Chapter 4. Berjanji Saling Menerima

1302 Words
"Kenapa kalian putus?" tanya Edgara pelan sambil menyetir. Suaranya terdengar hati-hati, seolah takut mengorek luka lama Carisa. Carisa terdiam sesaat, matanya menatap lurus ke depan, tapi pandangannya tampak kosong. "Saya ... diselingkuhin sama dia, Pak." Edgara menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalan. "Maaf ya, Car." "Padahal saya udah kasih segalanya ke dia, Pak. Maksudnya ... kesucianku." Suara Carisa merendah, nyaris seperti bisikan. "Kami pacaran tiga tahun. Dia janji setelah saya lulus, dia bakal nikahin saya. Orang tua kami juga udah sahabatan sejak lama jadi saya percaya sama dia." Edgara terdiam lama, sampai akhirnya berkata, "Serius? Kamu udah nggak suci? Kamu melakukannya dengan pria tadi, Car?" "Iya, Pak." Carisa menoleh dan tersenyum kecut. "Saya emang g****k banget ya, Pak. Sungguh, andai waktu bisa diputar kembali saya pengen kembali ke masa itu dan nolak kemauan dia yang ngajakin saya bercinta ." "Nasi sudah menjadi bubur, Car." Edgara menghela napas panjang. "Padahal kamu masih muda banget. Aku aja yang udah tua baru pertama kali ngerasain ciuman bibir sama kamu tadi." "Hah? Bapak belum pernah pacaran? Serius?" Carisa menatapnya lebar-lebar, tak percaya. "Iya, aku serius." Edgara nyengir kaku. "Aku fokus sekolah, Car. Aku anak beasiswa dari SD sampai kuliah. Sekolahku gratis sampai akhirnya aku jadi dosen kayak sekarang. Lagian, siapa yang mau sih pacaran sama cowok miskin macam aku?" Carisa terdiam sesaat, lalu tertawa pelan. "Tapi Bapak ganteng ... nggak, lebih tepatnya, ganteng banget. Bahkan dibanding Kiano, Bapak tuh lebih menarik, lebih berkharisma, menawan dan gagah." Edgara terkekeh tidak percaya. "Ah kamu bohong." "Bener, Pak." Carisa mengangguk meyakinkan. "Teman-temanku di kampus sering bilang Bapak itu dosen terganteng sekampus. Cuma ya kalah pamor sama Pak Septian, soalnya Pak Septian naik mobil, sementara Bapak ya … gitu deh, motor butut dan penampilan Bapak sangat sederhana." "Setelah denger kamu ngomong gitu, kayaknya aku akan tetap setia pakai motor butut kesayanganku itu terus deh," kekeh Edgara sambil menoleh sekilas ke arah Carisa. "Maksudnya?" tanya Carisa mengerutkan kening. "Buat nyaring siapa yang benar-benar tulus cinta sama aku," jawab Edgara sambil tertawa. Carisa ikut tertawa. "Bapak tega bener ya ngomong gitu di samping istri sendiri. Bapak sengaja mau bikin saya cemburu ya?" "Eh iya juga." Tangan kiri Edgara terulur mengelus puncak kepala Carisa. "Maaf ya, aku lupa kalau udah nikah sama kamu." Carisa menyandarkan kepalanya di jendela mobil sambil menahan senyum. "Nggak apa-apa, Pak. Aku emang udah terbiasa dilupain." Carisa menghela napas panjang sambil menatap rumah sederhana itu. Jujur saja, ada rasa sedih di hatinya. Mulai hari ini dan seterusnya, inilah rumahnya. Rumah kecil dengan dinding semen ekspos, halaman sempit, dan garasi seadanya yang dipenuhi tanaman dari pot bekas cat. Sangat jauh berbeda dengan rumah orang tuanya yang megah bergaya kolonial, dengan fasilitas lengkap dan pelayan yang selalu siap membantu. Edgara melirik ke arah Carisa. Dia bisa membaca raut kecewa itu meski sang istri mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis. Dia tahu, Carisa sedang berusaha beradaptasi dengan kenyataan di kehidupan barunya, bersamanya. “Kamu sedih ya karena nikah sama aku dan harus tinggal di rumahku?” tanya Edgara tiba-tiba, suaranya rendah tapi mantap. Carisa menoleh pelan. “Nggak juga, Pak. Cuma … ya mungkin saya butuh waktu aja buat beradaptasi tinggal di rumah Bapak. Soal statusku yang sudah tidak suci lagi gimana, Pak? Apa Bapak berencana mau menceraikan saya setelah ini?" "Kok kamu mikirnya gitu, Car?" Kening Edgara berkerut. Carisa memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya dia berkata, "Karena Bapak kan perjaka ting-ting yang masih 100% tersegel, sedangkan saya sudah rusak. Bapak sama saja nikahin janda tau nggak sih. Mungkin saya ini terlalu kotor untuk Bapak yang masih putih bersih." “Car,” panggil Edgara lembut. “Dengerin aku, ya!” Carisa menggigit bibirnya, menunduk, menahan gejolak di dadanya. “Aku nggak masalah dengan statusmu yang udah nggak suci itu. Serius." Edgara menegang telapak tangan Carisa. "Aku paham kok kalau kamu adalah korban janji manis dari