Bab 6 - Pria Asing

1537 Words
Aku mencari ponsel dalam tas karena ingin menghubungi ibu bahwa aku hendak menjemputnya dengan Elsa. Aku perlu memberi kabar apalagi sekarang sudah lewat pukul tiga sore, meskipun aku terlambat menjemput mereka hingga beberapa menit dari waktu yang aku janjikan, aku yakin mereka masih menungguku. Selain itu, setidaknya ibu akan menjadi lebih tenang menunggu jika aku sudah mengabarkan sedang dalam perjalanan. Aku berjalan menuju mobil dengan penuh waspada lantaran khawatir bertemu Rian lagi seperti kemarin. Jujur aku tak ingin bertemu dengannya terlebih ia bisa menghalangi jalanku hingga membuatku semakin terlambat menjemput seperti kemarin. Hanya saja, keadaan seketika menjadi lebih tenang saat aku sudah berada di dalam mobil, kulirik kembali jam yang semakin menunjukkan keterlambatanku. Anehnya, sejak keluar dari kantor hingga berada di mobil seperti ini … aku sama sekali tidak menemukan ponselku. Aku terus mencari ponsel dalam tas, hingga nyaris membongkar seluruh isinya. Namun, ponsel yang biasa langsung kutemukan dalam sekali rogoh kini tak juga kutemukan. Jangan-jangan ketinggalan di meja kerja! Aku mulai panik campur bimbang, apakah harus kembali ke ruangan kerja untuk mengambil ponsel atau langsung menuju TK Kartini. Sekarang aku yakin ponselku tertinggal di meja kerja. Aku juga tak mungkin menelepon ibu menggunakan telepon di lobi sementara aku tak menghafal nomornya. Oh Tuhan, sepertinya aku harus benar-benar kembali ke lantai empat untuk mengambilnya. Aku tak mungkin meninggalkan ponselku selama dua hari karena besok adalah hari libur akhir pekan. Beberapa saat kemudian aku sudah berada di meja kerjaku lagi, dengan cepat aku langsung mengambil ponsel. Ternyata ada panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari ibu. Kemarin aku mengecewakan Elsa karena terlambat, sekarang aku mengecewakan ibu juga. Maafkan aku, Ibu…. Sayang, kalau kamu sibuk nggak apa-apa. Ibu sama Elsa udah naik taksi, kita ketemu di rumah aja. Love you. Entah mengapa aku selalu tersenyum saat ibu mengucapkan dua kata terakhir dalam pesannya. Apa mungkin karena aku tidak pernah mendapatkan ucapan itu dari seorang pria selama enam tahun terakhir? Ah, aku bahkan lupa terakhir kali aku mendengarnya, dan yang lebih parah … Rianlah yang dulu biasa mengatakannya. Persetan dengan semua itu! Daripada terus mengingat hal yang kemungkinan membuat aku sesak, lebih baik aku segera pulang. Saat ini aku sedang menunggu pintu lift terbuka, beberapa saat kemudian pintu mulai terbuka dan tampaklah pemandangan yang sangat tidak aku inginkan. Tapi aku tak peduli, akhirnya aku masuk juga. Aku tak peduli ada Rian karena tujuanku adalah turun ke lantai dasar, bukan untuk berdebat dengannya. Jujur, sebenarnya ada rasa tak nyaman. Bagaimana tidak, aku tahu ia sengaja mencuri pandang ke arahku. Slah satu kemampuan wanita yang tak semua pria tahu adalah … wanita bisa dengan mudah membaca dan mengetahui kalau dirinya sedang diperhatikan. Aku jelas tahu saat ini Rian sedang memperhatikanku. Untung saja ada beberapa karyawan lain sehingga Rian tak mungkin berani membicarakan hal seperti kemarin. Setelah pintu terbuka, aku buru-buru keluar untuk menghindari Rian. Bukannya apa-apa, aku sangat malas berbicara dengannya. Terlebih aku yakin jika berbicara dengannya, semua pembahasan tak akan jauh-jauh dengan kenangan pahit. Lukaku yang belum sepenuhnya kering sudah semakin parah karena kemarin, aku tak ingin hari ini Rian semakin merobek luka itu. Jangan sampai! Aku sudah berusaha mengambil langkah seribu untuk menghindari Rian, sialnya kejadian kemarin seolah terulang. Seakan semua belum cukup, aku yang hampir masuk ke mobil dicegah oleh Rian. Ya Tuhan, dia mau apa lagi? “Dara, kumohon tunggu sebentar,” ucapnya sambil menyentuh tanganku. Tentu saja aku langsung menepis tangannya. Aku tak sudi disentuh olehnya. “Ada apa?” tanyaku ketus. “Pertama-tama aku mau ngomong jujur.” “Jujur kamu bilang? Oh iya aku lupa, selama ini omongan kamu penuh dusta, betul?” “Jujur aku merindukanmu, Dara,” ucapnya. Dasar tidak tahu malu! Sungguh, apa yang Rian katakan berhasil membuatku muak. Pria ini benar-benar tak tahu malu, bisa-bisanya ia mengatakan rindu padaku sementara ia sudah memiliki istri dan katanya sudah bahagia. Jadi, bahagia macam apa yang Rian maksud? “Aku sungguh merindukanmu, Dara,” ulangnya. “Andai ungkapan rindumu adalah makanan, aku pasti akan memuntahkannya sebelum aku telan,” ucapku tegas. “Enggak apa-apa, aku ngerti kalau aku memang sulit termaafkan.” “Aku rasa berbicara denganmu cuma buang waktu aja, permisi,” ucapku sambil membuka pintu mobil. “Tunggu!” Lagi-lagi Rian menahanku. “Aku baru tahu kamu janda,” ucapnya yang berhasil membuatku menoleh padanya. Aku yang sudah membuka pintu mobil kini menutupnya kembali. “Terus apa masalahnya? Apa ada pihak yang merasa dirugikan kalau aku janda?” “Enggak, maksudku bukan begitu, tolong dengar dulu, ” ucapnya. “Ada hal penting yang ingin aku tanyakan, tentang Elsa Andara Putri.” Mendengar Rian menyebut nama gadis kecilku, sungguh ada getaran hebat yang aku rasakan. Dari mana Rian tahu tentang Elsa? Jangan sampai pria itu berpikir yang tidak-tidak. “Apa yang salah dengan putriku?” “Enggak ada yang salah, cuma ngerasa janggal aja.” “Janggal gimana?” Aku mulai merasa ada yang tak beres, mungkinkah Rian berpikir Elsa itu anaknya? “Maaf aku lancang mengakses data pribadimu. Awalnya aku hanya penasaran siapa suamimu sekarang, dan sudah bahagiakah kamu? Tapi, berdasarkan informasi dari kertas ini....” Rian kemudian mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat-lipat, memberikannya padaku. “Elsa lahir enam bulan setelah kita pisah, apa selama pacaran kamu menyembunyikan kehamilanmu dariku?” “Kenapa kamu bisa berpikir sejauh itu, Rian? Jangan terlalu percaya diri. Apa kamu nggak berpikir aku bisa nikah setelah pisah sama kamu? Asal kamu tahu, Elsa adalah anak suamiku. Bukan anakmu.” “Jadi kamu salah besar kalau mengira Elsa anakmu,” sambungku. Elsa kuadopsi setelah aku keguguran anak Rian, bahkan kala itu usia Elsa masih dua pekan. Aku tidak menyangka Rian bisa salah paham tentang Elsa. Selain itu, aku sengaja berbohong tentang suami. Setidaknya ini akan membuat Rian sadar kalau Elsa bukanlah anaknya. “Dara, apa kamu lupa bahwa kita pernah melakukannya? Kamu sungguh lupa?” tanyanya. “Wajar, kan, kalau aku berpikir Elsa itu anakku.” “Aku nggak ingat. Aku udah melupakan semuanya dan yang aku ingat adalah....” Aku berhenti dan menarik napas sejenak, “yang aku ingat kamu adalah pengkhianat, lalu perempuan bernama Risty adalah penggoda. Itu aja.” “Jangan menutup-nutupinya, Dara. Aku merasa Elsa anakku dan aku mohon pertemukan kami. Aku mau bertemu dengannya.” “Sumpah demi Tuhan, Rian. Aku berani bersumpah kalau Elsa bukan anakmu!” “Terus di mana ayahnya? Kenapa kamu menjadi janda, Dara?” “Sejak kapan ini menjadi urusanmu?” tanyaku. “Aku rasa kamu nggak berhak tahu alasanku menjadi janda atau keberadaan ayah Elsa. Lagian bukankah kamu sudah sangat bahagia sama Risty? Kenapa masih mau tahu tentang hidupku?” “Aku cuma penasaran tentang Elsa. Andai kamu mengizinkanku bertemu dengannya....” “Jangan berharap!” potongku. “Aku nggak memberi izin dan kamu nggak punya hak untuk memaksaku.” “Kalau iya dia anakku, aku nggak akan merebutnya darimu, Dara. Aku juga udah punya keluarga. Istri sekaligus anak yang luar biasa. Aku udah bahagia, jadi kamu nggak perlu khawatir.” “Terima kasih untuk informasi yang jauh dari kata bermutu, bagiku kebahagiaan nggak perlu diumbar sampai segitu berlebihannya. Kamu pikir cuma kamu yang bisa bahagia, Rian?” Rian terdiam, mungkin mulai merenungkan apa yang aku katakan. Namun yang pasti, aku sangat tak peduli tentang apa yang Rian dan keluarganya rasakan. Itu sangat tak penting bagiku. “Oke, oke, kamu bilang sudah bahagia. Semoga kebahagiaan jangan sampai membuatmu lupa menghargai orang lain. Please hargai aku, jangan ikut campur dan mencari tahu hidupku. Kamu nggak berhak. Sangat nggak berhak,” kataku. “Dara, aku tahu aku pernah salah, tapi seenggaknya aku udah minta maaf. Aku cuma mau tahu tentang Elsa aja.” “Aku bahkan udah menjelaskan tentang Elsa berkali-kali, sumpah demi Tuhan Elsa bukan anak kamu!” tegasku. “Aku rasa, kamu seharusnya bercermin tentang bagaimana kesalahanmu dulu. Baik, semua manusia pernah salah, aku tahu. Tapi karma nggak pernah salah alamat. Camkan itu, Rian!” Aku langsung berbalik badan untuk membuka pintu mobil, setelah itu aku masuk. Rian sudah tak lagi menahanku, kulihat ia masih berdiri mematung. Aku sangat tak peduli padanya sehingga langsung meninggalkannya. Lagi pula aku harus cepat pulang. Bisa-bisanya aku membuang banyak waktu untuk berbicara dengan pria tak tahu malu seperti Rian. Pria yang katanya sudah bahagia, tanpa merasa sadar kalau sebenarnya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menyambut karma. Namun, setidaknya aku sedikit merasa puas. Dulu aku memang pernah meninjunya dengan tanganku, tapi kali ini aku sudah meninjunya dengan ucapanku. Dan jika Rian benar-benar masih penasaran tentang Elsa, aku tak takut jika suatu saat pria itu meminta tes DNA karena faktanya Elsa bukanlah anak Rian. *** Saat ini aku sudah sampai di depan rumah, tapi ada yang berbeda. Terdapat sebuah mobil asing berparkir dengan manis di depan rumah. Aku benar-benar tak bisa memprediksi siapa pemilik mobil tersebut. Kalau mobil teman ibu, lebih tak mungkin lagi karena aku yakin ibu belum punya kenalan di sini. Mungkinkah mobil Risty yang mampir membawa Kinara ke rumah ini? Oh Tuhan, aku tak akan mendapat jawaban kalau masih terus diam di dalam mobil. Akhirnya aku turun dan mendapati pintu rumah yang terbuka. Langkah demi langkah aku mulai mencapai pintu. Betapa terkejutnya aku melihat Elsa dengan manja sedang duduk di pangkuan seorang pria. Bahkan mereka tampak begitu asyik memainkan ponsel sampai tak menyadari kehadiranku. Pria itu … siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD