Cindera masuk ke ruang ganti dengan langkah lemah, berusaha menahan air mata yang sejak tadi menyesakkan dadanya. Begitu pintu tertutup, ia menunduk, menggenggam erat masker di tangannya hingga kusut. d**a terasa berat—semua kejadian tadi, tatapan Banyu, sikap manja Kinanti—semuanya berputar di kepalanya tanpa henti.
Dia duduk di bangku kecil dekat loker, membuka jilbab perlahan, lalu menyandarkan kepala ke dinding dingin. Air matanya menetes, satu per satu, membasahi pipinya tanpa suara.
“Kenapa harus begini, ya Allah… Aku sudah berusaha kuat…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Namun tangisnya terhenti ketika pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka. Suara tawa dua rekan sejawatnya, dr. Riri dan dr. Lintang, terdengar masuk. Mereka tidak sadar Cindera ada di balik sekat loker.
“Kamu tahu nggak sih, yang dulu hampir tunangan sama dr. Banyu itu ternyata dr. Cindera,” suara Riri terdengar pelan tapi jelas.
> “Iya, aku sempat dengar. Kasihan banget, ya? Katanya ditinggal karena keluarganya bangkrut. Bener-bener kejam,” sahut Lintang, suaranya penuh simpati namun tetap ada nada gosip.
“Tapi anehnya, sekarang malah sepupunya sendiri, si Kinanti, yang deket sama dr. Banyu. Dunia ini kecil banget, ya,” lanjut Riri sambil tertawa kecil.
“Aku lihat tadi Kinanti pamer cincin segala, padahal belum tentu juga serius. Tapi kasihan Cindera sih, pasti sakit banget hatinya.”
Cindera menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak yang hampir pecah. Tubuhnya gemetar, bukan karena marah pada mereka, tapi karena kebenaran yang mereka ucapkan terlalu menyakitkan. Ia tahu kabar itu pasti akan menyebar—dan kini semua orang tahu betapa “malunya” ia sebagai perempuan yang ditinggalkan di depan altar.
“Ya sudahlah, kita nggak usah bahas lagi. Kasihan Cindera, pasti dia pengin melupakan semuanya,” ujar Lintang menutup percakapan sebelum mereka keluar.
Begitu pintu kembali tertutup, ruangan kembali sunyi.
Cindera menyandarkan kepalanya di lutut, menangis lebih keras dari sebelumnya, kali ini tanpa bisa menahan diri.
“Aku nggak akan jatuh lagi… aku harus kuat,” bisiknya parau.
“Tapi kenapa… rasanya masih sesakit ini…”
Suara tangisnya pelan, namun menggema di ruang sempit itu, menjadi saksi betapa keras ia berusaha menegakkan hati yang sudah hancur.
Sore itu, di halaman rumah tua keluarga Brama Yudha Bimantara, suasana tampak muram. Matahari condong ke barat, menyinari pekarangan yang kini tampak sepi dan tak lagi seramai dulu. Beberapa ibu-ibu kampung berkumpul di warung kecil di seberang jalan, berbisik-bisik sambil menatap ke arah rumah itu.
“Kasihan sih, tapi ya gimana… katanya waktu itu calon suaminya ninggalin pas mau tunangan, ya?”
“Iya, Banyu Biru, anak pengusaha kaya itu. Dengar-dengar karena keluarga Cindera bangkrut. Namanya juga laki-laki, pasti mikir dua kali.”
“Makanya, anak perempuan kalau terlalu tinggi mimpi, akhirnya jatuhnya sakit. Sekarang malah jadi bahan kasihan orang sekampung.”
Suara-suara itu begitu menusuk, meski diucapkan pelan. Ada pula yang dengan enteng menambahkan,
“Katanya, semenjak kejadian itu rumah Pak Brama juga sepi terus. Dibilang sih Cindera itu pembawa sial, lihat aja, baru mau tunangan, langsung usaha ayahnya jatuh.”
Tawa kecil terdengar di antara bisik-bisik itu, tanpa mereka sadari bahwa dari balik tirai jendela rumah yang sedikit tersingkap, Ibu Cindera, Ratna, berdiri memandangi mereka dengan mata sembab. Ia menggenggam ujung tirai dengan erat, menahan tangis yang nyaris pecah.
Sementara itu, Brama duduk di teras rumah, menatap kosong ke arah jalan. Tatapan lelaki paruh baya itu tajam namun penuh kesedihan. Ia mendengar semuanya, setiap cibiran, setiap kata yang menusuk anak gadisnya.
“Mereka nggak tahu apa-apa,” gumamnya lirih. “Cindera itu bukan pembawa sial… dia cuma perempuan yang terlalu tulus mencintai.”
Tak lama kemudian, Cindera keluar dari dalam rumah, mengenakan gamis sederhana dan wajah pucat tanpa riasan. Ia membawa teh untuk ayahnya, berusaha tersenyum walau bibirnya bergetar.
“Ayah, jangan didengar omongan orang, ya…” katanya pelan.
Brama menatap putrinya lama sekali, lalu tersenyum lembut, menepuk tangannya.
> “Ayah nggak peduli apa yang mereka bilang, Nak. Yang penting kamu kuat. Mereka cuma bisa bicara, tapi nggak tahu apa yang sebenarnya kamu lalui.”
Air mata Cindera menetes tanpa bisa ditahan. Ia bersimpuh di samping ayahnya, menggenggam tangan Brama erat-erat.
> “Maaf, Yah… karena aku, semua orang jadi memandang rendah keluarga kita.”
Brama menggeleng, lalu mengusap kepala putrinya dengan kasih sayang.
> “Kamu nggak salah, Cindera. Mereka boleh hina, boleh tertawa, tapi lihat saja… satu hari nanti, kamu akan berdiri lagi. Kamu akan buktikan kalau kamu bukan perempuan lemah, dan bukan pembawa sial.”
Cindera menunduk, menangis di pangkuan ayahnya. Di luar, suara tetangga yang menggunjing masih terdengar samar-samar — tapi di hati gadis itu, mulai tumbuh tekad yang perlahan menggantikan luka.
"Aku akan bangkit, Yah,” ucapnya lirih.
“Aku janji.”
Hari-hari Cindera kini berjalan begitu berat. Setelah kebangkrutan keluarga dan pembatalan pertunangannya, ia memilih untuk kembali fokus bekerja di rumah sakit tempatnya magang. Namun, kenyataannya jauh dari kata mudah.
Sebagai dokter magang, gaji yang ia terima tidak seberapa. Sementara tagihan demi tagihan terus berdatangan. Rumah keluarga mereka yang dulu megah kini tampak sederhana, banyak barang berharga yang sudah dijual untuk menutupi hutang lama.
Malam itu, di ruang makan yang hanya diterangi lampu redup, Cindera duduk bersama ayah dan ibunya. Di meja hanya ada sepiring nasi, tempe goreng, dan sambal. Tak ada lauk mewah seperti dulu, tapi ketiganya berusaha menikmati dengan hati lapang.
Ratna, ibunya, mencoba tersenyum meski suaranya pelan,
“Nanti Ibu coba bantu jualkan kue lagi, ya, Der. Siapa tahu bisa nambah uang belanja.”
Cindera menatap ibunya dengan mata berkaca, lalu berkata lirih,
“Ibu nggak perlu capek-capek. Aku bisa kerja tambahan, kok. Di rumah sakit butuh dokter jaga malam di IGD. Aku bisa ambil shift lebih banyak.”
Brama, sang ayah, yang kini sering sakit-sakitan karena stres setelah perusahaannya bangkrut, menatap putrinya dengan iba.
“Nak, kamu jangan forsir diri. Kamu masih muda, masih butuh istirahat. Ayah nggak mau kamu tumbang.”
Cindera tersenyum lembut. Ia menggenggam tangan ayahnya, hangat tapi lemah.
“Ayah, selama aku bisa bantu, aku nggak apa-apa capek. Aku cuma pengin lihat Ayah sama Ibu tenang lagi.”
Namun malam itu, saat semua sudah tidur, Cindera duduk sendirian di meja kecilnya, membuka catatan keuangan keluarga. Matanya menatap angka-angka merah yang terus bertambah: biaya obat ayahnya, listrik, sewa rumah baru, hingga sisa hutang ke bank.
Gajinya sebagai dokter magang — tak sampai lima juta per bulan — bahkan tak cukup menutupi kebutuhan dasar. Ia menarik napas panjang, menggigit bibir, lalu menatap foto lamanya bersama Banyu yang masih tersimpan di laci.
“Dulu aku punya segalanya, tapi ternyata… semua bisa hilang dalam sekejap.”
Air matanya jatuh di atas kertas catatan keuangan. Tapi kemudian ia menghapusnya cepat, menegakkan punggung, dan menatap kosong ke jendela malam.
“Mulai besok, aku harus cari jalan lain. Aku nggak boleh terus begini. Aku harus jadi lebih kuat dari luka ini.”
********
Hari itu, hujan turun rintik-rintik di luar rumah sakit. Langit kelabu, udara lembap, dan suara ambulans sesekali terdengar sayup di kejauhan. Cindera baru saja menyelesaikan shift malamnya di IGD ketika perawat datang tergesa-gesa.
“Dok, ada pasien baru di ruang tiga. Lansia, datang sendirian. Sepertinya pingsan di depan apotek,” lapor sang perawat.
Meski lelah dan matanya sudah berat karena begadang, Cindera segera bergegas. Ia mengenakan jas putihnya kembali dan melangkah ke ruang tiga.
Di sana, seorang lelaki tua berambut putih dengan pakaian basah kuyup terbaring lemah di ranjang. Napasnya tersengal, wajahnya pucat, dan tangannya menggenggam dompet lusuh. Tanpa ragu, Cindera langsung memeriksa tekanan darah, denyut nadi, dan kadar oksigennya.
“Bapak dengar saya? Nama saya dr. Cindera, saya akan bantu Bapak, ya,” ucapnya lembut sambil menatap mata sang pasien yang mulai terbuka perlahan.
Lelaki itu mengerjap, menatap wajah Cindera samar-samar.
“Kamu… mirip sekali… dengan seseorang yang pernah saya kenal,” gumamnya pelan.
Cindera tersenyum ramah.
“Mungkin Bapak salah lihat. Sekarang istirahat dulu, ya. Bapak kelelahan.”
Ia memberikan infus dan memastikan kondisi pasien stabil. Selama proses itu, lelaki tua tersebut tak berhenti menatapnya dengan tatapan hangat yang sulit dijelaskan.
Setelah beberapa jam, kondisi pasien mulai membaik. Saat Cindera datang memeriksa ulang, ia melihat sang lelaki sudah duduk bersandar dengan selimut di pangkuannya.
“Terima kasih, Nak. Kamu sudah menolong saya, padahal mungkin kamu juga lelah,” katanya dengan suara serak tapi penuh wibawa.
Cindera tersenyum kecil.
“Itu sudah tugas saya, Pak. Tidak perlu berterima kasih.”
Namun, lelaki itu kemudian menatapnya dengan serius.
“Kamu bilang namamu siapa tadi?”
“Cindera, Pak. dr. Cindera Yudha Bimantara.”
Mata lelaki itu sedikit membesar. Ia mengulang pelan,
“Bimantara…?”
Cindera mengangguk, tak curiga apa-apa. Tapi dalam hati lelaki tua itu, ada sesuatu yang bergetar. Nama itu tidak asing. Ia mengenal keluarga Brama Yudha Bimantara, dulu seorang pengusaha besar yang sempat membantunya di masa lalu.
“Kalau begitu, mungkin sudah takdir kita bertemu, Nak,” katanya lirih, sebelum batuk kecil dan tersenyum tipis.
“Kamu anak yang baik… dan hatimu bersih. Dunia ini masih butuh orang seperti kamu.”
Cindera hanya mengangguk, belum memahami makna kalimat itu. Ia tak tahu, pertemuan sederhana itu akan menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya. Lelaki tua itu bukan pasien biasa, melainkan seseorang yang kelak akan membuka jalan bagi kebangkitan keluarga Bimantara.