laki-laki b******n itu." Carisa mengangkat wajahnya, menatap Edgara dengan sorot ragu. “Beneran, Pak?” “Bener.” Edgara mengangguk pelan. “Aku mikir … mungkin kamu memang jodohku yang dikasih Tuhan ke aku. Lewat cara yang nggak biasa dan memalukan, lewat situasi yang kita sama-sama enggak siap. Kita bisa belajar saling menerima kan, Car? Toh aku juga bukan lelaki sempurna dan putih bersih macam yang kamu pikirkan.” Carisa terdiam bibirnya sedikit bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu aku bukan suami idamanmu, Car. Aku juga sadar diri, buat perempuan secantik dan sekaya kamu pasti ada banyak pria yang mengantri mau jadi suamimu. Aku cuma dosen yang hidup sederhana. Tapi kalau kamu mau … ayo, kita coba sama-sama. Nggak perlu buru-buru. Kita jalanin pelan-pelan, sebagai suami istri. Bukan karena paksaan, bukan karena status. Tapi karena kita memang mau saling belajar dan menerima.” Air mata akhirnya jatuh dari pelupuk mata Carisa. Dia tak bisa menahan lagi. Wanita muda itu hanya mengangguk pelan, lalu memalingkan wajah sambil mengusap pipinya yang basah dengan tangan. “Maaf ya, Pak. Saya terlalu takut ditinggalin. Saya terlalu takut dianggap kotor.” Edgara menarik tangan Carisa dan memeluknya. “Kamu nggak kotor, Car. Sekarang, kamu punya kesempatan baru. Kita punya kesempatan baru. Kalau kamu mau, ayo kita mulai dari sini.” "Iya." Carisa tersenyum di antara air matanya. “Aku mau, Pak.” Edgara membalas senyumnya. “Bagus. Sekarang, ayo kita masuk ke rumah. Kita rapihin kamarku, kita tata bajumu ke dalam almari. Terus kita ... em, kita—" “Bapak mau ngajak saya tidur bareng?” timpal Carisa terkekeh pelan. “Ya iya lah, kita udah halal.” Edgara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Itupun kalau kamu mau, Car. Kalau enggak mau ya aku enggak akan maksa kamu." “Aduh, Pak .…” Carisa mencubit hidung mancung Edgara. "Pesona perjaka emang lucu ya, ngegemesin banget deh." Begitu masuk ke rumah, mereka langsung menuju kamar. Carisa membuka koper besar miliknya, sementara Edgara membuka pintu lemari kayunya yang sederhana. Mereka mulai bekerja sama. Carisa menyerahkan baju satu per satu, sementara Edgara melipat dan menyusunnya ke dalam rak. Sesekali tangan mereka bersentuhan, saat tanpa sengaja menyentuh ujung baju yang sama. “Pak, ini pertama kalinya aku nata baju. Biasanya baju-bajuku diberesin sama ART,” ujar Carisa lirih. “Mulai sekarang kamu harus terbiasa menata baju-bajumu sendiri ya atau kalau kamu mau ya, sekalian nata bajuku. Besok aku akan ajarin kamu cara nyuci, jemur, dan nyetrika baju ya,” balas Edgara sambil menatapnya sekilas. "Eh tugasku banyak banget." Carisa berhenti bergerak. "Kenapa kita enggak bawa baju-baju kita ke laundry, Pak?" “Sayang banget uangnya buat bayar laundry, Car." Edgara juga berhenti bergerak dan menatap wajah Carisa. "Lebih baik uangnya kita tabung." "Owh gitu. Bener juga sih." Carisa setuju mengangguk-angukan kepalanya. “Ya udah, nanti ajarin ya, Pak. Tapi jangan galak-galak!" Edgara malah tertawa. “Aku nggak akan bentakin istriku sendiri, Carisa.” Setelah koper kosong dan semua baju tertata rapi di dalam almari, Carisa duduk di tepi ranjang. Dia mengusap peluh di pelipisnya dan menghela napas. Sementara Edgara tetap berdiri, pria itu memperhatikan wajah letih sang istri yang di matanya saat itu, Carisa terlihat menggemaskan. “Capek, Car?” tanyanya lembut. “Sedikit capek,” jawab Carisa jujur. "Berat juga ya ngerjain kerjaan rumah tangga." Edgara duduk di sebelahnya. Tangannya perlahan meraih tangan sang istri dan menggenggamnya dengan hati-hati. “Carisa ....” “Hm?” Carisa menoleh, dan mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat. Tanpa banyak bicara, Edgara membungkuk, mencium kening istrinya dengan lembut. Carisa terdiam, membiarkan matanya terpejam, lalu jemarinya naik menyentuh dagu Edgara, menarik wajah sang suami untuk turun ke bibirnya. Ciuman mereka pelan, hati-hati, seolah sedang mencari irama dalam keraguan dan rasa baru. Edgara membelai pipi Carisa, dan wanita itu menautkan tangannya di leher Edgara, membalas dengan gerakan yang gemetar tapi tulus. Ketika mereka mulai merebah ke ranjang, dan tubuh Edgara perlahan menindih Carisa— Suara ketukan keras di pintu membuat mereka sontak terlonjak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD