Cinta datang karena terbiasa. Itu adalah sebuah kata mutiara yang dulu Nadin pegang teguh dalam hatinya. Ia percaya bahwa seiring berjalannya waktu, hati Tama akan luluh, melupakan Yunita dan menjalani biduk rumah tangga bahagia bersama.
Setidaknya itu adalah satu pemikiran yang dulu Nadin miliki. Sekarang, setelah hampir sembilan tahun menjalani kehidupan sebagai istri Tama, Nadin menyadari bahwa ada beberapa hati yang begitu keras hingga tidak bisa ia tembus dengan cara apa pun.
"Sepatu aku di mana?" tanya Tama, pria itu harus segera berangkat ke tempat kerjanya karena waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi.
Tama adalah seorang owner perusahaan, tugasnya menentukan gambaran besar dan langkah-langkah yang harus diambil dalam perusahaan. Biasanya Tama tidak sering pergi ke perusahaan, jika ada hal-hal penting yang memang harus ia tangani sendiri, baru kemudian Tama akan pergi. Lebih sering lagi untuk Tama bepergian ke luar negeri atau luar kota untuk perjalanan bisnis.
Pria itu jarang meluangkan waktu untuk Nadin dan Dinda, jika Tama tidak bekerja, ia malah akan pergi ke tempat Yunita, mengajak Kaila bermain seharian. Tama bahkan tidak pernah menepati janji yang ia buat pada Dinda ketika Tama mengatakan bahwa ia akan mengajak Dinda ke taman hiburan setelah Tama bebas dari pekerjaan.
Semuanya adalah omong kosong belaka. Seperti hari ini, Dinda menagih janjinya pada sang ayah untuk membawa ia dan ibunya jalan-jalan ke kebun binatang, namun pria itu mendadak harus pergi ke perusahaan, membuat Dinda enggan dan marah melihat ayahnya.
"Sepatu kamu di rak. Sekalian kamu ngomong sama Dinda, dia pasti marah sama kamu," jawab Nadin, ia sibuk menyiapkan bekal makanan untuk Tama.
Tama menganggukkan kepalanya, ia menuju lantai dua di mana kamarnya berada, mengambil salah satu sepatu kerja. Tama tidak langsung pergi setelah itu, ia berjalan menghampiri Dinda yang berbaring tengkurap di tempat tidur.
"Dinda, maafin papa, ya. Minggu depan, deh. Papa janji sama Dinda. Hari ini Papa harus kerja dulu. Nanti pulang kerja Papa bawain Dinda kue strawberry, okey?" Tama berbisik di telinga putrinya.
Melihat Dinda yang tidak menyahut, Tama berpikir bahwa Dinda kembali tertidur. Jadi, setelah mengatakan itu Tama keluar dari kamar.
Dinda diam-diam terisak, tadinya ia ingin mengatakan bahwa yang ia sukai bukanlah kue strawberry, tapi kue coklat. Itu adalah Kaila yang menyukai kue rasa strawberry.
***
"Aku udah bujuk Dinda, tapi dia tidur lagi kayaknya."
Turun dari lantai dua, Tama langsung kembali ke dapur. Pria itu duduk di atas kursi meja makan, menunggu Nadin untuk menyajikan makanan.
Nadin terdiam sejenak mendengar apa yang suaminya katakan. Dia tahu bahwa Dinda pasti berpura-pura tidur, seperti yang sering anak itu lakukan jika Tama membatalkan janjinya. Dengan telaten, Nadin melayani Tama di meja makan, dari mengambil piring, menyiapkan nasi dan lauk-pauk lalu meletakkannya di depan Tama.
Tama memakan sarapannya dengan nikmat, dalam hal makanan, tidak ada yang bisa mengalahkan masakan buatan sang istri.
"Ini kotak bekalnya, jangan lupa nanti dibawa."
Tama mengangguk. Selesai sarapan, Tama bangkit berdiri, dia mencuci tangannya sebentar sebelum akhirnya keluar dari rumah setelah Nadin merapikan dasi suaminya yang agak kusut.
"Love you. Hati-hati di jalan."
"Aku pergi dulu."
Menatap lurus ke depan, Nadin baru meninggalkan ambang pintu saat mobil yang Tama kendarai tidak lagi terlihat.
***
"Om!"
Sebuah panggilan dari seorang gadis kecil membuat Tama menoleh, bibir Tama tertarik ke atas, membentuk sebuah lengkungan saat melihat dua orang perempuan, satu besar dan satu kecil sedang berjalan kearahnya.
"Halo, Sayang," sapa Tama, mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi Kaila yang datang bersama sang ibu ke perusahaan Tama.
Kaila tertawa saat Tama mencium pipinya.
"Mas, semalem kamu dan mbak Nadin enggak berantem, kan?" tanya Yunita dengan suara lembut.
Tama menghela nafas, bangkit berdiri lagi.
"Ayo ke ruangan, ngomongnya di sana aja!" ajak Tama.
Yunita tahu apa yang pria itu maksud, ia mengangguk sebagai tanggapan.
"Om Kaila pengen digendong!" Kaila menarik pelan jas yang Tama kenakan, berteriak dengan suara manja.
Tama dengan senang hati menggendong anak itu.
"Huh, kamu udah gede, masa mau digendong terus sama Om!" ujar Yunita pada putrinya, ada senyum di bibir wanita itu.
"Gak pa-pa. Kaila biasanya ayah yang gendong." Raut wajah Kaila tiba-tiba berubah menjadi sendu, menyandarkan kepala kecilnya pada Tama.
"Udah gak pa-pa. Aku seneng Kaila bisa deket banget sama aku."
Yunita mengangguk, dia juga senang putrinya lebih dekat pada Tama.
Ketiga orang itu melanjutkan langkahnya kembali menuju ruangan Tama. Asisten Tama menunggu di depan ruangannya. Ketika wanita cantik bernama Anisa itu melihat bosnya datang bersama seorang wanita yang sangat ia kenal, kening Anisa diam-diam bertaut.
"Pak," sapa Anisa.
Tama mengangguk sebagai jawaban, membawa Yunita dan Kaila masuk ke dalam ruangannya.
"Pertanyaan tadi, kamu enggak berantem, kan, semalam sama mbak Nadin, Mas?" tanya Yunita, mengulanginya lagi.
Kaila diturunkan dari gendongannya, anak itu seperti sudah sangat akrab dengan tata letak ruangan Tama, bermain dengan mainan yang sering dia bawa.
"Aku enggak tau, dia selalu kaya gitu sama kamu." Tama menghela nafas, menggelengkan kepalanya pada Yunita dengan lelah.
"Gak pa-pa kok, Mas. Aku cuma kecewa karena mbak Nadin nuduh aku sama kamu. Padahal dia tau mas Vino baru meninggal dua hari lalu." Yunita menundukkan kepalanya, duduk di atas sofa panjang.
Terdiam, Tama menatap Yunita dengan rasa sakit yang terlihat di matanya. Tama berjalan menghampiri Yunita, duduk di sampingnya.
"Enggak sudah dipikirkan, Nadin memang seperti itu orangnya."
Yunita mengangguk sambil tersenyum. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Tama. Tama juga tersenyum diam-diam, mengelus rambut hitam milik Yunita yang terasa lembut.
"Aku enggak nyangka mas Vino akan pergi secepat ini, Mas. Aku enggak tau gimana nasib Kaila yang harus tumbuh tanpa sosok seorang ayah."
"Nit, kan, ada aku. Aku bisa menggantikan Vino sebagai figur ayah untuk Kaila, Kaila pasti akan selalu merasakan kasih sayang yang lengkap," ujar Tama, hatinya benar-benar sudah jatuh terlalu dalam pada Yunita.
"Tapi kamu punya mbak Nadin dan Dinda. Dinda enggak mungkin mau berbagi kasih sayang kamu sama Kaila." Yunita menggeleng, menegakan kembali tubuhnya.
"Dinda anak yang baik, dia pasti mengerti. Tadi malam kamu enggak pa-pa, kan?"
Yunita mengangguk, "Kaila demam tadi malam, aku sibuk sampe subuh buat kompres dan ngecek suhu tubuhnya. Untung aja pagi ini suhu tubuhnya normal lagi."
"Kenapa kamu enggak telepon aku? Kalau sakit kita bawa Kaila ke rumah sakit."
"Aku enggak mau ganggu kamu, mbak Nadin pasti nanti marah-marah lagi."