Suasana rumah sakit sore itu terasa tegang. Hujan yang belum juga reda membuat langit tampak gelap meski belum malam. Di ruang perawatan VIP, Cindera berdiri di samping ranjang pasien lansia yang kemarin ia tangani — lelaki tua bernama Tuan Wiratama, yang ternyata menderita penyakit jantung cukup serius.
Tiba-tiba, pintu ruang pasien terbuka dengan hentakan keras. Seorang pria tinggi, berjas hitam, berwajah tampan namun dingin, melangkah masuk dengan langkah tegas. Di belakangnya, dua orang berpakaian formal tampak ikut masuk — jelas, ini bukan keluarga biasa.
Perawat yang sedang mencatat data pasien langsung menunduk gugup.
Cindera menatap pria itu dengan tenang meski jantungnya berdegup cepat.
> “Siapa dokter yang bertanggung jawab atas kakek saya?” suara pria itu dalam dan tegas.
Cindera melangkah maju satu langkah, menatapnya dengan sopan namun percaya diri.
> “Saya, dr. Cindera Yudha Bimantara. Saya yang menangani Tuan Wiratama sejak beliau dibawa kemarin malam.”
Pria itu — Elvan Wiratama — menatapnya lama, seolah menilai dari ujung kepala sampai kaki. Wajahnya datar, tapi matanya tajam.
> “Kakek saya menderita penyakit jantung kronis. Kalau sampai terjadi sesuatu karena kelalaian sedikit pun…” suaranya menurun tapi penuh tekanan,
“...saya tidak akan segan menuntut siapa pun yang bertanggung jawab.”
Perawat menelan ludah, sementara ruangan terasa lebih dingin. Tapi Cindera tetap berdiri tegak.
> “Saya paham, Tuan Elvan. Tapi Bapak Anda dalam penanganan terbaik. Kami sudah memberikan terapi awal dan memantau EKG setiap jam. Kondisi beliau saat ini stabil.”
Nada suaranya tenang — tanpa ketakutan, tanpa membela diri berlebihan. Justru ketegasan itu membuat Elvan sedikit terdiam.
Ia menatap wajah Cindera lebih lama, lalu mendengus pelan.
> “Saya harap kata-kata Anda bisa dipertanggungjawabkan, Dokter.”
Sebelum pergi, Elvan sempat menatap kakeknya yang tertidur lemah, lalu kembali menoleh pada Cindera.
> “Saya tidak peduli siapa Anda, tapi jika terjadi sesuatu pada kakek saya…” ia menatap tajam, “...hidup Anda bisa berubah, Dokter.”
Begitu pria itu keluar, Cindera baru bisa menarik napas lega. Perawat yang tadi mendampingi mendekat, berbisik pelan,
> “Dok… itu Elvan Wiratama, pengusaha muda yang terkenal dingin dan keras. Banyak dokter yang gugup kalau berhadapan dengannya.”
Cindera hanya tersenyum samar, lalu memandangi pasien tua itu yang masih tertidur.
“Aku tidak takut pada ancaman, asal aku tahu apa yang kulakukan benar,” gumamnya pelan.
Namun dalam hati kecilnya, ia tahu — pertemuan dengan Elvan Wiratama bukanlah kebetulan. Pria itu akan menjadi bagian dari takdir baru dalam hidupnya — entah sebagai ujian, atau sebagai jalan menuju perubahan besar.
Malam itu, rumah sakit mulai sepi. Hanya terdengar langkah kaki para perawat yang hilir-muncul dan suara mesin monitor jantung berdetak pelan di setiap ruang pasien. Cindera baru saja keluar dari ruang perawatan Tuan Wiratama, memastikan tekanan darahnya stabil dan obat-obatnya sudah diberikan sesuai jadwal.
Ia berjalan menuju ruang dokter untuk memeriksa hasil lab dan memperbarui catatan medis pasien di komputernya. Di sana, meja kerjanya tertata rapi — hanya ada tumpukan berkas, stetoskop, dan cangkir kopi yang sudah dingin. Ia baru saja duduk, ketika suara langkah kaki dengan dentingan sepatu tinggi terdengar mendekat.
> “Hai, Kak Cindera~!”
Suara itu terdengar ceria tapi menusuk telinga. Cindera menoleh perlahan — dan di sana berdirilah Kinanti, sepupunya, dengan jas putih dokter muda dan senyum yang dibuat manis. Di belakangnya, Banyu berjalan santai sambil menatap layar ponselnya, seolah tak ada beban.
Cindera terdiam. Matanya sempat bertemu dengan Banyu sekilas, tapi ia segera menunduk dan pura-pura fokus pada berkas.
> “Ada apa, Kinanti?” tanyanya pelan, berusaha profesional.
Kinanti berjalan menghampiri meja Cindera, lalu bersandar manja di pinggirnya.
> “Kak, aku kan masih koas, nih. Besok aku dapat jadwal ikut pemeriksaan pasien VIP juga. Aku denger Kak Cindera yang pegang jadwalnya.”
Cindera mengangguk tanpa menatap wajahnya.
> “Iya, aku yang atur. Kamu mau aku bantu atur jadwalnya?”
Kinanti tersenyum lebar, lalu dengan sengaja melirik ke arah Banyu sebelum menjawab,
> “Iya dong, Kak. Soalnya aku kan satu tim sama dokter Banyu, nih~. Jadi biar kita bisa satu jadwal terus. Hehehe.”
Nada manja itu menusuk telinga Cindera. Ia berusaha menahan ekspresi, tapi hatinya terasa mencubit keras.
> “Baik, nanti aku sesuaikan jadwalmu,” jawabnya datar.
Kinanti pura-pura menghela napas lega dan menatap Banyu sambil menepuk lengannya.
> “Tuh, kan, Kak Cindera baik banget. Beda banget sama yang dibilang orang-orang. Katanya galak, tapi ternyata enggak.”
Banyu hanya melirik sekilas ke arah Cindera. Tatapannya seolah ingin bicara banyak hal, tapi bibirnya tak mengeluarkan satu kata pun.
> “Kita pergi dulu, Nin. Jangan ganggu dia kerja,” katanya akhirnya.
Namun sebelum pergi, Kinanti mendekat sedikit dan berbisik cukup keras untuk didengar,
> “Makasih, Kak. Oh ya, jangan lupa datang ke acara kecil di kafe minggu ini, ya. Aku dan Banyu mau rayain sesuatu. Siapa tahu Kakak sempat.”
Setelah itu, ia melenggang pergi bersama Banyu — meninggalkan aroma parfum mahal dan perih yang menusuk di d**a Cindera.
Cindera menatap layar komputernya yang mulai buram karena air mata. Tangannya menggenggam pena begitu kuat hingga hampir patah. Ia mengembuskan napas panjang, menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup.
> “Kenapa harus dia lagi, Ya Allah… kenapa harus sepupuku sendiri…”
Tapi kemudian ia menutup mata, menenangkan diri, dan kembali menatap berkas pasien Tuan Wiratama.
“Aku nggak boleh goyah. Aku di sini bukan buat menangisi masa lalu.”
Meski hatinya terluka, Cindera kembali mengetik dengan fokus, mencoba menenggelamkan kesedihan dalam kerja keras. Namun tanpa ia sadari, Elvan, yang baru datang untuk memeriksa kondisi kakeknya, berdiri di luar pintu ruang dokter, memperhatikan sosok Cindera yang tampak tegar meski matanya sembab.
Lorong rumah sakit itu terasa sepi malam itu. Hanya suara langkah kaki petugas jaga dan bunyi mesin infus dari ruang pasien yang terdengar samar. Lampu neon di langit-langit berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang di lantai putih yang berkilau.
Cindera berjalan sambil memegang berkas hasil pemeriksaan pasien lanjut usia yang sedang dirawat di ruang VIP. Ia hendak menyerahkan hasil itu ke ruang dokter jaga, namun langkahnya terhenti saat melihat sosok tinggi dengan jas hitam berdiri di ujung lorong.
Elvan. Laki-laki itu bersandar di dinding, tangan dimasukkan ke saku celana, matanya tajam menatap ke arah Cindera seolah menunggu seseorang untuk dihakimi.
“Dokter Cindera,” ucapnya pelan namun tegas, nadanya dingin menusuk. “Saya dengar kondisi kakek saya tadi sempat drop. Apa penanganannya secepat yang seharusnya?”
Cindera menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Kami sudah melakukan yang terbaik, Tuan Elvan. Tekanan darah beliau memang sempat turun, tapi sekarang sudah stabil. Kami terus memantau—”
“Elvan,” potong pria itu tajam. “Panggil saya Elvan saja. Tapi kalau Anda ingin aman di tempat ini, pastikan tidak ada kesalahan sekecil apa pun terhadap kakek saya.”
Nada suaranya seperti ancaman halus, membuat udara di antara mereka menegang.
Cindera menatap balik, berusaha menunjukkan wibawa meski hatinya bergetar. “Saya tahu tanggung jawab saya, Elvan. Saya dokter, bukan pesuruh Anda. Saya bekerja untuk menyembuhkan pasien, bukan untuk tunduk pada intimidasi.”
Elvan mendengus pelan, lalu melangkah mendekat. Tatapannya menelisik, seolah ingin membaca isi hati Cindera. “Berani juga, ya, berbicara begitu pada keluarga pasien yang bisa dengan mudah memindahkanmu dari rumah sakit ini.”
Cindera menegakkan tubuhnya. “Kalau itu yang Anda mau, silakan. Tapi jangan salahkan saya kalau tidak ada lagi yang setulus ini menjaga kakek Anda malam ini.”
Beberapa detik keheningan tercipta. Hanya bunyi jam dinding yang berdetak. Elvan akhirnya mengalihkan pandangan, entah menahan emosi atau terkesan dengan keberanian Cindera.
“Dokter keras kepala,” gumamnya pelan sebelum berbalik pergi.
Cindera hanya memandangi punggung laki-laki itu yang menjauh di bawah cahaya redup lorong. Hatinya campur aduk antara takut, kesal, dan… entah kenapa, ada sedikit rasa penasaran yang muncul begitu saja.
Apakah pria dingin itu memang seburuk yang ia kira, atau justru sedang menyimpan luka yang belum sempat terobati?
Elvan membuka pintu ruang perawatan dengan perlahan. Lampu di ruangan itu redup, hanya cahaya dari alat monitor jantung yang berkelip pelan di sisi tempat tidur. Bau antiseptik menyengat, khas ruang pasien VIP.
Kakeknya, Pak Bram, tertidur tenang dengan selang infus menempel di tangan. Elvan melangkah mendekat, langkah sepatunya menimbulkan suara lembut di lantai mengilap. Ia menatap wajah tua itu — keriput, pucat, namun tetap menunjukkan keteguhan yang dulu selalu ia kagumi.
“Kenapa kau datang larut begini, Van?” suara serak itu tiba-tiba terdengar.
Elvan tersentak kecil, lalu tersenyum samar. “Kakek belum tidur rupanya.”
Pak Bram membuka mata perlahan, menatap cucunya dengan pandangan lemah tapi hangat. “Kalau aku tidur terus, siapa yang akan menegur cucuku yang keras kepala itu?”
Elvan menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. “Aku cuma ingin memastikan keadaan Kakek. Dokter bilang tekanan darah Kakek sempat turun.”
“Dokter muda itu, Cindera, ya?” tanya Pak Bram pelan. “Aku dengar dia yang menanganiku tadi.”
Elvan mengangguk. “Iya. Tapi aku sudah menegurnya agar tidak ceroboh. Aku tidak mau ada kesalahan.”
Pak Bram menatap cucunya lama, kemudian menghela napas dalam. “Elvan… kau ini terlalu cepat menilai orang. Dokter itu baik, aku bisa merasakannya. Dia memperlakukanku seperti keluarga sendiri.”
Elvan menunduk, rahangnya menegang. “Aku hanya tidak mau kehilangan orang yang aku sayangi lagi, Kek.”
Hening sejenak. Monitor jantung berdetak pelan, suara “bip” nya seperti mengikuti irama hati yang tergores.
Pak Bram menepuk tangan cucunya yang dingin. “Rasa takut itu bisa membuatmu kejam tanpa sadar, Nak. Jangan jadikan kebaikan orang lain sebagai ancaman. Dokter itu sedang berjuang, sama seperti kamu.”
Elvan tak menjawab. Ia hanya memandangi wajah tua itu yang perlahan kembali memejamkan mata. Kata-kata sang kakek bergema di kepalanya, dan entah kenapa, bayangan Cindera malam tadi di lorong rumah sakit kembali muncul begitu jelas.
Wajah tegas, mata yang penuh lelah, namun tetap teguh.
Ada sesuatu yang berbeda dalam diri dokter muda itu. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, tapi membuat dadanya berdebar tanpa alasan.