keras dan terasa aneh menusuk pantat dan pahanya dari balik celana Adrian. “Kamu merasakan tegangnya saya?” Arletta mengangguk, menggerakan pantatnya lagi menggesek kejantanan Adrian yang menegang. Membuat Adrian mengerang. Arletta lalu turun dari pangkuan Adrian. Dia membalikkan badannya dan kini duduk menghadap Adrian. Adrian tak bisa mengalihkan tatapannya dari Arletta saat ini. Arletta yang duduk dihadapannya tanpa baju membuatnya makin sesak dibawah sana. Payudara besar itu terlihat memerah bekas remasannya. Pipi Arletta bersemu merah dan ada sedikit peluh di dahinya, menambah kesan seksi milik Arletta dihadapan Adrian. Perlahan, Arletta mengarahkan tangannya ke kejantanan Adrian yang menonjol dibalik celana yang Adrian pakai. Lalu meremasnya pelan. Adrian mengerang dan menyentuh tangan Arletta, membimbing tangan Arletta terus meremas kejantanan Adrian. Rasanya bagi Arletta aneh, menonjol, keras, namun Arletta juga merasakan sesuatu yang empuk dan membuat Arletta meremasnya sedikit lebih keras. “God!” Adrian meneguk salivanya dan langsung meraih tengkuk Arletta, melumat bibir yang terbuka itu dan menelusupak lidahnya kedalam mulut Arletta. Ciuman mereka makin dalam, Adrian menggendong Arletta seperti bayi koala dan melangkah ke kamar Arletta yang berada di lantai satu. “Kamu sudah merasakannya, Arletta.” Ucap Adrian di sela-sela lumatannnya. Lalu melumat bibir Arletta lagi. “Milikku tegang, minta kamu puaskan.” Arletta hanya tersenyum disela-sela ciumannya dengan Adrian. Dia membiarkan Adrian membuka pintu kamarnya, lalu membaringkan Arletta di kasurnya. Jantung Arletta berdegup kencang saat Adrian menarik lepas kausnya dan menurunkan celananya. Membuat Arletta dapat langsung melihat tubuh atletis Adrian serta penis yang mengacung itu. Terlihat besar dan tegang. Arletta memejamkan matanya ketika Adrian naik keatas kasur dan berada diatas tubuh Arletta. Ia merasakan penis Adrian yang tegang menekan paha bagian dalamnya ketika Adrian merapatkan tubuhnya. Di kamar Arletta dengan pencahayaan yang remang-remang ini, mata Adrian menatap keseluruhan gadis yang berbaring pasrah dibawahnya ini. Perlahan tapi pasti, Adrian melepaskan kait hotpants Arletta dan membukanya. “Aku akan menurunkan ini kalau kamu mengijinkannya Arletta.” Arletta membuka matanya, balas menatap mata Adrian. Dia menggigit bibir bawahnya, terlihat memikirkan sesuatu. “Kalau kamu mengijinkan aku membuka ini, itu artinya kamu mengijinkan aku melihat kamu seutuhnya dan mengijinkan aku memasuki kamu lebih dalam lagi.” Adrian mengusap paha Arletta secara perlahan. “Bagaimana?” Tubuh Arletta terasa terbakar gairah melalui sentuhan tangan Adrian yang sensual. Arletta mengangguk pelan, terkesan malu-malu. Sampai akhirnya ia mendapati senyum puas Adrian dan membiarkan Adrian menarik lepas hotpants dan celana dalamnya. Adrian terpukau menatap Arletta yang berbaring pasrah dibawahnya tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuh indahnya. Tubuh Arletta begitu indah, payudaranya membusung padat dan terlihat menggoda dengan puting sedikit kecokelatan. Perut rata Arletta dan pinggang ramping itu menuntun pandangan Adrian pada kewanitaan Arletta yang dicukur bersih tanpa bulu. Adrian tak bisa memungkiri bahwa sekarang ia membandingkan tubuh indah Arletta—gadis muda ini dengan istrinya yang bahkan lebih tua dua tahun dari Adrian. Tubuh Vivi sudah mengendur di beberapa bagian dan perut Vivi tak serata Arletta. Adrian merindukan tubuh gadis muda untuk ia jamah, dan tubuh Arletta benar-benar mengundang gairahnya. Tanpa menunggu apapun lagi, Adrian kembali menurunkan tubuhnya dan melumat lembut bibir Arletta. Arletta membalas ciuman Adrian, membalas sapuan lidah Adrian pada rongga mulutnya. Bibir mereka saling mencecap rasa satu sama lain, saling menghisap, saling bertukar saliva. Napas Arletta tersenggal ketika Adrian melepaskan ciuman mereka dan ganti mengecupi serta menghisap tengkuk Arletta. Arletta mendesis kegelian karena lidah Adrian di tengkuknya dan tangan Adrian yang kembali meremas payudaranya. Adrian benar-benar tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Tubuh Arletta yang ia bayangkan, sekarang sudah bisa ia jamah secara nyata. Bibir Adrian mengecup seluruh inci tubuh Arletta. Dari tengkuk ke tulang selangka, ke belahan dadanya, sampai akhirnya Adrian mewujudkan fantasinya akan Arletta juga, Adrian akhirnya memasukkan puting Arletta ke mulutnya. Menghisapnya keras sampai Arletta mendesah sambil meremas rambutnya. Adrian memejamkan matanya, menikmati dirinya yang mengulum buah dada Arletta. Meremasnya, mengulum keduanya bergantian. Gumaman nikmat Arletta terus terdengar memenuhi kamarnya ketika lidah Adrian menyapu putingnya, jilatannya melingkari putingnya, menggigit kecil putting Arletta yang menegang. Segala respon fisik Arletta terhadap Adrian baru ia rasakan pertama kali ini. Kulit tubuhnya meremang, bagian bawahnya terasa basah ketika Adrian mengulum payudaranya dengan nikmat secara bergantian. Payudara Arletta terasa mengerang dan makin tegang ketika mulut Adrian terus mengulum dititik itu. “Enghh,” mata Arletta terpejam dan mulutnya terbuka mengeluarkan desahan nikmat. Kecupan Adrian turun ke perut Arletta, kemudian Adrian menekuk kaki Arletta dan membukanya makin lebar. Tak ayal pipi Arletta bersemu merah ketika menghadapkan bibir kewanitaannya yang terbuka persis dihadapan wajah tampan Adrian. “Kamu begitu indah, Arletta.” Adrian mengecup bibir kewanitaan Arletta yang basah, membuat Arletta tersentak kegelian bercampur kaget saat Adrian tak hanya mengecup kewanitaannya, tapi juga menjilatinya. “Om Adrian, eumhh…” Arletta hendak menutup kakinya karena kegelian, tapi tangan Adrian menahannya. Adrian mengusap bibir kewanitaan Arletta yang merekah merah dan menggoda, kemudian Adrian kembali mengecup tengkuk Arletta dan mencium lagi bibir Arletta itu. Adrian memegang kejantanannya yang langsung makin mengeras dan berkedut ketika menyentuh ujung kewanitaan Arletta. Jantung Adrian berdegup kencang ketika Arletta memekik dan memeluk punggung Adrian dengan keras. “Ah!” Arletta memalingkan wajahnya ketika baru ujung kejantanan Adrian masuk ke lubang kewanitaannya. Rasanya benar-benar dipaksa terbuka, seperti benda asing yang tumpul masuk ke kewanitaannya yang selama ini tertutup rapat. Adrian membiarkan Arletta menenangkan diri dan beradaptasi sejenak. Walaupun sejujurnya Adrian tidak sabar, ini baru ujungnya saja, belum keseluruhan. Merasa Arletta cukup tenang, Adrian mulai lagi menekan kejantanannya masuk. “Om Adrian,” Arletta menahan dadanya, Adrian sudah menatapnya tak sabaran walau wajah sayu Arletta kini menatapnya. “Pelan-pelan aja, ya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD