Chapter 5. Merasa Tidak Pantas

1086 Words
“Siapa lagi sih yang mau datang ke rumah orang malam-malam begini? Ganggu aja!” gumam Edgara yang sedang kesal sambil melirik jam dinding usang di kamarnya yang sudah menunjuk pukul sembilan lewat. Carisa duduk, dia cepat-cepat membenahi kancing kemejanya yang tadi dibuka oleh Edgara. Wajah wanita muda itu masih memerah, sebagian karena malu, sebagian lagi karena gugup. “Coba buka, Pak. Siapa tahu itu orang penting!” Edgara bangkit dengan malas, merapikan rambutnya sekadarnya sebelum berjalan ke pintu depan. Saat daun pintu dibuka, tampak sosok Mirna, salah satu tetangganya yang seusia dengan ibu Egara, dia berdiri di ambang pintu, tersenyum lebar sambil membawa nampan berisi jajanan pasar yang ditutup dengan serbet bersih. “Oh, Bu Mirna. Selamat malam, Bu. Ada apa ya?" sapa Edgara mencoba terdengar ramah. “Malam, Mas Edgara!” sahut Bu Mirna ceria. “Maaf ya, kalau saya ganggu. Tadi rumah saya ada syukuran kecil-kecilan, jadi ini saya bawain jajan pasar buat pengantin baru. Sekalian … pengin lihat istri barunya nih, yang kata para tetangga wajah dia cantik banget. Soalnya kemarin saya pergi jadi enggak bisa hadir di acara pernikahan dadakannya Mas Edgara.” Mendengar itu, Carisa melangkah keluar dari kamar, dia berdiri di sisi Edgara dengan senyum sopan yang dipaksakan. Rambutnya diikat asal, tapi aura cantik dan anggunnya tetap terpancar. “Oh … ini toh istrinya .…” Bu Mirna menatap Carisa dari ujung kepala sampai kaki. Matanya membulat. “Luar biasa … ini sih beneran cantik kayak artis, Mas! Pantes aja kemarin Mas Edgara sampai rela nyuruh dia datang ke rumah ini dan mau indehoy mumpung rumah sepi dan berakhir digrebeg. Pasti kalian sekarang senang ya bisa bebas indehoy karena udah dinikahin secara gratis sama warga desa ini." Carisa hanya tersenyum tipis, menunduk, karena rasa tidak nyaman mulai menjalari tubuhnya. Edgara langsun mengambil nampan dari tangan Mirna. “Terima kasih, Bu. Wah, kebetulan sekali kami belum makan malam. Ini makanannya pasti enak-enak," ucapnya berusaha mengalihkan pembicaraan. Namun Bu Mirna belum berniat pergi, wajah wanita paruh baya itu menunjukkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. “Eh, tapi … maaf ya saya kepo dikit,” lanjut Mirna melirik ke arah Carisa sesaat. “Apa Bu Asih mau menerima istrimu, Mas? Soalnya … saya pikir calon mantunya itu Mbak Winaya, lho. Itu lho yang sama-sama dosen, yang orangnya alim pake jilbab, kalau ngomong lemah lembut, anak Pak Roziq. Bu Asih kan suka banget tuh pamerin dia ke ibu-ibu kalau pas lagi arisan. Sampai saya aja sempat ngira, ‘Oh, ini calon mantu idaman Bu Asih’. Eh, tahu-tahunya Mas Edgara malah nikah sama … eh, ya Mbak Carisa ini.” Carisa mengerjapkan mata beberapa kali. "Winaya? Kok kayaknya aku kenal, ya?" batinnya. Edgara terlihat menegang, dia memaksakan senyum, tapi rahangnya mengeras. “Iya, Bu … jodoh itu memang misteri. Rencana orang tua belum tentu sama dengan kehendak Tuhan. Saya bersyukur menikah sama Carisa, karena saya cinta sama dia, Bu.” Bu Mirna tertawa kecil. “Iya ya, la gimana enggak cinta orang Mbak Carisa cantik banget kayak boneka, bodynya bagus, kulitnya putih mulus. Lagian bener sih, cari istri nggak harus yang alim-alim juga kok. Yang penting bisa memuaskan di ranjang, apalagi biasanya anak kota kan udah pengalaman tuh sama yang begituan. Cuma ya, enggak nyangka aja Mas Edgara yang keliatan alim dan berwibawa banget tiba-tiba nikah karena digrebek warga." Edgara menahan napas, dia melirik Carisa yang diam, dan hanya menatap ke lantai. “Ya sudah deh, saya pamit ya. Selamat menempuh hidup baru, ya, Mas Edgara … Mbak Carisa … semoga langgeng dan cepat dikasih momongan,” ucap Bu Mirna, masih dengan nada riangnya, sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi. Begitu pintu ditutup, keheningan sejenak melingkupi ruangan. Edgara menaruh nampan di meja, lalu menoleh pada Carisa. Istrinya itu masih berdiri di tempat yang sama, dengan mata berkaca-kaca. Ketika Edgara hendak menyentuh bahunya, Carisa mundur satu langkah. “Pak …” Suara Carisa pelan, nyaris berbisik. “Malam ini saya mau tidur sendiri aja di kamar.” Edgara mengernyit. “Lho … kenapa?” Carisa mengangkat wajahnya menatap Edgara. “Bapak tolong tidur di ruang tamu, ya.” Edgara tampak tercengang. “Carisa?" “Saya nggak enak hati. Saya malu, Pak.” Suara Carisa mulai bergetar menahan tangis. “Saya ngerasa kayak … kayak orang asing yang datang tiba-tiba dan merusak rencana hidup orang lain. Saya tahu Bu Winaya itu dosen psikologi kan, Pak? Apa dia dan Bapak sebelumnya mau menikah?" “Car, jangan gitu,” ucap Edgara lembut. “Bu Mirna itu cuma—” “Cuma apa, Pak?" potong Carisa. “Yang Bu Mirna bilang, itu pasti yang orang-orang pikirkan juga. Mungkin juga yang Bapak pikirkan, yang orang tua Bapak pikirkan juga. Kayaknya saya emang enggak pantas jadi istri Bapak, deh. Bapak emang lebih pantas sama orang macam Bu Winaya itu." “Enggak, Car. Aku nggak pernah mikir kayak gitu!" tegas Edgara. "Aku sama Winaya itu tuh—" "Sudah, Pak. Saya ngantuk." Carisa berbalik dan melangkah kembali ke kamar. Sebelum masuk, dia menoleh sebentar. “Maaf ya, Pak. Saya cuma butuh waktu. Tolong kasih saya waktu sampai saya merasa pantas jadi istri Bapak. Malam ini … biarkan saya sendiri dulu. Selamat malam, Pak. Semoga mimpi indah.” Edgara berdiri beberapa detik di depan pintu kamar yang baru saja ditutup Carisa. Hatinya terasa berat. Dia tak menyangka malam pertamanya sebagai suami justru diwarnai kegamangan seperti ini. Pria itu membuka kancing kemejanya perlahan, menggulung lengan sampai siku, lalu menghela napas panjang sebelum menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Posisinya miring, tangan di bawah kepala sebagai bantal darurat. Lampu ruangan dibiarkan menyala temaram. Sementara di balik pintu kamar yang tertutup, Carisa bersandar pada daun pintu dengan mata yang kembali basah. Jantungnya berdetak tak karuan, bukan hanya karena ucapan Bu Mirna, tapi juga karena wajah Edgara yang tadi tampak kecewa tapi tetap terlihat bersabar menahan diri. Wanita muda itu berjalan pelan menuju tempat tidur dan duduk di tepi ranjang. Tangannya meraih ponsel yang dia letakkan di meja nakas. Awalnya hanya ingin mengecek jam, tapi notifikasi yang baru muncul menarik perhatiannya. Satu pesan baru dari Kiano. Carisa menelan ludah. Dia ragu, tapi akhirnya membuka pesan itu. Layar ponselnya menyala terang, menampilkan isi pesan yang langsung membuat darahnya berdesir dingin dan air mata yang mengalir semakin deras di pipinya. Kiano: “Kita nggak bisa putus semudah itu, Carisa. Aku tahu kamu pasti merindukan kegiatan panas yang sering kita lakukan. Namanya Edgara Ziyad Abidzar, dia hanya dosen miskin yang ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan aku. Pria itu tidak memiliki power dan aku yakin kamu nggak mungkin bisa bahagia sama dia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD