Pagi ini, aku menutup sambungan telepon dengan rasa kecewa. Aku sudah menghubungi Pak Iwan, sopir pribadi yang akan mengantarkan Ibu dan Elsa ke mana saja selagi aku bekerja. Sayangnya, ternyata Pak Iwan baru bisa bekerja mulai besok.
"Sarapan dulu, Sayang. Tolong simpan dulu ponselnya," ucap ibu.
Letak ruang makan dan ruang tengah sangat berdekatan sehingga meski ibu berbicara pelan, aku bisa mendengarnya. Aku pun langsung menyimpan ponsel ke dalam tas lalu bergabung ke ruang makan.
"Pagi, Bu. Pagi Elsa yang cantik," sapaku pada mereka berdua sambil mengoleskan selai nanas pada roti.
"Pagi juga Bunda yang lebih cantik," jawab Elsa. Aku pun tersenyum padanya.
"Bu, nanti sore tunggu Dara jemput, ya. Pak Iwan baru bisa bekerja mulai besok," ucapku kemudian.
"Ibu sama Elsa naik taksi juga nggak apa-apa. Jangan khawatir ibu nggak tahu jalan sekalipun ibu buta saat lihat maps di ponsel. Karena apa? Sopir taksi pasti tahu alamat."
"Nanti kalau Dara pulang tepat waktu pasti jemput. Kalau nggak, Dara bakalan telepon Ibu. Ibu bawa ponsel, kan?"
"Iya. Ibu bawa, Sayang."
Setelah selesai sarapan, aku mengantarkan mereka berdua ke sekolah Elsa. Seperti biasa, ibuku akan sangat senang jika mendampingi cucunya di sekolah seperti yang biasa dilakukannya saat di Bandung.
“Aku sebenarnya sudah mendaftarkan Elsa untuk daycare, tapi karena sekarang ada Ibu … aku pikir Elsa nggak perlu daycare lagi.” Jika saja aku tahu ibu bersedia tinggal di sini, aku tidak akan mendaftarkan Elsa untuk bergabung di daycare.
“Elsa senang ikut daycare, kok, Bunda,” timpal Elsa.
“Ibu juga nggak keberatan, kok, berada di sekolahan Elsa sampai sore. Toh itu juga merupakan tempat yang aman untuk anak-anak seperti Elsa bermain dan bersenang-senang.”
“Mama Kinara juga nggak kerja, Bun. Tapi Kinara pulangnya tetap sore. Sekolahnya memang seru. Bisa bermain sepuasnya.”
“Ya udah kalau Elsa suka,” ucapku. “Setelah aku pertimbangkan lagi, memang nggak ada salahnya Elsa pulangnya sore. Jadi Ibu, kan, nggak harus stand by nungguin. Ibu bisa tetap di rumah dan ikut menjemput Elsa bersama Pak Iwan kalau Ibu mau.”
***
Aku sudah mulai bekerja seperti biasa. Aku rasa tak ada perubahan yang signifikan pada ruangan kerjaku. Beberapa lukisan bahkan masih menempel pada tempatnya seperti enam tahun yang lalu. Aku membuka laci kerjaku, tidak terlalu berdebu. Aku rasa selama aku tak di sini, tak ada orang yang menempati meja kerjaku.
Aku sedikit berlutut untuk memeriksa beberapa berkas di dalamnya. Sebagian besar tidak aku gunakan, aku mengumpulkannya menjadi sebuah tumpukan yang rapi. Setelah itu aku membawanya menuju gudang.
Aku berjalan melewati beberapa ruangan menuju gudang, beberapa karyawan yang tak sengaja berpapasan menyapaku. Beberapa di antaranya menawarkan bantuan karena aku membawa berkas sangat banyak. Sebenarnya memang tidak berat, hanya saja cukup membuat tangan pegal. Tentu saja aku berusaha untuk bisa membawanya sendiri. Faktanya aku sanggup.
Sesampai di depan pintu gudang aku merasa ada yang tak biasa. Aku sebenarnya sedikit kesulitan membuka pintu, tapi beberapa saat kemudian aku berhasil membukanya. Ada pemandangan berbeda pada ruangan ini. Ruangan ini tidak mencerminkan sebuah gudang, ada komputer terletak di meja, sangat rapi ditambah beberapa tumpuk dokumen serta peralatan kantor lainnya.
Padahal dulu gudang ini penuh debu dan tak terawat, juga banyak barang-barang yang tak berguna. Anehnya sekarang aku tak melihatnya. Apa aku salah ruangan? Aku ingat betul dulu ruangan ini adalah gudang meski tak terdapat tulisan di pintu. Jangan-jangan ruangan ini sudah beralih fungsi? Terlebih aku tak sempat mengecek apakah ada tulisan atau tidak di pintunya.
“Ada yang bisa saya bantu?” Suara berat seorang pria membuyarkan lamunanku.
Hmm, ini sebenarnya bukan murni lamunan, karena aku juga berpikir dan sekarang aku mulai yakin kalau ini bukan gudang. Aku sedikit terkejut karena kehadirannya membuat tanganku yang pegal membawa tumbukan berkas menjadi tak karuan sehingga separuh dari berkas yang kubawa jatuh ke lantai. Refleks aku langsung memungutinya, tak terkecuali pria yang datang mengagetkanku. Ya, pria itu turut membantu.
Sungguh ini adegan seperti di novel-novel atau film. Adegan yang selalu aku anggap berlebihan jika menemukannya baik di novel maupun film. Aku tidak menyangka kali ini aku benar-benar mengalaminya. Bedanya kami tak sampai saling bersentuhan tangan akibat mengambil kertas yang sama. Tidak, itu tidak terjadi.
“Terima kasih,” ucapku setelah semua berkas terkumpul.
“Maaf, Ibu cari siapa?” tanya pria itu sangat ramah dan lembut.
“Saya pikir ini gudang, karena sebelumnya, lebih tepatnya enam tahun lalu … ruangan ini memang gudang. Jadi maaf, saya nggak tahu kalau ruangan ini sudah beralih fungsi,” jawabku malu. Sungguh, ini sangat memalukan!
Pria itu tersenyum. Saat kuperhatikan wajahnya cukup tampan. Hal yang menjadi daya tariknya adalah hidung mancung serta alisnya yang tebal.
“Ruangan ini bukan lagi gudang semenjak empat tahun lalu,” jelas pria itu.
Pintu yang terbuka membuatku bisa melihat tulisan yang tertera di pintu tersebut. Betapa malunya aku saat ini.
“Maaf, saya nggak lihat tulisannya,” ucapku malu-malu.
“Bukan masalah, Bu. Mari saya antar ke gudang, ini lumayan menyusahkan kalau harus dibawa sendirian apalagi seorang perempuan yang membawanya,” jawabnya kemudian melangkah keluar.
Aku pun mengikutinya dari belakang.
“Sepertinya Ibu karyawan baru yang berasal dari karyawan lama, ya? Sampai tahu gudang enam tahun lalu,” ucapnya, kulihat ia memelankan langkahnya agar kami berjalan sejajar.
“Iya, saya resmi kembali sejak kemarin,” jawabku sambil terus berjalan menuju sebuah pintu di ujung ruangan. Kami pun masuk, lalu meletakkan beberapa berkas yang kami bawa.
“Rizal,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.
Tentu aku sedikit salah tingkah, tapi segera aku menstabilkan diri. Aneh, bukan? Padahal berkenalan dalam satu kantor itu hal yang wajar. Bisa-bisanya aku salah tingkah. Apa karena pria bernama Rizal ini memperkenalkan diri secara mendadak?
“Dara,” jawabku akhirnya.
“Semoga setelah ini kita bisa ketemu lagi. Saya duluan, ya. Ada beberapa pekerjaan yang harus saya kerjakan sekarang. Senang bertemu dengan Anda, Bu Dara.” Pria itu kemudian melepaskan tanganku dan bergegas pergi dari gudang lebih dahulu.
Aku menatap kepergiannya dengan tatapan bingung. Aku rasa ada sesuatu yang aku lupakan, entah apa. Akhirnya aku pun kembali ke ruanganku untuk kembali bekerja.
Baru saja aku duduk, aku teringat sesuatu yang tadi aku lupakan. Ya ampun, bisa-bisanya aku lupa sehingga tidak mengucapkan terima kasih. Padahal Rizal sudah membantuku membawa berkas tadi ke gudang.
Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Aku berjanji, jika bertemu dengannya lagi … aku akan mengucapkan rasa terima kasihku dengan tulus.
“Rizal. Ya, tadi namanya Rizal. Semoga kita bertemu lagi.”