HARMONIS

1018 Words
Waktu ditarik mundur pada kejadian kemarin saat Tama menemani Yunita di rumah sakit yang merawat Kaila sebagai pasien. Pukul sepuluh malam, di mana Kaila sudah tertidur pulas di ranjang rumah sakitnya dan para dokter dan suster juga kembali ke tempatnya masing-masing. Hanya ada Tama dan Yunita yang menjaga Kaila di ruangan VIP itu. "Makasih, Mas, karena sudah mau menemani aku mengurus Kaila, aku enggak tau apa yang akan terjadi kalau aku enggak punya kamu," ucap Yunita, ia duduk bersebelahan dengan Tama di sebuah sofa panjang. Yunita menundukkan kepalanya, kembali melanjutkan apa yang ingin dia katakan dengan rasa bersalah, "Mbak Nadin pasti benci sama aku, kan? Secara aku selalu merepotkan Mas Tama." "Jangan bicara begitu, Kamu sahabat aku, Nit. Nadin sama sekali enggak berhak untuk larang aku peduli sama kamu," sahut Tama, mengusap pucuk kepala Yunita. Yunita mendongak, menatap Tama yang juga sedang menatapnya. Dua pasang manik mata berwarna hitam itu saling bertatapan, atmosfer di sekitar mereka tiba-tiba menjadi hening dan ambigu. Entah sejak kapan, Yunita semakin mendekatkan dirinya pada Tama, hingga bibir wanita itu bersentuhan sepenuhnya pada bibir Tama. Yunita dengan perlahan menggerakkan bibirnya pada bibir Tama, sedangkan Tama terdiam kaget dengan apa yang Yunita lakukan. "Mas, aku tau kamu masih cinta sama aku, kan?" bisik Yunita, ia menyandarkan tubuhnya pada Tama, memperdalam ciumannya. Bagaikan tersihir begitu saja, Tama ikut aktif dalam ciuman Yunita, tangannya menyusup kebelakang leher wanita itu, menyesap dalam-dalam bibir wanita yang udah ia cintai selama bertahun-tahun. Suara decapan dan hisapan terdengar di telinga mereka berdua, keduanya memejamkan mata, menikmati setiap kali bibir mereka saling bersentuhan. Lidah keduanya terjerat, seolah tengah berlomba untuk mendapatkan saliva satu sama lain. Saat ciuman Yunita tiba-tiba turun pada leher Tama, di mana lipstik merahnya sedikit menodai kerah kemeja yang Tama gunakan, Tama tiba-tiba mendorong Yunita menjauh. "Kita enggak bisa kaya gini," ujar Tama terengah karena ciuman tadi. "Mas." Yunita juga terengah-engah, "Kamu masih cinta, kan, sama aku? Terus apa salahnya?" "Aku punya Nadin Nit. Ya, aku memang masih cinta sama kamu, aku peduli sama kamu, tapi itu bukan berarti aku berniat mengkhianati Nadin. Kamu sebaiknya tidur, aku keluar dulu." Lalu tanpa mengatakan apapun lagi Tama beranjak dari sofa, keluar dari ruang rawat Kaila. Yunita marah melihat punggung Tama yang menghilang di balik pintu. Jelas Tama mencintainya dan sekarang ia bersedia menjadi kekasih Tama, tapi kenapa pria itu menolaknya sekarang. Bukankah Tama seharusnya rasa senang karena orang yang dicintainya membalas cintanya. Yunita menyentuh bibirnya yang basah, berpikir bahwa Tama tidak menolak ciumannya tadi dan itu berarti masih ada kesempatan untuknya. *** "Mas?" Tama tersadar dari lamunannya, pria itu mengusap dahinya dengan pelan. "Kenapa enggak di makan? Kepala kamu pusing?" tanya Nadin, mereka sedang berada di salah satu restoran mall, ketiganya lapar setelah seharian berjalan-jalan di mall. "Sedikit pusing," jawab Tama. "Kalau gitu habis ini kita pulang, nanti di rumah aku pijat." Tama menganggukkan kepalanya. Selesai makan siang, keluarga tiga orang itu bergegas untuk pulang. Di dalam mobil, Nadin mengusap dahi Tama sedangkan Tama sedang mengemudi. Ketika tiba di rumah, Nadin langsung keluar dari mobil, di ikuti Tama dan putrinya Dinda. "Dinda ngantuk, Ma," adu Dinda, anak itu menguap berkali-kali sambil mengusap matanya. "Kalau gitu kamu tidur," titah Nadin. Dinda mengangguk, pergi ke kamarnya untuk tidur. Nadin juga sedikit lelah, tapi ia ingat bahwa ia masih harus memijat suaminya. Ia berjalan menuju kotak P3K, ada minyak herbal yang sengaja Nadin siapkan di sana. Tama berbaring dipangkuan istrinya, pria itu memejamkan mata menikmati setiap pijatan yang istrinya berikan. Nadin memijat dahi Tama dengan pelan dan lembut, keduanya sedang berada di atas tempat tidur mereka sekarang. "Lain kali jangan terlalu sibuk, jangan terlalu lama mantengin laptop juga," ujar Nadin pada Tama. Tama membuat deheman kecil, entah pria itu mendengarkan apa yang Nadin katakan atau tidak. Entah berapa lama.Nadin memijat, Tama sudah tertidur dengan pulas. Secara perlahan Nadin memindahkan kepala Tama yang bertumpu pada pahanya keatas bantal yang dia siapkan. "Aku mandi dulu aja, ah," gumam Nadin pada dirinya sendiri. Jam enam sore, Tama terbangun dari tidurnya. Ia turun dari tempat tidur dan keluar dari kamar untuk menemukan Nadin. Tama berjalan menuruni anak tangga, tempat pertama yang Tama tuju adalah dapur karena biasanya di jam segini istrinya pasti sedang memasak makanan dan benar saja, ketika Tama tiba di dapur ia melihat Nadin yang sedang sibuk dengan peralatan dapurnya. "Masak apa?" tanya Tama, berjalan menghampiri Nadin. "Aku masak kari, enak loh, ini sebentar lagi matang." Tama berdiri di samping Nadin, dia mengambil sendok kecil dan menyendok sedikit kari yang hampir selesai di masak. Tama meniup sebentar kari dalam sendok, setelah dirasa tidak terlalu panas, Tama memasukannya kedalam mulut. "Enak," puji Tama. "Ya, iyalah, lagian siapa yang masak!" Nadin berkata dengan sombong pada suaminya. Tama tersenyum, masakan Nadin benar-benar sangat enak. Bahkan Yunita tidak bisa memasak seenak ini. Tama pernah merasakan masakan Yunita. "Kamu duduk dulu," titah Nadin pada Tama. Menurut, Tama duduk di atas kursi meja makan. Dia menatap punggung istrinya yang sedang sibuk dalam diam. Sore yang damai, tidak ada perdebatan tentang apapun seperti sore-sore sebelumnya. Baik Nadin maupun Tama dalam suasana hati yang baik, jarang keduanya tidak meributkan tentang Yunita dan Kaila. "Karinya sudah siap!" Nadin menyajikan nasi kari yang dia buat. Nasi putih yang dibaluri dengan kari berwarna oranye, serta susunan katsu yang renyah di pinggirannya, Tama menikmati makanannya dengan senang hati. "Aku keatas dulu, mau membangunkan Dinda." Tama mengangguk. Nadin melenggang pergi meninggalkan suaminya, hanya ada Tama sendiri di dapur saat ini. Ketika makanan Tama hampir habis, ponsel dalam saku tiba-tiba bergetar. Tama merogoh sakunya, melihat nama Yunita yang mengirim pesan padanya. Yunita: Mas, boleh kita ngobrol soal kemarin di rumah sakit? Kamu diam sejak itu, aku cuma punya kamu, aku enggak tau harus kaya gimana kalau kamu jauhin aku. Bener kata Mbak Nadin, mungkin aku memang terlalu sering merepotkan Mas Tama. Kening Tama berkerut, Ia pada akhirnya hanya menghela nafas tidak berdaya. Tama tidak marah sama sekali pada Yunita, ia hanya merasa bersalah pada istrinya, merasa bahwa ia telah mengkhianati Nadin. Tama: Ayo bertemu besok. Diseberang sana, Yunita tersenyum senang melihat balasan dari Tama. Yah, bahkan jika Tama marah padanya, dia akan tetap menjadi wanita nomor satu di hati Tama!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD